LOGINHidup Jenna sudah cukup rumit dengan tuntutan pekerjaan juga pernikahan dari orang tuanya. Namun, siapa sangka, pria yang menepati rumah depan adalah bos barunya di kantor? Kendrick selaku tetangga Jenna tentu memiliki misi sendiri kenapa ia memilih tinggal di kompleks yang sama dengan Jenna, dibanding apartemen mewah miliknya. Apakah Jenna bisa tetap profesional, atau terjebak dalam perasaan yang tak seharusnya? Karena ketika tetangga menjadi bos, segalanya menjadi lebih rumit!
View MoreSeperti biasa, setiap pagi Jenna selalu menyempatkan waktu untuk sarapan sebelum berangkat kerja. Nasi goreng yang tidak lepas dari telor ceplok tersebut sudah tersaji di atas meja makan. Ayah dan adik sambungnya pun sudah siap dengan kemeja serta seragam putih birunya.
"Besok kamu beneran masuk kerja, Jenna?" tanya sang Ibu tiri, Rani. Jenna mengangguk dengan satu kunyahan kecil. Sejujurnya ia malas jika sang Ibu sudah bertanya seperti itu, pasalnya besok ia harus kerja di hari libur. Tentu saja hal itu membuat Jenna selalu mendapatkan cibiran tidak enak dari mulut sang Ibu. "Hari Minggu kok masih kerja. Kalau masuk terus tanpa ada liburnya, kapan kamu mau kenalin calon ke Ibu sama Ayah?" tanya Rani seraya mengambilkan sarapan untuk suaminya sekaligus memancing emosi Jenna. Jenna terdiam. Ia terus mengunyah walau nafsu makannya sudah hilang sedari tadi. "Kamu tau kan Hilda anaknya Pak RT? Dua Minggu lagi dia menikah. Umurnya nggak jauh beda sama kamu. Dia juga sibuk kerja, tapi buktinya dia bisa, tuh, dapat pacar yang sekarang sudah mau jadi suami di tengah kesibukannya." Jenna langsung berhenti mengunyah. Ia menelan nasi goreng tersebut dengan susah payah. Sendok yang semula dipegang olehnya langsung ia taruh di atas piring hingga menimbulkan bunyi cukup nyaring. Ia muak. Benar-benar muak. "Jenna berangkat dulu," ucap Jenna langsung mengambil tasnya hendak pergi. "Bagus kamu, orang tua lagi bicara malah pergi gitu aja," sindir Rani membuat niat Jenna kembali ia urungkan. Ia pun menatap Rani dengan tatapan menahan amarah. "Jenna beberapa kali bilang sama Ibu, kalau sudah ada calonnya. Jenna pasti menikah, Bu." "Bu, sudah. Biarkan Jenna berangkat kerja," potong sang Ayah saat istrinya hendak membalas ucapan Jenna "Jenna itu terlalu gila kerja, Mas. Teman-temannya saja sudah pada menikah, cuma dia saja yang belum. Mau jadi perawan tua dia?" ucap Jenna begitu pedas. "Bu ... sudah," tegur Ridwan. Jenna tidak habis pikir dengan Ibunya. Meski ini bukan pertama kali ia mendapat nyinyiran dari Rani, tapi kali ini Jenna cukup terluka. Entah kenapa, hatinya pagi ini terlalu sensitif sehingga perkataan sang Ibu terkesan sangat menusuk di dalam sana. Terasa perih. Apalagi kata 'perawan tua' itu berhasil keluar dari mulut orang yang selama ini sudah ia anggap sebagai Ibu kandungnya. "Zio sarapannya sudah selesai atau belum?" tanya Ridwan kepada anak lelakinya dari pernikahannya dengan Rani. "Sudah, Yah." Zio langsung memakai tasnya di pundak. "Kak Jenna ayo? Zio sudah selesai sarapannya." "Sudah, berangkat sana. Nanti kamu telat berangkat kerjanya," ujar sang Ayah dengan senyum tipisnya. Jenna hanya menatap sekilas Ayahnya, lalu langsung melenggang pergi tanpa mengucapkan satu patah kata dan diikuti Zio di belakang. Ia memang kerap kali mengantar Zio berangkat sekolah karena kebetulan sekolah Zio dengan tempat kerjanya satu arah. Di atas motor. "Kak Jenna, mau nggak Zio jodohin sama Kakak temannya Zio? Orangnya