Share

7 - Perihal Tanda Lahir

Karena terlalu panik aku melupakan waktu terbaikku untuk melihat tanda lahir di dada Dante. Aku menarik tanganku dari dada bidang Dante dan sekarang semuanya terlambat karena Dante menjauhkan dirinya dariku.

“Aku beri waktu 10 detik, kalau kamu pergi dari sini, aku tidak akan menganggapmu ingin memintaku memuaskan hasratmu dan kalau kalau kamu tidak pergi, aku akan menganggap dirimulah yang memintaku untuk bertindak lebih,” ujar Dante berkacak pinggang seraya mengibas-ngibaskan rambut basahnya dengan satu tangannya.

Mendengar itu aku segera mengambil langkah cepat untuk keluar dari kamar mandi. Namun Dante menghitungnya dengan sangat cepat. Aku yakin dia hanya membutuhkan waktu dua detik untuk menghitung sampai sepuluh saking cepatnya dia menghitung.

Bahkan aku baru saja mengambil dua langkah kaki dan baru saja memutar knop pintu yang ternyata dikunci sehingga memperlambat langkahku untuk keluar.

Kapan ini dikunci?

Brak.

Sebuah tangan menghalangi pintu untuk dibuka.

“Mampus,” gumamku membeku.

Aku harap Dante masih mau memberiku toleransi.

Dengan sangat lambat dan hati-hati aku menoleh ke arah Dante yang sedang berkacak pinggang disertai senyuman miring yang terlihat horor.

Tatapannya benar-benar menunjukkan hasrat yang berbahaya.

“Beri aku waktu tambahan,” ucapku nyengir kuda.

“Baiklah, tapi untuk waktu tambahan, kamu perlu membayarku,” ucapnya mengambil satu langkah lebih dekat denganku.

Astaga.

Aku tidak bisa mundur lagi karena punggungku sudah membentur pintu kamar mandi.

Aku meneguk saliva.

Jantungku berdegup kencang hingga menimbulkan guncangan naik turun pada pundakku.

Aku harap Dante tidak berpikiran yang tidak-tidak.

“Jadi sebenarnya apa tujuanmu mencariku?” tanya Dante.

Aku mengerjapkan mataku bingung akan menjawab apa. Tidak mungkin aku mengatakan bahwa aku ingin melihat dadanya.

“A-a-aku hanya ingin bertanya malam ini kamu ingin makan apa?” jawabku ngasal.

“Cih,” desis Dante menarik tangannya dari belakangku lalu tertawa mengejekku.

Pada saat itu aku bisa melihat sedikit tanda lahir di dada Dante. Namun aku tidak bisa melihatnya dengan jelas. Yang pasti letaknya sama dengan tanda lahir milik Daren.

Sangat aneh karena tanda lahir mereka bahkan terletak di tempat yang sama. Namun sejauh ini tak ada petunjuk lain yang bisa aku lihat.

Sebenarnya apa yang ingin Daren sampaikan? Andai saja Bibi pelayan tidak datang lebih cepat. Aku pasti akan mendapatkan petunjuk lebih banyak yang mungkin bisa membantuku untuk melawan Dante nantinya.

Melihat Dante tampak lengah aku segera membuka kunci kamar mandi dan melarikan diri dari Dante.

Dan untunglah.

Aku selamat.

***

Keesokan harinya.

saat malam tiba aku keluar dari kamar setelah seharian aku mendekam di kamar dan juga sempat ke rumah sebelah untuk melihat Daren yang tak kunjung terlihat batang hidungnya. Di rumah sebelah bahkan tidak ada seorang pun dan tidak ada tanda-tanda kehidupan.

Prang.

Suara itu mengalihkan perhatianku dan dengan segera aku melangkahkah kaki ke arah sumber suara.

“Haha aku sudah sampai di rumahku yang sepi ini,” ucap suara yang berasal dari Dante yang sudah terkapar di lantai dengan gelas kaca pecah di sampingnya.

“Astaga,” pekikku segera beranjak mendekati Dante dan ternyata lengan Dante tergores oleh pecahan gelas kaca yang berserakan. Untungnya lukanya tidak terlalu dalam dan hanya berupa goresan.

“Dante ayo bangun,” pintaku meraih lengannya dan mengaitkan tangannya ke leherku.

Untungnya Dante mau bangun.

Lantas dia meraih anggur di meja dan memegang botol anggur lalu meneguknya beberapa kali.

“Aku baru ingat. Sekarang ada kamu di rumahku. Kamu adalah manusia pertama yang mau tinggal di sini bersamaku,” ucap Dante mengoceh seperti burung.

“Aku juga terpaksa tinggal di sini,” balasku meraih botol Dante untuk mengalihkan perhatiannya dan meletakkannya di meja.

Tak berselang lama tiba-tiba Dante berdiri tegak dan meraih wajahku lalu menangkup wajahku.

