Mendengar teriakan melengking nyaring, mereka bertiga langsung menghadap ke sumber suara. Di sana, di luar pintu masuk restoran, seorang wanita terlihat berjongkok sembari melindungi bayi di dalam gendongan.
Tepat tak jauh dari wanita tersebut, berdiri seorang pria dengan pakaian serba hitam. Bagian wajah tertutup masker, topi jaket, dan setiap masing-masing tangan terbungkus oleh kaus.
"Ada apa ini?" tanya Yonna kebingungan.
Akia sebagai karyawan di restoran tersebut mengambil langkah maju, bermaksud mendekati wanita dengan bayi di gendongannya. Tetapi seorang pramusaji laki-laki menahan tangan Akia untuk berhenti.
"Kita harus membantunya, menanyakan apa yang terjadi," ucap Akia penuh khawatir.
Sekali lagi wanita itu berteriak, makin keras. Sang bayi pun turut menangis.
"Lepaskan!" Akia menghempaskan tangannya.
Tak jauh dari mobil yang menabrak penembak, motor Luther berhenti mendadak ikut kaget saat kendaraan di sampingnya melempar tubuh seseorang dengan jauh. Mengetahui di mana dia berhenti, Luther menolehkan kepalanya cepat ke arah kiri. Di mana restoran tempat Yonna berkumpul berada. Mengerutkan keningnya, Luther kebingungan menyaksikan keadaan restoran yang terlihat berbeda. Sebuah mobil kepolisian di belakangnya pun memarkirkan diri di depan restoran. Seisi pengunjung restoran berlari keluar, Luther melihat beberapa di antara mereka langsung menaiki kendaraan tetapi ditahan oleh petugas polisi. Khawatir dengan keadaan Yonna, Luther ikut parkir ke depan restoran, berlari masuk dan mendapati pacarnya berdiri sambil menggendong bayi. Terkejut melihat ada mayat, Luther meraih lengan Yonna. "Kamu nggak papa?" "Nggak papa, cuma syok aja," jawab Yonna lemah. "Sebenarnya a
Merasa pergerakannya tertahan, Luther melirik tangan Yonna yang satunya ditahan oleh Malilah. "Kenapa?" "Tadi Yonna datang ke sini bareng aku, berarti pulangnya juga bareng aku!" "Siapa yang buat aturan itu?" "Aku!" Malilah meletakkan kedua tangannya di pinggang. "He-em. Aku tadi ke sini sama Malilah, masa pulangnya diantar kamu? Nggak adil." "Kan, nggak salah?" "Iya, nggak salah tapi bisa jadi salah. Aku juga nggak mau. Lagian kamu 'kan, mau ambil pesanan mama kamu. Pasti Tante sudah menunggu, kamu duluan aja. Aku sama Malilah." Meratakan dahinya yang sempat berkerut, Luther akhirnya setuju. Usai meminta agar Malilah hati-hati dalam mengemudi, Luther melenggang pergi ke luar restoran lebih dahulu. "Hati-hati!" tukas Yonna. "Kau masih di sini, Ki?" tanya Malilah sambi
Tak lama setelah mereka memutuskan sambungan, ponsel Yonna kembali mendapatkan sebuah panggilan masuk. Kali ini benar dari Malilah. "Lagi teleponan sama Luther, ya?" tebak Malilah begitu saja dalam panggilan grup mereka. "Bukan, tadi Rasia yang telepon." "Hah? Rasia?" tanya Malilah kaget, Akia pun terdengar menanyakan hal yang sama. "Iya, dia nanya tentang penembakan di restoran tadi, soal ibunya Gisel. Rasia mau cari kebenarannya, takut yang tersebar itu palsu atau salah orang." "Pasti Rasia kaget, kemarin sahabatnya, sekarang ibu dari sahabatnya yang meninggal. Saya tidak bisa membayangkan betapa terlukanya Rasia waktu dengan berita ini." "Ho-oh, apalagi cara mereka kehilangan nyawa nggak ada yang masuk akal. Sadis semua," tambah Malilah. "Eh! Mulutmu lemas banget, Lil," tegur Yonna. "Kenapa?" tanya
