"Argh!" Yonna membanting ponselnya dengan keras ke sudut kamar.
Sudah lebih dari tiga hari, tetapi Luther tidak kunjung menghubunginya. Pesan-pesan yang Yonna kirimkan tidak dibalas, bahkan panggilan telepon pun tidak diangkat.
"Kan! Bukannya istirahat, hubungan kita malah sekarat! Ini yang aku nggak mau, Luther! Ini!" Yonna tidak berhenti mengacak-acak rambutnya.
Setiap hari Yonna berusaha makan tepat waktu, menjaga kesehatan dirinya. Memaksa makan, walau sebenarnya Yonna sendiri tidak dapat merasakan kenikmatan makanan dengan baik. Semuanya terasa hambar, bahkan meminum air gula sekalipun, tidak ada manis-manisnya.
"Luther, kumohon! Datang, datang, datang!" Yonna mengintip dari jendela kamarnya, berharap Luther akan berada di luar rumahnya.
"Nggak mungkin hubungan kita berakhir, nggak mungkin! Aku nggak mau, Luther. Aku nggak mau," monolog Yonna sembari me
"Astaga, Nona? Apa yang terjadi?" kaget bibi ketika membukakan pintu yang diketuk. "Nggak papa, Bi. Semuanya sudah baik-baik saja," ujar Luther yang tidak ingin membuat bibi ikut khawatir. "Aduh, mangkanya Bibi tadi merasa nggak enak. Kalau tahu gini, Bibi larang Nona keluar malam-malam." "Nggak papa, Bi. Tolong ambilkan air putih." Luther membawa Yonna duduk di sofa, masih dengan posisi yang saling memeluk. "Jangan kaya gitu lagi, ya?" pinta Luther lembut. "Maaf. Aku memang bodoh, suka ambil keputusan mendadak, suka mengejar risiko-" "Sstt! Nggak boleh ngomong gitu, cantik. Kamu nggak bodoh, semua itu nggak bener. Okay?" "Tapi-" "Sudah." Luther melirik bibi yang datang membawakan air putih, "Minum dulu," pintanya kemudian. "Jangan ke mana-mana," taha
"Ayo!" Yulissa memegang pergelangan tangan Yonna, menyeretnya keluar. "Ma?! Aduh, sakit, Ma!" "Ikut Mama, cepat!" Yulissa terus menarik Yonna, mengabaikan tatapan terkejut dari teman-teman juga Bibi di sana. "Ma, kasih tahu Yonna. Ini kenapa tarik-tarik, Yonna? Kita mau ke mana?" "Jangan banyak bicara, Yonna!" bentak Yulissa di depan pagar, taksi sudah terparkir di luar halaman rumah. Tersentak, Yonna terkejut mendapati sang mama baru saja membentaknya. Ini kali pertama Yulissa bertindak seperti itu. "Ma?" lirih Yonna. Sadar akan tindakannya, tubuh Yulissa meluruh ke aspal. Tangis yang sedari tadi ditahan, akhirnya tumpah seluruhnya. "Ma ... Sebenarnya ada apa? Mama baru pulang, kenapa mau pergi lagi?" Yonna menyeret langkahnya mendekati Yulissa.
"Bareng kita aja, ya, Tante?" Malilah menawarkan. Menatap wajah teman Yonna itu, Yulissa mengangguk setuju. Keadaan di dalam mobil sangat hening, tidak ada dialog sedikit pun yang tercipta. Bahkan bisikan pun tidak ada. Semuanya diam, seakan menikmati rintikan hujan yang mulai turun deras. Di belakang, Luther mengikuti mobil Malilah. Hatinya tidak tenang, begitu khawatir akan kondisi Yonna. "Kalian jangan pulang dulu, ya? Baju kalian basah, ganti pakai punya Yonna aja di kamar." "Ayo," ajak Yonna meminta teman-temannya ikut ke kamar, kecuali Luther. Laki-laki itu sadar diri akan gendernya, jadi dia memilih membuka jaketnya dan menunggu di sofa. Memasuki kamar, Yonna langsung menerima pelukan dari ketiga temannya. Mendapati itu, ia kembali menangis. "Aku- aku nggak tahu gimana masa depanku k
"Besok malam kami ke sini, ya? Menginap." "Iya, Lil. Jangan lupa bawa makanan, biar makin seru kalau makanannya banyak," balas Yonna sembari membantu menutup pintu mobil Malilah dari luar. "Siap! Kami pulang dulu, Dah!" "Dah! Hati-hati!" Yonna melambaikan tangannya membalas ketiga temannya tersebut. Setelah mobil Malilah meninggalkan halaman rumah, Yonna masuk ke dalam bersama Luther. Sekarang sudah pukul sepuluh malam, tetapi belum ada yang tidur. "Yonna, belum mau tidur, Nak?" Yulissa menatap anaknya tersebut. "Belum, Ma," jawab Yonna singkat. "Cantik, aku ke toilet dulu," izin Luther yang langsung berjalan setelah Yonna mengangguk. "Sini," panggil Yulissa, meminta anaknya duduk. "Bi, boleh minta tolong buatkan cokelat panas, dua."