“Orang ini mabuknya sangat aneh,” gumamku menurunkan tangan Dante dari wajahku namun Dante menolak dan kembali menangkup wajahku.

Dante tiba-tiba mendekatkan wajahnya padaku.

Cup.

“Aku menyukaimu, Alice,” ucapnya setelah memberi kecupan singkat di bibirku.

Aku tertegun dan membeku di tempat.

Apa yang aku dengar barusan?

Apa dia bukan Dante?

Atau ini Daren bukan Dante?

Tapi pakaian serba gelap ini adalah cara berpakaian Dante.

Dante mengguncang tubuhku hingga pikiranku kembali ke tempat.

Mendadak dia tertawa terbahak-bahak seperti orang gila.

“Aku tidak punya siapa-siapa, Alice. Maukah kamu bersamaku selamanya?” tukas Dante.

Mendengar ucapan-ucapan konyolnya itu aku kembali mengaitkan tangan Dante dan membawanya ke kamarnya.

Dante kembali tertawa terbahak-bahak yang tak kuhiraukan.

Aku tidak bisa meminta bantuan siapapun karena para pelayan Dante tentunya sudah tidur karena malam sudah larut.

Dengan cepat aku membuka sepatu Dante dan kaos kakinya.

Tiba-tiba aku teringat.

“Tanda lahir,” gumamku.

Dengan cepat aku membuka kemeja hitam Dante dan melihat tanda lahir Dante yang bentuknya benar-benar sangat mirip dengan milik Daren.

“Ada apa ini? Kenapa sangat mirip?”

“Kamu Dante atau Daren?” tanyaku mengguncang tubuh Dante.

Bukannya menjawab Dante justru meraih tubuhku dan mendekap tubuhku.

Aku mencoba melepaskan diri namun tenaganya jauh lebih kuat dariku.

“Aku Dante, Daren? Lupakan dia dan tetaplah seperti ini sebentar,” pintanya.

Tubuhnya sangat hangat dan bau alkohol sangat menyengat di tubuhnya.

Aku yang merasa tidak tahan dengan baunya menggigit dada Dante hingga dia melepaskan dekapannya.

Hiks hiks.

Tiba-tiba Dante menangis dengan air mata yang menggenang di pelupuk matanya lalu terjatuh membasahi pipinya.

Wajahnya benar-benar terlihat menggemaskan jika seperti ini.

Aku tidak pernah menduga akan melihat sosok Dante yang seperti ini.

Dan Dante adalah satu-satunya manusia yang sangat sulit ku mengerti.

Sikapnya yang berubah-ubah seperti cuaca yang tak bisa ditebak kapan hujan.

Kadang dia hanya terlihat seperti pria batu, kadang dia seperti singa yang menyeramkan, kadang dia juga seperti pria cabul yang ingin dipenuhi hasratnya.

Haha.

Siapa sangka aku mulai sedikit mengenalnya.

Aku tersenyum dan kembali melihat Dante yang merengek seperti anak kecil, “Oh tidak, maafkan aku, Dante,” ucapku meraih kepalanya dan memangkunya di pahaku.

Seandainya Dante seperti ini terus bahkan saat sadar, pasti akan menyenangkan.

Mungkin aku akan berpikir dua kali untuk balas dendam walau aku akan tetap balas dendam.

“Kamu juga berpikir untuk meninggalkanku?” tanyanya.

“Tidak, aku hanya mau mengambilkan air untukmu,” jawabku memberi alasan.

Tanpa balasan, Dante memejamkan wajahnya.

“Sebenarnya dulu kita sekolah di TK yang sama dan namaku bukan Dante,” ucapnya tiba-tiba.

Mataku membulat sempurna setelah Dante mengatakan itu.

“Lalu siapa kamu sebenarnya?” tanyaku cepat.

Ini informasi yang bisa mengulas balik masa lalu Dante yang tidak aku ketahui dan tentunya ini informasi yang sangat penting untuk diketahui jika ingin membalaskan dendam Ayahku.

Dante tak menjawab. Dia justru menyatukan kedua tangannya di pinggangku lalu menenggelamkan wajahnya pada perutku.

“Dante, jawab aku. Lalu dimana Daren?” tanyaku menarik bahu Dante menjauhi perutku namun dia tetap kembali menenggelamkan wajahnya pada perutku.

“Daren?” tanya Dante.

“Iya, dimana dia?”

“Dia kadang ada dan kadang tidak ada,” jawabnya membuatku mengernyitkan kening tak mengerti.

Jawaban konyol macam apa itu?

Begitu banyak pertanyaan yang muncul di kepalaku. Mulai dari kenapa tanda lahir Dante dan Daren semirip itu? Kemana perginya Daren?

Besok aku harus bertanya kepada bibi pelayan.

Tak peduli dia akan menjawab atau tidak, aku akan tetap mencobanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status