"Kau nggak pernah cerita kalau kau punya fobia juga, Lil," ujar Yonna yang memilih menutup kembali laptopnya.
"Aku itu selalu mau cerita, tapi nggak tahu kenapa sering lupa. Sebenarnya ini juga aku baru sadari, sekitar tiga bulan lalu."
Petunia yang selesai mengirim pesan pada psikiater kenalan papanya, mengubah posisi duduk menjadi lebih dekat dengan mereka. "Ka-kamu fobia apa, M-Malilah?"
"Hm, katakan!" desak Yonna yang sudah kepalang penasaran.
"Sini, dekat-dekat. Biar aku cerita," titah Malilah yang langsung dituruti oleh mereka, termasuk Akia.
"Kami sudah merapat, sekarang waktunya kamu cerita, Lil. Jangan bikin kami penasaran aja," ujar Akia, membuat yang lain mengangguk setuju.
"Okay, jadi aku itu fobia sama kata-kata yang panjang banget! Banget!"
Dahi Yonna mengerut, dibenarkannya ikatan rambutnya yang mulai longgar, l
Pertanyaan Malilah membuat Petunia terdiam sebentar, kemudian perempuan itu pun menggeleng pelan. "Se-sejauh ini, saya be-belum pernah berpikir u-untuk memberontak, L-Lil," jawab Petunia santai. "Kamu juga kenapa bertanya seperti itu, Lilah. Kalau Petunia saja merasa nyaman, dia pasti tidak mungkin menjadi pemberontak." Malilah memajukan bibirnya. "Kan, dia anak papi. Pasti apa kata papinya, dia langsung nurut aja." "Atau sebaliknya," timpal Yonna. "I-iya, te-tetapi kebanyakan saya y-yang ikut kata Papi. Se-sepertinya saya te-terlalu penurut." Petunia pun tertawa kecil. "Kok, kau tahan sih, begitu?" tanya Malilah lagi penasaran, sebab dirinya tidak begitu suka diatur.
"Itu artinya kamu ada rasa kepada Dovis, Lil!" terka Akia yakin. Masih mengelak, Malilah mengayunkan kedua tangannya dengan kuat. "Kupikir itu wajar, Kiya. Kami kan sudah sering bercanda, bertengkar, jadi pas dia tiba-tiba menjauh begini rasanya sesak aja." "Kalau kau awalnya biasa aja ke Dovis, pasti sekarang juga biasa aja. Kecuali kau merasa spesial." "Sebenarnya tidak juga seperti itu," ucap Akia kemudian, "Saya rasa karena kalian begitu dekat, pertemanan kalian berdua sangat akrab, sehingga saat salah satunya menjauh, akan ada sensasi terluka." Menatap Akia malas, Malilah menunjuk perempuan itu. Sebelumnya Akia begitu yakin bila Malilah menyukai Dovis, lantas kini dugaannya tiba-tiba berubah. "Itu yang aku mau coba jelaskan dari tadi, tahu. Kalian malah kekeh bilang aku suka sama Dovi. Bayangin aja, kebiasaan setiap sekolah selalunya dijailin, eh, tiba-tiba jadi kayak orang asing." Malilah memalingkan wajahnya, kembali menatap layar lapto
Menggerakkan kepalanya naik dan turun secara berulang, Akia memiliki pikiran serupa dengan penyampaian Petunia barusan. "Benar, sebaiknya kita tidak melakukan rencana ini sendirian. Ya, dalam artian hanya berisi perempuan. Akan terlalu berbahaya bagi kita, terlebih lagi saya tidak tahu cara terbaik dalam membela diri. Saya tidak tahu apa-apa soal itu." "Aku tahu caranya melawan, tapi cuma dalam mode kepepet. Apa aja yang aku lihat, pasti bakalan bisa jadi alat," serbu Malilah diiringi tawa, lalu detik berikutnya diikuti oleh Yonna. "Kekuatan dari kepepet itu memang luar biasa, Lil. Tapi nggak selamanya akan berhasil, minimal hasilnya sesuai dari yang kita lakuin. Nggak cukup buat ngejaga kita semua." "I-iya, maka dari i-itu saya menawarkan un-untuk mengajak t-teman laki-laki kalian." Petunia menatap Yonna saat berucap kalimat tersebut, ia tahu jika keputusan Yonna cukup berpengaruh. &
Meninggalkan gundukan tanah berisi jasad Karlo, Yonna menggenggam tangan sang mama, menggiring mamanya itu untuk berjalan menuju pintu keluar. Yulissa menyeka air matanya, lalu menatap Yonna yang berucap akan mendatangi pusara wakil kepala sekolahnya bersama sahabat-sahabatnya yang lain. "Setelah ini, kalian hati-hati ya, berkendaranya. Pelan-pelan saja, fokus ke jalanan dan keadaan sekitar. Kalau merasa ada yang aneh, mau itu ada yang mengikuti atau perasaan janggal lainnya, langsung cari perlindungan. Okay?" Yulissa berucap panjang memberi Yonna beserta teman satu sekolah anaknya tersebut wejangan agar sangat berhati-hati. "Iya, Ma. Jangan terlalu khawatir, nggak baik juga untuk kesehatan Mama," balas Yonna lembut. "Pokoknya hati-hati, jaga satu sama alin, ya? Luther," panggil Yulissa menatap si pemilik nama. "Iya, Tante." "Jaga anak Mama, ya? Jangan sampai lepas dari pandangan kamu!" "Ma…." Yonna mencoba mencegah sang mama supaya ti