"Aku mungkin nggak bisa menyembuhkan lukamu, cantik. Tetapi ingat, aku selalu berada di sini. Aku ngg akan pernah melakukan kesalahan yang sama dengan cara meninggalkanmu." "Aku tahu itu, Luther. Jika saja waktu itu aku nggak melakukan kesalahan, kamu pasti juga nggak akan marah." "Kesalahpahaman." "Iya, tetap saja." Luther menarik tubuh Yonna agar lebih merapat dengannya. "Seharusnya aku nggak menaruh curiga padamu, Yonna. Komunikasi dan kepercayaan itulah yang lupa untuk aku perhatikan." "Tak apa, ini wajar. Aku juga jadi berpikir kalau kamu marah, berarti kamu masih sayang padaku. Nggak mau kalau aku bersama laki-laki lain." Yonna meraba rahang Luther dengan lembut. "Siapa yang mau miliknya dimiliki oleh orang lain?" "Nggak ada." Keduanya tertawa kecil. Mencari posisi nyaman, Yonna menyembunyikan wa
"Aku pulang dulu, kamu ingat yang kita bicarakan semalam, 'kan?" Luther mengacak rambut Yonna hingga berantakan. "Ish, iya. Aku bakalan coba." "Okay. Mereka jadi menginap malam ini?" "Harus!" "Kalau begitu, aku nggak berkunjung dulu, ya?" "Kamu ada rencana di luar?" "Hm, sama Clovis. Kalau Dovis tertarik, dia juga ikut." Menatap Luther khawatir, Yonna antara yakin dan tidak jika hubungan kekasihnya itu dengan Clovis sudah baik-baik saja. Seperti sebelumnya. "Aku sudah ngobrol sama Clovis, kamu nggak perlu khawatir. Dan rencana, lusa, kami akan ikut kamu berkunjung ke pusara ayahmu." "Terima kasih." "Aku pulang dulu, bye! Jangan lupa makan." Luther mengecup dahi Yonna, lalu melenggang menaiki motornya dan pulang. /////
"Ponselku di kamar, Ma. Baterainya habis. Kenapa?" Yulissa menyerahkan tugas untuk menambahkan choco chips pada biskuit cokelat yang hendak dipanggang berikutnya kepada Yonna. "Mama lupa memberi tahu kalau nomor telepon Mama sudah berganti." "Kok, diganti? Tapi ... Waktu itu Yonna telepon, panggilannya masuk, Ma. Cuman tidak diangkat saja." "Hari itu Mama memang masih menggunakan nomor biasa, tetapi tepat sekitar satu jam sebelum mendapat kabar tentang ayahmu, tas kecil Mama yang berisi ponsel dan uang kes dirampok. Ketika sudah pulang dari pusara kemarin, barulah Mama beli gantinya," jelas Yulissa panjang. "Ya, ampun. Mama nggak kenapa-kenapa, 'kan? Rampok itu apain Mama? Nggak ada yang luka?" tanya Yonna khawatir, disentuhnya tubuh sang mama untuk memeriksa apakah ada yang luka. Tersenyum simpul mendapatkan perhatian dari anaknya, Yu
Menjelang waktu malam, Yonna tengah duduk di sofa, menonton berita saat ini. Sekalian ingin menunggu teman-temannya datang, semua jajanan sudah siap. Di grup chat mereka, Malilah berkata kalau mereka merencanakan untuk pesta piama. Walau Akia sempat menahan agar kegiatan itu diundur saja, Yonna menolak saran Akia tersebut. Tidak ada yang salah dengan memakai piama selaras, perang bantal, menikmati film sambil makan bersama. Ia pun, setuju dan memutuskan untuk melakukan semuanya bersama. Bagi Yonna, memang buruk jika kita berlarut dalam duka. Tidak ada yang salah dengan mencoba menghibur diri. Namun, bukan pula itu bermaksud untuk tidak menghargai dia yang sudah tiada. Asal tahu batasan, tidak melakukannya secara berlebihan. Meneguk habis jus jeruk yang tersisa sedikit, Sharmion mengerutkan dahi bingung saat di layar televisi tertera nama sekolah yang sangat tidak asing. SMA