Setelah kejadian di kolam renang tadi, kini Jenna sudah berganti pakaian dengan kaos putih kebesaran milik Ken.Rasanya canggung sekali, sebab tiba-tiba saja Ken mendiami perempuan itu. Mungkin Jenna tidak salah melarang Ken bertindak jauh karena hubungan mereka terikat kontrak. Hanya saja, mengapa pria itu mendadak dingin padanya?"Pak ...." Jenna menghampiri pria itu yang tengah fokus menatap televisi. "Saya mau pulang."Apakah Ken tipe orang yang ngambekan? Bahkan pria itu menoleh saja tidak. Hanya berdeham dengan mata yang tidak teralihkan ke depan.Jenna memainkan ujung bajunya. Berjalan pelan dengan pikiran penuh di setiap pijakannya.Ia bingung karena selain pacaran, pria itu adalah atasannya di kantor. Jika terus seperti ini, bisa-bisa ia terkena semprot karena mood yang tidak baik. Besok Senin. Pasti amat melelahkan. "Pak," lirih Jenna membalikkan badan dan berdiri di hadapan pria itu.Jenna menatap Ken sungguh-sungguh. "Saya minta maaf soal yang tadi, Pak."Satu detik.Hing
"Kamu cemburu?" tanya Ken tiba-tiba. Jenna ngelag terlebih dahulu, kemudian menggeleng kuat. Cemburu? Mana mungkin."Besok-besok jangan kaya gitu lagi," peringat Ken seraya membenarkan posisi duduknya seperti semula."Kenapa?" tanya Jenna kebingungan. Ken melirik sebentar. "Bohong."Mendapat jawaban seperti itu Jenna menatap Ken penuh, lalu pandangannya ia alihkan ke depan. Kepalanya langsung menunduk. Astaga, ia bahkan tidak bisa bertanya lebih lanjut perihal Karin.Mobil pun kembali melanju. Beberapa menit kemudian panggilan telepon datang dari ponsel milik Ken. Jenna melirik sekilas. Berusaha menyimak kala pria itu menerima panggilan di sana."Saya di jalan," ucap Ken. Mungkin si penelepon bertanya ia sedang di mana.Saat pria itu melirik sekilas kepada Jenna, perempuan tersebut sontak kembali fokus ke depan. Ketahuan sudah ia menguping pembicaraannya. "Kamu pulang aja. Kita bicarakan lagi besok di kantor," putus Ken.Mendengar itu Jenna dapat menebak bahwa si penelepon adalah
"Tapi Jen, kamu beneran ada hubungan sama Pak Ken?" tanya Tasya penasaran. "Ceritanya panjang. Rumit. Aku nggak bisa jelasin, Sya," ucap Jenna sambil menyeruput minumnya menggunakan sedotan."Tapi beneran pacaran, 'kan?"Jenna terdiam sejenak. "Ya ... gitulah. Seperti yang kamu liat.""Jadi berita kamu sama Pak Ken kena paparazi waktu bertamu ke rumah Presdir kita—itu beneran bukan bohong, dong?" Perempuan itu mengangguk lirih. Mau bagaimana lagi? Tasya sudah tahu. Ia tidak mungkin berbohong. "Bisa heboh kantor kita kalau berita ini tersebar, Jen. Apalagi kamu sama Pak Ken beneran ada hubungan. Wah, pasti bantahan di media waktu itu juga bohong, dong?" Tasya langsung geleng-geleng kepala sendiri."Nggak sepenuhnya bohong. Waktu itu emang belum ada hubungan. Pokoknya masalah ini nggak se-sederhana yang kamu bayangkan," ujar Jenna memberitahu. "Ya—intinya kamu keren, Jen. Bisa pacaran sama atasan sendiri." Tasya menyipitkan matanya, "nggak kamu pelet, 'kan?""Nggak lah! Yang bener a
"Kamu beneran udah punya pacar, Jenna?" tanya Rani sekali lagi.Jenna pun kembali membantah, "Nggak, Bu.""Bohong itu, Bu. Masa udah tua belum punya pacar?" ucap Zio terlalu blak-blakan. "Zaki nggak boleh ngomong gitu," ucap Ridwan memberi peringatan pada sang anak.Setelahnya Zio langsung terdiam. Ia berinisiatif ikut menata bakso ke dalam mangkuk membantu sang Ibu. "Kamu itu kalau Ibu bilangin harus nurut. Mau sampai kapan sendiri? Sedangkan sebentar lagi usia kamu 30 tahun," ucap Rani sesekali melirik Jenna."Kalau memang bener belum ada pacar. Ibu bakal cariin jodoh buat kamu," lanjutnya.Jenna menghembuskan napas kasar. "Nggak perlu berlebihan kaya gitu, Bu. Jenna nggak mau dijodohin.""Mau sampai kapan, Jenna?" tanya Rani sedikit sewot. Ridwan kemudian menegur, "Bu ....""Kamu itu perempuan. Kerja nggak perlu sekeras itu. Kamu masih punya Ayah, Jenna. Kamu masih jadi tanggung jawab kami sebagai orang tua," jelas Rani menatap sang anak dengan pandangan penuh. "Jenna capek, Bu
"Mau ke mana?" Ken mengejar langkah Jenna.Tanpa menoleh sedikit pun ia berkata, "Pulang!"Tangan itu berhasil dicekal oleh Ken. "Makan dulu. Itu masakannya gimana?" Jenna memandang kesal Ken yang ada di hadapannya. "Kamu duduk di ruang tamu. Biar saya yang masak," putus Ken membawa kekasihnya ke ruang yang terdapat televisi besar di sana.Jenna duduk dengan raut wajah tidak bersahabat. Menonton televisi dengan fokus. Tidak peduli Ken di belakang sana yang sedang begulat dengan masakannya.Setengah jam pun berlalu."Jenna," panggil Ken setelah masakan itu selesai.Yang dipanggil pun menoleh. "Makan," perintah pria itu.Mau tidak mau Jenna menghampiri Ken yang sedang menata makanan di atas meja makan. Bahkan Ken sudah menyiapkan satu porsi untuk Jenna, sehingga perempuan itu tinggal makan.Keduanya makan dengan keadaan hening. Selang beberapa menit kemudian makan pun selesai. Jenna mulai merapikan piring bekas dan mencucinya di wastafel. Ken melihat punggung Jenna yang sedang mencu
Beberapa hari pun berlalu. Tiba saatnya pernikahan Naomi berlangsung. Perempuan itu terlihat cantik menggunakan gaun pengantin putih dengan rambut yang dibiarkan tergerai rapi. Tanpa sadar, Jenna tersenyum tipis. Membayangkan dirinya yang berada di atas altar tersebut. Mungkinkah ia akan seperti Naomi? Menjadi pengantin dengan riasan indah. Moment bahagia seumur hidup. Mungkinkah ... dirinya bisa?"Jenna?" panggil Sakti.Jenna menoleh. Cukup terkejut. "Loh, Sakti?" "Kirain gue salah liat. Lo datang sama siapa?" tanya Sakti penasaran. Sebab yang Sakti tahu pernikahan Naomi cukup tertutup, hanya orang-orang tertentu yang diundang. Ia hadir karena kebetulan pengantin pria adalah temannya sendiri.Jenna terdiam sebentar. Ia melihat Ken tengah asik ngobrol dengan Karin di sana. Juga ada beberapa orang di sampingnya, entah siapa."Datang sendiri," ucap Jenna memutuskan berbohong.Sakti mengangguk-anggukan kepalanya. Ia sengaja bertanya seperti padahal sudah jelas ia tahu Jenna dengan sia