Malilah memarkirkan mobil di samping kiri restoran tempat mereka semua berjanji. Konsultasi Akia berjalan lancar, hasilnya pun lebih baik dari perkiraan mereka semua. Membuka pintu, Yonna mencari-cari keberadaan Luther bersama dua laki-laki kembar itu. Setelah menelusuri seisi restoran, Yonna tersenyum saat Clovis melambaikan tangan lebih dahulu. Pemuda itu yang pertama sadar kedatangan mereka di pintu masuk. Luther segera berdiri begitu Yonna dan yang lainnya tiba di meja. Menarikkan sebuah kursi untuk kekasihnya duduki, Luther menerima sorot terpaku dari seseorang. "Gimana tadi hasil diagnosanya, Kiya?" tanya Dovis yang ingin tahu hasil pemeriksaan teman sekelasnya tersebut. "Bagus." "Bagus?" ulang Clovis bingung, satu alisnya naik tajam. "Psikiater itu mengatakan bahwa tidak ada yang terbilang parah, semuanya di batas normal. Tetapi dia tetap m
"Apa sebenarnya kalian paham atas semua rencana gila ini?" Luther menatap tiap mata para wanita itu begitu tajam. "Luther, kau nggak-" "Kau?" ulang Luther atas kata Yonna sebelumnya, tidak biasa perempuan itu menggunakan kau dan bukannya kamu. "Kami cuma mencoba mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, bukan mau ngajak perang. Kenapa kau berlebihan sih, Luther?!" Malilah mengerutkan dahi tanda kesal. "Berlebihan? Kau pikir yang menurut kalian sekadar ingin tahu itu adalah permainan? Di mana ketika kalian terjun dan merasa berbahaya, bisa mundur kapan aja?" "Kau berpikir terlalu jauh, Luther. Memangnya nggak bisa kayak gitu? Kau yang punya permainan ini? Kau yang atur semua ini, sampai ngomong gitu, ha? Niat kami juga baik, asal kau tahu. Bukan mau main-main. Atau kau sudah merasa cukup, sampai nggak ada rasa takut teror ini menerpa orang-orang yang kau sayang?" ser
Yonna membaca pesan yang ia terima, ternyata dari Clovis yang berisi pertanyaan kekhawatiran akan keadaan dirinya. [Kamu nggak papa, 'kan? Please, batalin rencana kalian. Aku takut kamu kenapa-napa. Ini nggak terlihat seperti kasus yang sederhana, Yon. Bukan demi aku, tapi Luther dan mama kamu.] Dalam keadaan hening itu, Yonna memilih tidak membalas dan justru menghapus pesan tersebut. Takut bila Luther melihatnya akan salah paham. Ia tidak ingin ada pertikaian antar sahabat itu lagi. "Ah, maaf. Kita makan dulu, ya. Kasihan makanannya jadi dianggurin." Yonna memajukan tangannya meminta agar yang lain segera mengangkat sendok dan garpu mereka. Menghela napas, Luther mengangguk sekali. Setelah Yonna, lelaki itu menjadi orang kedua yang menyentuh makanan. Tanpa diminta lagi, yang lain pun ikut menyantap makan tersebut. Mulai dingin memang, karena terabaikan oleh topik pembicaraan mereka yang cukup berat dan menguras emosi. Selama makan itu pula t
Keluar dari restoran, mereka berencana langsung menuju kantor polisi. "Tu-tunggu, apa tidak m-masalah bila kita me-melaporkan hal ini langsung?" "Kenapa, Ki? Biasanya kan, orang-orang langsung laporan ke sana," ujar Malilah bingung. "Ho-oh, memangnya mau ke mana lagi?" tanya Dovis. "S-saya takut ki-kita dianggap mempermainkan m-mereka." "Jangan takut, Petunia. Maka dari itu bagusnya kita langsung laporan sama mereka, kita kan bawa barang bukti. Kalau tadi lewat telepon, baru deh, mereka berhak curiga." Malilah membenarkan ucapan Yonna. "Betul, tuh. Kalau kita langsung ngomong empat mata, polisi di sana bisa aja nilai sendiri kita ini bohong apa nggak." Petunia mengangguk paham, sebenarnya ia ingin menawarkan untuk menghubungi salah satu aparat yang Papinya kenal. Agar lebih mudah dan nyaman. "Memangnya kamu ingin menggunakan cara apa selain yang tadi, Petunia?" Akia membenarkan letak tas selempangnya. "Sa-