ganteng, kok. Kak Jenna pasti suka," celetuk Zio tiba-tiba. Jenna menoleh sebentar ke arah Zio. "Kamu masih kecil, Zio. Fokus sekolah, jangan mikirin apa pun. Kalau Ibu bilang yang aneh-aneh tentang Kak Jenna, jangan didengerin." "Gimana nggak didengerin kalau pendengaran Zio aja masih normal dan nggak bermasalah sama sekali," jawab Zio cukup berani. Ah, tidak. Anak itu memang sangat berani. Jenna memilih tidak menjawab. Ia terus fokus menyetir sampai akhirnya sepeda motor yang ia kendarai berhenti tepat di depan gerbang sekolahnya Zio. Zio dengan pekanya langsung turun dari motor. Anak itu hendak membuka mulutnya, tetapi hal itu dicegah langsung oleh Jenna. "Masuk. Kakak nggak mau dengar apa pun dari bocah ingusan kaya kamu," tegas Jenna seolah tahu apa yang hendak Zio katakan. "Tapi Zio serius, Kak. Kalau Kak Jenna mau, Zio bakal—" "Nggak. Kak Jenna nggak mau," tolak Jenna mentah-mentah. Ia pun langsung menyalakan mesin motornya dan kembali melanjutkan perjalanan menuju kantor di mana ia bekerja. "Kak Jenna!" teriak Zio kesal sendiri. "Yang tadi itu Kakak kamu?" tanya seseorang membuat Zio refleks membalikkan badannya. "Eh, ada Bang Ken." Zio menyengir kuda dengan pandangan menatap kendaraan sang Kakak yang sudah jauh di sana. Lantas, Zio menggaruk tenguknya yang tidak gatal. "Iya, itu Kakaknya Zio, Bang." "Rupanya Kakak kamu memang pekerja keras, ya." Pria itu memberikan tatapan tidak biasa atas menghilangnya Jenna dari pandangan. Zio menyenggol lengan Gina, sahabatnya sekaligus adik dari pria yang Zio sapa dengan sebutan Ken tersebut. "Ya sudah, kalian masuk sana." Keduanya langsung bertukar pandang dan setelahnya ngibrit ke dalam tanpa mengucapkan salam perpisahan terlebih dahulu. Sedangkan di sisi lain, Jenna baru saja sampai di kantor tempat ia bekerja. Ia membuka helm-nya saat mesin kendaraan sudah mati. Merapikan pakaian, lalu masuk ke dalam dengan menenteng tas di tangannya. "Jen, kirim soft file yang aku minta semalam, ya. Kamu bilang ada di komputer kantor, aku tunggu sekarang," perintah Karin, rekan kerjanya. "Oke, Mbak Karin!" ujar Jenna dengan semangatnya. "Semangat banget kamu, Jen. Kaya besok libur aja," ledek Karin. Jenna terkekeh pelan dengan bokong yang sudah duduk di bangku kerjanya. Ia mulai menyalakan komputernya, lalu mencari file yang Karin minta dan mengirimnya sesegera mungkin. "Sudah aku kirim lewat email, ya, Mbak Karin," kata Jenna mengkonfirmasi. "Makasih, Jen. Btw, kalau semisal besok kamu mau libur, bisa aku ajukan ke Bos. Kamu kan karyawan teladan, pasti langsung di-acc." Tiba-tiba Tasya menyahut, "Mbak Karin kaya nggak tau Jenna aja, dia malah kesenangan masuk di hari libur." Tasya benar. Mungkin dulu Jenna salah satu dari banyaknya karyawan yang menantikan hari libur, tetapi berbeda sekarang. Usia 27 tahun seolah menjadi mala petaka baginya. Karena di usia sekarang yang 3 tahun lagi menginjak angka 30, Rani selaku ibunya terus mencecar Jenna agar segera menikah. Hal itu yang membuat Jenna seolah meniadakan hari libur. "Eh, Jen, tapi kamu suka nggak kalau dijodoh-jodohin gitu? Aku punya kenalan, orangnya baik. Itu pun kalau kamu mau," ujar Karin. Jenna mengulum senyum. Tidak adiknya, tidak rekan kerjanya. Kenapa semua orang berniat menjodohkan ia dengan para kenalannya si? Apakah memang sengenes itu hidup dirinya? "Ah, nggak usah, Mbak. Kerjaan aja sudah bikin pusing, mikirin itu malah tambah pening kepala," balas Jenna dengan kekehan. Setelahnya mereka langsung