Share

Teror Ghaib 4

Emma berteriak ketakutan ketika gadis itu berbalik. Wajah gadis itu tidak jelas mana yang termasuk mata dan hidung. Sebagian mulutnya rusak. Kulit wajahnya berkerut seperti habis terbakar. Warna kulitnya coklat gelap, seperti gosong. Kalau diperhatikan dengan jelas, ada juga beberapa warna kemerahan seperti bekas darah kering di sana.

Emma semakin ketakutan ketika anak kecil juga ikut berbalik. Wajah anak kecil itu juga rusak. Bahkan warnanya hitam pekat. Gosongnya seperti lebih parah dari wajah anak perempuan.

“Di mana mainanku?” tanya anak kecil itu. Suaranya berat dan penuh tekanan.

"Aku tidak tahu!" teriak Emma. Dia kemudian berlari dengan sangat cepat.

Karena kakinya terbentur batu, Emma terjatuh. Di saat yang sama, seseorang menarik kakinya dengan sangat kuat. Emma lalu berteriak. Dia berusaha menarik kakinya sekuat tenaga. Di saat yang sama, Emma mendengar suara Tony memanggil namanya. Dalam beberapa detik, dia bangun.

Nafas Emma tidak teratur. Keringat dingin keluar dari tubuhnya.

“Tolong ambilin air dong,” kata Tony kepada anggota tim yang semuanya sudah bangun.

Setelah mengambil segelas air, Tony kemudian memberikannya pada Emma.

"Kamu pasti mimpi buruk kan?” tebak Tony setelah Emma meminum air tersebut.

Emma mengangguk.

“Apa yang terjadi di dalam mimpimu?” Dakota bertanya.

“Aku ngeliat ada anak kecil lagi main. Dia ditemenin sama saudara perempuannya. Aku pengen gabung sama mereka. "Tapi pas mereka berbalik, wajah mereka serem banget," jawab Emma.

“Kamu pasti nggak doa dulu sebelum tidur,” kata Dakota.

“Kok kamu jadi kayak nyalahin aku?” kata Emma, ​​"sebelumnya aku juga jarang berdoa kalau mau tidur, tapi belum pernah ada kejadian kayak gini."

“Santai aja, Emma,” kata Dakota, “nggak ada yang nyalahin kamu. Aku cuma nebak. Soalnya kata orang tuaku, berdoa tuh bisa mencegah mimpi buruk.”

"Cukup," sela Tony, "mendingan kita tidur. "Besok pagi kita ada tugas untuk neliti beberapa tumbuhan di hutan, kan?"

Dakota kemudian kembali ke posisi semula. Dia kemudian berbaring. Sementara itu, Tony tidak langsung kembali tidur. Ia masih memperhatikan Emma yang masih belum terlihat tenang.

"Sejak kapan kamu sering mimpi kayak gitu?" tanya Tony. Dia sangat khawatir dengan apa yang terjadi pada Emma.

“Belum pernah sih,” jawab Emma, ​​“ini pertama kalinya.”

"Sekarang sudah ngerasa lebih baik belom?" Tony bertanya, "perlu aku ambilin minuman lagi?"

Emma menggelengkan kepalanya, “Nggak,” katanya, “tidur sana. Aku baik-baik saja kok."

Tony melihat arloji di tangannya. Sudah jam satu malam. Dia kemudian berbaring. Dia berusaha memejamkan matanya meski masih mengkhawatirkan Emma. Bagaimanapun juga dia harus bangun pagi-pagi besok.

Sementara itu, meski keempat temannya sudah kembali tertidur lelap, Emma masih belum bisa memejamkan matanya. Merasa bosan di dalam tenda, dia lalu berjalan keluar.

Emma mendongak ketika dia berada di luar tenda. Langit terlihat gelap. Tidak ada satu pun bintang yang terlihat. Udaranya sangat dingin. Api unggun di tengah rombongan tenda sudah mulai redup. Merasa sangat kedinginan, Emma lalu berjalan mendekati api unggun itu. Dia kemudian duduk di samping api unggun. Meski kecil, apinya tetap mampu menghangatkan tubuh Emma.

Setelah beberapa menit, Emma melihat salah satu dosen pendamping perkemahan berjalan ke arahnya. Dosen wanita itu mengenakan baju tidur berwarna putih. Rambutnya tergerai. Dia kemudian duduk di sebelah Emma.

"Sudah lama kamu di sini?" tanya dosen itu.

"Baru aja," jawab Emma.

"Kenapa nggak tidur?" tanya sang dosen, “di malam hari kayak gini, kamu nggak takut hantu?”

Emma merasa suara dosen itu agak aneh. "Ibu bicara kayak itu seolah aku ini anak SD," jawab Emma.

Dosen itu tertawa keras, melengking. Tiba-tiba Emma merinding. “Jangan bilang kalau kamu nggak percaya hantu,” ucapnya setelah selesai tertawa.

"Tentu aja nggak," bantah Emma. Sebenarnya, dia berbohong. Dia percaya pada hantu. Dan juga takut. Tapi, tentu saja dia tidak ingin terlihat malu-malu di hadapan dosennya.

Si dosen kemudian berdiri. "Yah," katanya, "kalo kamu nggak takut, nggak apa-apa kan kalo Ibu meninggalkanmu sendirian?"

“Nggak apa-apa kok,” kata Emma. Dia melihat ke arah api, "Ibu istirahat aja."

Beberapa detik kemudian, Emma berbalik. Dia ingin memastikan dosen tersebut kembali ke tenda dengan selamat. Namun dosen tersebut sudah tidak terlihat lagi. Dia menghilang dengan sangat cepat. Padahal, jika diperkirakan, waktu tempuh tenda yang paling dekat dengan tempat Emma duduk saat ini adalah sekitar tiga menit dengan berjalan kaki.

Karena merasa tidak nyaman, Emma kemudian berjalan kembali ke dalam tenda. Matanya terasa panas. Dia mulai mengantuk. Dia harus tidur jika dia tidak ingin bangun terlambat besok dan dihukum.

Saat mendekati tenda, Emma terjatuh karena kakinya membentur dahan pohon besar. Lututnya berdarah. Emma kesakitan, tapi dia tidak mengeluh. Sebaliknya, dia justru terdiam. Dia melihat lututnya yang terus mengeluarkan darah. Setelah beberapa saat, dia bahkan tersenyum. Dia menikmati melihat cairan merah kental yang terus mengalir.

Beberapa detik kemudian, Emma mendengar suara Dakota memanggil namanya. Saat melihatnya, Dakota berteriak histeris.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status