Yonna menekan-nekan tombol remote control dengan malas, ia tidak menemukan satu pun tayangan televisi yang menarik untuk dinikmati. Melempar pengendali jarak jauh itu ke sudut sofa, Yonna membuang napas panjang. "Nggak ada yang menarik untuk ditonton, nih? Aish!" Bibi datang membawa segelas jus jeruk, meletakkannya di atas meja. "Nggak ada, Non. Zaman sekarang susah cari tayangan yang berkualitas, aneh-aneh sekarang, mah." "Bi," panggil Yonna, tetapi matanya melirik sebuah ponsel yang terletak tak jauh dari gelas. "Iya, Non?" "Kenapa Mama belum ada kasih kabar, ya?" "Mungkin, Bu Yulissa sedang rehat dari penggunaan ponsel, Non. Kan, kalau Bu Yulissa main ponsel terus, dia bisa ingat tentang Bapak." "Yonna telepon juga nggak aktif nomornya, berarti benar rehat dari ponselnya ya, Bi?" "Iya, N
"Arghh!" Luther menggeram. Tubuh Yonna bergetar karena tangisan, ia masih setia dengan posisi duduk di lantai. Menatap Luther, Yonna meraih ujung baju laki-laki tersebut. "Luther, aku mohon sama kamu. Tolong, percaya aku! Aku nggak punya rasa apa pun sama dia. Iya, salahku karena menerima tawaran pelukan itu, jadi aku mohon maaf! Maafkan aku, Luther. Ya?" bujuk Yonna. "Mungkin kamu nggak punya perasaan sama dia sekarang, tapi gimana kalau besok? Setiap dia datang ke sini, memberi perhatian lebih, apa kamu nggak akan tertarik sama dia?" "Nggak akan, Luther! Serius! Aku cuma suka sama kamu! Selamanya akan begitu! Dugaan kamu nggak akan pernah terwujud! Nanti aku yang akan minta Clovis buat nggak pernah datang ke sini lagi, aku akan ngomong sama dia. Tapi, berhenti marah, ya?" "Dia itu suka sama kamu!" teriak Luther, berkata jujur.
"Argh!" Yonna membanting ponselnya dengan keras ke sudut kamar. Sudah lebih dari tiga hari, tetapi Luther tidak kunjung menghubunginya. Pesan-pesan yang Yonna kirimkan tidak dibalas, bahkan panggilan telepon pun tidak diangkat. "Kan! Bukannya istirahat, hubungan kita malah sekarat! Ini yang aku nggak mau, Luther! Ini!" Yonna tidak berhenti mengacak-acak rambutnya. Setiap hari Yonna berusaha makan tepat waktu, menjaga kesehatan dirinya. Memaksa makan, walau sebenarnya Yonna sendiri tidak dapat merasakan kenikmatan makanan dengan baik. Semuanya terasa hambar, bahkan meminum air gula sekalipun, tidak ada manis-manisnya. "Luther, kumohon! Datang, datang, datang!" Yonna mengintip dari jendela kamarnya, berharap Luther akan berada di luar rumahnya. "Nggak mungkin hubungan kita berakhir, nggak mungkin! Aku nggak mau, Luther. Aku nggak mau," monolog Yonna sembari me
"Astaga, Nona? Apa yang terjadi?" kaget bibi ketika membukakan pintu yang diketuk. "Nggak papa, Bi. Semuanya sudah baik-baik saja," ujar Luther yang tidak ingin membuat bibi ikut khawatir. "Aduh, mangkanya Bibi tadi merasa nggak enak. Kalau tahu gini, Bibi larang Nona keluar malam-malam." "Nggak papa, Bi. Tolong ambilkan air putih." Luther membawa Yonna duduk di sofa, masih dengan posisi yang saling memeluk. "Jangan kaya gitu lagi, ya?" pinta Luther lembut. "Maaf. Aku memang bodoh, suka ambil keputusan mendadak, suka mengejar risiko-" "Sstt! Nggak boleh ngomong gitu, cantik. Kamu nggak bodoh, semua itu nggak bener. Okay?" "Tapi-" "Sudah." Luther melirik bibi yang datang membawakan air putih, "Minum dulu," pintanya kemudian. "Jangan ke mana-mana," taha
"Ayo!" Yulissa memegang pergelangan tangan Yonna, menyeretnya keluar. "Ma?! Aduh, sakit, Ma!" "Ikut Mama, cepat!" Yulissa terus menarik Yonna, mengabaikan tatapan terkejut dari teman-teman juga Bibi di sana. "Ma, kasih tahu Yonna. Ini kenapa tarik-tarik, Yonna? Kita mau ke mana?" "Jangan banyak bicara, Yonna!" bentak Yulissa di depan pagar, taksi sudah terparkir di luar halaman rumah. Tersentak, Yonna terkejut mendapati sang mama baru saja membentaknya. Ini kali pertama Yulissa bertindak seperti itu. "Ma?" lirih Yonna. Sadar akan tindakannya, tubuh Yulissa meluruh ke aspal. Tangis yang sedari tadi ditahan, akhirnya tumpah seluruhnya. "Ma ... Sebenarnya ada apa? Mama baru pulang, kenapa mau pergi lagi?" Yonna menyeret langkahnya mendekati Yulissa.