disibukan dengan pekerjaan masing-masing. Jenna sesekali menjawab telepon dari klien, juga sibuk mondar-mandir memberikan beberapa berkas yang sudah ia foto copy dan membagikannya kepada tim divisinya. —Jam pulang kerja. "Jenna, Tasya duluan, ya!" ucap Karin. Dibalas anggukan oleh yang bersangkutan. Pun dengan Tasya yang sudah siap pulang. "Masih lama, Jen?" "Sedikit lagi, Sya. Kamu kalau sudah beres, duluan aja nggak apa." Tasya menyetujuinya. "Ya sudah, aku pulang duluan, Jen." Tidak lama dari itu pekerjaan Jenna pun selesai. Ia langsung bergegas pulang. Sesampainya di rumah. "Kamu cepetan mandi, ya, Jen. Dandan secantik dan sewangi mungkin, habis itu antarkan kue ke tetangga baru kita yang nempatin rumahnya Pak Solo," ujar Rani setibanya ia di rumah. Jenna mengerutkan keningnya heran. Tetangga baru? Berarti rumah yang beberapa bulan lalu sedang direnovasi itu karena pemiliknya berubah orang? "Sudah sana. Jangan kebanyakan mikir. Siapa tahu habis ini kamu ketemu jodoh," celetuk Rani. Tidak ambil pusing, Jenna langsung naik ke atas dan membersihkan badannya. Ia kembali turun setelah rapi dengan baju santainya. Lalu pergi dengan menenteng kue sesuai perintah Rani. Ia mulai menekan bel rumah tetangganya. Rumah yang terlihat cukup mewah dibandingkan sebelumnya. Pasti pemiliknya orang kaya, pikir Jenna. Saat pintu itu terbuka, alangkah terkejutnya Jenna sampai barang bawaannya hampir jatuh. "Pak Kendrick?!" ujar Jenna langsung membulatkan matanya.Adegan panas itu berlanjut sampai ke apartemen, Ken sengaja tidak membawa Jenna ke rumahnya. Lumatan yang makin dalam menjalar sampai ke tengkuk leher milik Jenna, meninggalkan jejak kemerahan di sana. Perempuan itu sedikit mengeluh karena Gio bukan hanya mengecup, melainkan menggigit cukup keras. "Pak .... " Jenna melenguh pelan. Mendorong dada sang atasan dengan kepala menggelng pelan. Napasnya terengah. Sedangkan Gio langsung memeluk tubuh Jenna dengan dekapan erat, merasa bersalah karena hampir kelepasan malam ini. Tangannya kemudian merapikan helaian rambut Jenna yang sedikit berantakan, juga menghapus lipstik merah perempuan itu yang sudah tidak tersisa."Kamu udah makan?" tanya Ken melepas cekalannya. "Di apartemen nggak ada bahan masakan. Paling ada mi instan aja."Usai merapikan pakaiannya, Jenna pun membalas. "Bapak lapar? Kalau iya, saya buatkan mi instan mau?" "Saya risih sekali dipanggil seperti itu."Keningnya mengerut sempurna. "Risih gimana?""Saya nggak suka sama p
Pukul 7 malam.Saat ini Jenna sudah rapi dengan baju berwarna merah ati dipadukan rok pendek di atas lutut berwarna hitam. Ia tersenyum di depan cermin seraya merapikan rambutnya yang dikeriting lurus."Let's go, Jenna!" kata wanita itu mengambil tas selempangnya dan turun ke bawah.Di ruang televisi ada Zio dan sang Ibu yang tengah duduk santai, keduanya kompak menatap Jenna dengan pandangan aneh."Mau ke mana kamu?" Itu suara sang Ibu yang bertanya. Jenna memegang tasnya ragu. "Keluar sebentar makan sama temen, Bu.""Bukan temen itu, Bu. Tapi pacar barunya," kata Zio sengaja kompor.Wanita itu langsung melirik sinis. "Diem kamu, ya, Zio." "Pacar baru?" Buru-buru Jenna menggeleng. "Bukan, Bu. Jangan dengerin Zio. Dia suka sebar hoax.""Loh, bener, kok. Kak Jenna sama Bang Ken udah putus bukan? Aku pernah liat kalian berdua berantem di depan rumah."Sial. Zio benar-benar tak bisa di-rem mulutnya. Ia berbicara seperti itu seakan tak melihat situasi. "Bener kamu udah putus sama Ken?
