Share

Teror Berdarah
Teror Berdarah
Penulis: owlysh

Bagian : 1

Di dalam sebuah kamar bernuansa klasik, duduklah seorang perempuan yang tengah memetik senar ukulele. Dari bibirnya terlantunkan kemerduan suara bersama lirik lagu penuh kebahagiaan, karya dari salah satu penyanyi pop terkemuka dunia. Meski apa yang ia nyanyikan sangat bertolak belakang dengan keadaannya saat ini, hatinya tetap berusaha tegar. Satu hal yang Yonna percaya, kebahagiaannya pasti datang suatu hari nanti. Yang harus ia lakukan adalah bertahan hingga pintu kebahagiaan itu terbuka dan mengundangnya untuk menetap atau sekadar bertamu. 

Menghapus bulir mutiara yang mengalir keluar, Yonna masih melanjutkan konser tunggalnya. Semua benda mati di sekitar merupakan penonton setia juga pendukungnya. Saat ingin berganti lagu, ponsel pintarnya berdering, memanggil untuk diangkat.

"Halo," sapanya.

"Ada apa dengan suaramu?" tanya seseorang di seberang dengan suara maskulin.

"Tidak ada apa-apa, Luther," kilah Yonna.

"Aku tahu kau berbohong. Masalah itu lagi?" ucap Luther dengan nada melembut penuh perhatian.

"Iya, biarkan saja. Ada apa jam segini menelepon?" Yonna meletakkan ukulelenya di atas meja belajar, kemudian berjalan menuju tempat tidur.

"Hm? Adakah larangan menghubungi pacar di jam sebelas malam?" ujar Luther yang justru mendapati decakan dari Yonna—pacarnya.

"Apaan!" Yonna menduduki kasurnya dengan wajah memerah. 

Terdengar kekehan dari pengeras suara. "Bisakah kau kirimkan foto wajahmu saat ini?"

"Tidak."

"Kenapa? Karena pipimu bersemu merah?" tebak Luther yang semakin membuat pipi pacarnya memerah. Yonna dapat merasakan seringaian Luther dari sini.

"Luther! Jika kau menelepon hanya untuk menggodaku, pergilah."

Percayalah, Yonna tidak bermaksud mengusir. Lelaki yang sudah berpacaran dengannya selama enam bulan itu tertawa mendapati balasan ketus Yonna.

"Jangan marah, cantik. Aku takut tukang kebun melihat wajahmu."

"Tukang kebun? Pak Gading? Kenapa?" Dahi Yonna terlipat mendengarnya.

"Nanti dia pingsan karena kau terlalu imut, kasihan istrinya." 

"Apaan, Luther! Itu sama sekali tidak bekerja. Pak Gading bahkan pasti sedang tertidur sekarang."

"Bagaimana kau tahu? Apa kau baru saja memeriksanya? Beraninya kau."

"He, tidak."

"Benarkah?"

"Iya, apa gunanya aku memeriksa."

"Hm."

"Ck, kenapa jadi bahas Pak Gading?"

"Entah."

Yonna menghela napas dan bertanya, "Kenapa kau belum tidur?"

"Karena kau belum tidur, cantik. Apa saja yang kau lakukan?"

"Tidak ada, hanya duduk."

"Kalau begitu berbaringlah sekarang dan tutup matamu," titah Luther.

"Sudah," ucap Yonna setelah berbaring. Sebelum menutup mata, ia mematikan lampu tidur terlebih dahulu.

"Yakin?"

"Hm," gumam Yonna.

"Tidur!" pinta Luther tanpa penolakan.

Tidak terdengar respon dari pacarnya, Luther mendekatkan ponsel ke telinga. Tak lama, dia mendapati deru napas yang teratur. Menandakan bahwa gadisnya baru saja tertidur. Membiarkan keadaan itu berlangsung setengah jam, akhirnya lelaki tampan itu menutup panggilan. 

Dalam hubungan mereka, Luther merasa bersyukur menjadikan Yonna sebagai gadisnya. Luther memiliki kekuatan yang juga sekaligus menjadi kekuatan bagi gadis rapuhnya itu. 

Luther berjalan menuju balkon kamar, merogoh bungkus rokok dari saku celana. Selepas membakar ujung rokok dengan pemantik, Luther menghisap dalam-dalam gulungan tembakau. Inilah salah satu dari caranya menghangatkan tubuh, membaui asap mentol, menikmati malam yang sunyi.

/////

Yonna bergerak gelisah dalam tidur, mimpi buruk terus saja menghantui setiap malamnya. Peluh bertebaran di seluruh wajah tirusnya, dahinya pun ikut memanas. Yonna mulai menggumamkan beragam kata, samar-samar, dan tidak jelas. Ia tersentak dari tidur, napasnya tersengal-sengal. Sayang sekali, ketika bangun ia sulit mengingat rekaman dari mimpinya selain satu warna, merah. 

"Merah, merah, merah! Sebenarnya mimpi apa itu?!" Yonna berteriak kesal. 

"Sulit sekali mengingatnya!"

Satu tangan Yonna menyeka peluh, melirik jendela yang menangkap cahaya matahari pagi dari luar. Ia menoleh menatap nakas, di sana tergeletak sebuah jam yang sedang menunjuk angka enam. Seperti biasa, untuk menghapus kekesalannya, Yonna akan pergi ke kamar mandi guna menyegarkan diri. Harap-harap teror dari sang mimpi ikut luruh bersama air dan memasuki pembuangan.

Selesai bersiap dengan seragam sekolah, Yonna turun ke ruang makan. Ia mengambil roti lapis isi selai kacang, kemudian duduk. Mama Yonna—Yulissa—datang membawa segelas susu hangat.

"Mama pulang telat malam ini, jadi Mama sudah pesankan ke Bibi agar masak untuk kamu saja." Yulissa tersenyum ke anak semata wayangnya itu.

"Ayah juga pulang telat?" 

"Tentu saja, Ayahmu selalu pulang larut malam, kan?" Terselip nada ketus dalam kalimat yang terlontar barusan.

"Baiklah."

"Kamu bisa mengundang teman-temanmu kemari atau pergi berbelanja, asal jangan sampai lupa waktu." 

"Iya, Ma. Jangan khawatir."

Yulissa mengelus puncak kepala Yonna, rambutnya lurus turunan dari Yulissa sendiri. Mata lentik dan hidung yang mancung juga menuruti Yulissa, sedangkan tinggi dan bentuk tubuh yang kurus merupakan turunan ayahnya.

"Mama berangkat dulu, ya? Kamu yang benar sekolahnya!" 

"Iya, Ma. Hati-hati di jalan!" 

Yonna memandangi mamanya yang meninggalkan meja makan. Saat hendak meminum tegukan terakhir, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Luther baru saja masuk, tertera dia sudah menunggu di depan rumah. Dengan berlari kecil, Yonna sampai di luar gerbang depan rumah. Menyadari kehadiran Yonna, Luther membuka kaca helm, tangan kanannya mengambil helm lain yang biasa dia bawa khusus untuk gadisnya.

"Maaf, lama." Yonna menerima helm dari Luther.

"Santai. Ayo, naik!" titah lelaki pemilik kepopuleran di SMA Wondrous—sekolah mereka. Setelah Luther merasakan Yonna menggenggam kedua sisi jaketnya, barulah dia memacu motor.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status