Share

6 - Mencari Petunjuk

Setelah tidak sengaja bertemu dengan bibi pelayan pada akhirnya aku diminta untuk kembali ke kamar tanpa mengucapkan sepatah kata pun bahkan tanpa berpamitan kepada Daren. 

Kalau dipikir-pikir, aku bisa mati kalau bibi pelayan itu melaporkan semuanya kepada Dante.

Aku pun berjalan keluar kamar. Mataku menyapu seluruh ruangan mencari keberadaan Dante ataupun bibi pelayan. 

Aku melihat keduanya sedang berbicara serius di ruang tamu, sampai sang pelayan mengeryitkan dahinya. Dengan hati-hati, aku bersembunyi, berusaha melebarkan telingaku untuk mendengar inti pembicaraan mereka.

“Tuan Dante, tapi Nona Alice–” 

Sial! Manikku dan juga sang pelayan bertemu, membuat pelayan itu tiba-tiba menghentikan pembicaraannya dan terdiam. 

Spontan, detak jantungku meningkat. Aku merasa panik, takut jika emosi Dante kembali membuncah dan melepaskan amarahnya padaku.

Namun, aku tetap berusaha fokus. Kuarahkan mataku pada pergelangan tangan Dante yang sedang memegang ponsel. 

Ada gelang yang sama dengan milik Daren di sana. Gelang simpul hitam dengan bandul emas yang sama. 

Ini justru semakin aneh. Apalagi, ada keretakan pada bandul emas di bagian tengah gelang Dante yang sama persis dengan milik Daren.

“Apa kamu belum puas mengintip?”

Suara bariton milik Dante membuat bahuku refleks tersentak. Dengan perlahan, aku pun keluar dari persembunyianku sembari memberikan senyuman kecil.

“Maaf, aku berniat untuk mengambil minum, dan tak sengaja melihatmu yang sedang serius,” ujarku canggung, berusaha memilah alasan yang paling masuk akal.

“Apa saja yang kamu lakukan kemarin? Aku ada urusan penting di kantor. Jadi aku tidak pulang,” tanyanya langsung membuat mataku melirik ke arah bibi pelayan.

Bibi pelayan itu pura-pura tidak melihatku, untunglah.

Sekarang aku bisa memastikan bahwa bibi pelayan tidak mengatakan kejadian kemarin kepada Dante.

“Emm aku hanya berkeliling rumah agar aku bisa cepat terbiasa dengan rute di rumah ini,” jawabku jujur.

Dante hanya mengangguk-angguk.

Karena suasana canggung, dengan cepat aku berpamitan kepada Dante dan berlari ke kamarku, lalu naik ke atas atap yang kemudian pergi ke rumah Daren untuk memeriksa Daren.

Aku melakukannya secara diam-diam. Namun sayangnya tidak ada Daren di sana.

Kalau Dante tidak mengetahui kejadian kemarin, mustahil dia memindahkan Daren ke tempat lain. Atau mungkin, bibi pelayan menyarankan untuk memindahkan Daren? Entahlah.

Intinya, aku sudah tahu kelemahan Dante yang bisa aku jadikan senjata kapan-kapan saat genting.

‘Aku tak peduli, dengan cara apapun, aku akan menghancurkan hidupmu, Dante’ batinku dalam hati. Sekarang, aku tahu apa yang harus aku lakukan. 

Aku harus memastikan tanda lahir yang ada di dada Dante untuk melihat petunjuk yang diberikan Daren. Mungkin saja ada petunjuk lain dari tanda lahir mereka.

Setelah memastikan Daren tidak ada di tempat kemarin, aku pun pindah ke kamar Dante. Namun, aku tak menemukan batang hidungnya di kamar tersebut. 

Tiba-tiba, terdengar suara air dari shower. Itu dia! Ini adalah kesempatan yang tepat untuk aku menemukan kesamaan antara Dante dan Daren!

Dengan langkah kaki yang pelan, aku berjalan ke arah pintu kamar mandi Dante. Aku pun memutar knop pintu dengan hati-hati, tak ingin mengganggu Dante. Bisa gawat jika pria itu melihatku melakukan hal ini.

Ceklek.

Aku berhasil membuka pintu kamar mandi selebar setengah jengkal, lebar yang cukup untuk mengintip dengan satu mataku.

‘Tidak ada orang?’

Dahiku mengernyit saat tak menemukan Dante di dalam kamar mandi. Hanya ada uap panas yang membuktikan bahwa seseorang baru saja mandi di dalam. 

Apa aku salah dengar?

“Apa yang kamu cari?”

Sebuah tangan membuka pintu lebar dan menarik pergelangan tanganku lalu mengunci posisiku tubuhku ke tembok.

“Ah!” teriakku, merasa terkejut saat tembok marmer yang dingin menempel di punggungku. 

Dante menatapku tajam dengan ekspresi datar andalannya. Aku bahkan tidak bisa menebak dia akan marah atau apapun.

Dante sudah mengenakan handuk kimono dan aku gagal melihat tanda lahir di dadanya.

“Apa yang kamu lihat, Alice? Apakah kamu begitu penasaran dengan tubuhku?”

Ucapan Dante beserta air yang menetes dari rambutnya yang basah membuat darh mengalir ke wajahku. 

Jelas, pasti sekarang Dante sudah menganggapku sebagai wanita yang cabul.

“Tidak! Dasar kamu mesum!” sentakku dengan keras, tanganku mendorong Dante. Namun, pria itu terlalu kuat, sehingga dia tak berkutik.

“Siapa yang mesum, Alice? Aku atau kamu? Apa kau tak lihat dimana kamu letakkan tanganmu sekarang?” balas Dante, bibir pria itu kini menyunggingkan senyuman yang lebih mirip terlihat seperti seringai. 

Aku pun mengarahkan manikku ke tanganku, dan tanpa sadar, ternyata sebagian besar dari tanganku yang berusaha mendorong Dante, kini melewati batas kerah handuk kimono, dan telapakku bertemu dengan dada bidang Dante!

“Jika kamu ingin menyentuhku, kamu bisa bilang saja, Aliceku sayang. Dengan senang hati, aku bisa memuaskan hasratmu.”

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status