"Mas Kendrick?"Keduanya langsung menoleh secara bersamaan. Jenna melihat mata wanita itu berbinar, kemudian melirik Ken yang tampak terkejut setelahnya."Aku pikir salah orang." Wanita yang belum diketahui namanya itu tersenyum lebar. "Lama nggak ketemu, Mas."Pria itu tiba-tiba berdiri dan menyambut sapaan hangat itu dengan tubuh kaku. "Angel?" Kebingungan melanda di tengah-tengah kecanggungan kedua manusia yang rupanya baru bertemu kembali setelah lama berpisah. Angel. Wanita yang dulu pernah mengisi hati Ken."Pacar kamu?" tanya Angel melirik ke arah Jenna.Merasa namanya disebut Jenna langsung berdiri hendak menyangkal kalimat wanita di depannya. Namun, jawaban Ken justru membuat kedua bola matanya membulat sempurna. "Iya. Dia pacar saya, namanya Jenna."Jenna buru-buru menggeleng kuat. Tak mau Angel salah paham, sebab ia merasakan sesuatu yang aneh dari kedua manusia itu. "Ah ... Jenna? Sorry, ya, jadi ganggu makan siang kalian. Kebetulan aku ada janji sama temen juga di sini
"Kamu kasih saya waktu satu bulan?" tanya Ken kembali memastikan. Jenna mengangguk lirih.Lantas, Ken pun sedikit menjauh dan menahan senyum di sana. Ia senang sekali, tetapi tak ingin menunjukkan pada Jenna karena gengsinya yang setinggi langit."Ya sudah, sana kamu kembali kerja. Saya harus mikirin sesuatu supaya kamu makin tertarik."Lucu sekali. Jenna ingin tertawa, tetapi ia tahan karena melihat perubahan ekspresi pria itu yang cukup signifikan. Setelahnya ia pun keluar dari ruangan dengan perasaan hangat."Horor banget keluar dari ruangan Pak Bos malah senyum-senyum sendiri," celetuk Tasya memandang heran.Dewi yang baru datang pun langsung menyahut, "Ngapain pagi-pagi dipanggil Pak Bos?""Biasa Pak Bos terbakar api cemburu karena Jenna deket sama mantan gebetannya dulu." Ia yang sedang membereskan meja kerjanya sontak berhenti. "Aduh, pertanda nggak aman, nih, kerja hari ini.""Mulai, deh, gosip." Jenna akhirnya membuka suara."Nggak apa-apa kali, Jen. Kita gosip juga di dep
—Pagi hari."Jenna." Liam memanggil dengan sebuah kantong makan di tangannya.Perempuan itu menoleh. Menghentikan langkahnya kala melihat Liam berlari kecil menghampiri."Saya dengar roti di lobi bawah enak. Kebetulan saya beliin satu buat kamu," ujar Liam seraya meyodorkan roti tersebut. Jenna merasa tidak enak. Ia menerimanya dengan perasaan ragu. "Makasih, Mas.""Kamu belum sarapan, 'kan?" tanya Liam.Perempuan itu kemudian menggeleng lirih. "Itu bisa buat ganjal perut kamu," ucapnya memberi kode pada roti yang sudah beralih tangan.Lagi lagi Jenna tersenyum dan mengangguk kecil. Ting.Suara lift terbuka. Liam menoleh dan berkata, "Kalau gitu saya pergi dulu. Semangat kerjanya.""Iya, Mas. Terima kasih rotinya," balas Jenna sedikit kaku.Liam tersenyum penuh arti dan memasuki lift sampai pintu itu kembali tertutup.Jenna pun melanjutkan jalannya. Sesekali bersenandung kecil dan menebarkan senyum pada beberapa orang yang lewat."Roti?" Seseorang merebut paksa kantong makanan ters
—Di dalam mobil. Sepanjang perjalanan, mata Liam tidak berhenti melirik ke arah di mana Jenna duduk di bangku penumpang. Sesekali bibirnya tersenyum tipis. "Kamu udah lama kerja di sana?" tanya Liam basa-basi. Jenna mengangguk pelan. "Lumayan. Sudah 2 tahun." Liam menoleh sebentar, kemudian kembali fokus ke depan. "Jenna ... soal masalah dulu, saya minta maaf, ya." Masalah yang Liam maksud adalah ketika pria itu menolak cinta Jenna. Entah bagaimana Liam masih ingat hal tersebut, padahal sudah lama sekali. Namun, meski sudah bertahun-tahun itu merupakan moment yang tidak akan pernah Jenna lupakan. "Nggak apa, Mas. Itu cuma cerita lama. Nggak begitu berpengaruh juga," jawab Jenna tersenyum tipis. Sayangnya bukan itu yang Liam inginkan. Meski kala itu ia juga mencintai Jenna, tetapi hubungan jarak jauh itu tidak mudah. Makanya Liam tidak pernah bicara yang sesungguhnya. Ia tidak ingin membuat Jenna makin berharap jika waktu itu ia juga mengutarakan isi hatinya. "Laki-lak
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments