Home / Horor / Teror Ghaib / Teror Ghaib 4

Share

Teror Ghaib 4

Author: Rani Giza
last update Last Updated: 2023-10-30 19:04:05

Emma berteriak ketakutan ketika gadis itu berbalik. Wajah gadis itu tidak jelas mana yang termasuk mata dan hidung. Sebagian mulutnya rusak. Kulit wajahnya berkerut seperti habis terbakar. Warna kulitnya coklat gelap, seperti gosong. Kalau diperhatikan dengan jelas, ada juga beberapa warna kemerahan seperti bekas darah kering di sana.

Emma semakin ketakutan ketika anak kecil juga ikut berbalik. Wajah anak kecil itu juga rusak. Bahkan warnanya hitam pekat. Gosongnya seperti lebih parah dari wajah anak perempuan.

“Di mana mainanku?” tanya anak kecil itu. Suaranya berat dan penuh tekanan.

"Aku tidak tahu!" teriak Emma. Dia kemudian berlari dengan sangat cepat.

Karena kakinya terbentur batu, Emma terjatuh. Di saat yang sama, seseorang menarik kakinya dengan sangat kuat. Emma lalu berteriak. Dia berusaha menarik kakinya sekuat tenaga. Di saat yang sama, Emma mendengar suara Tony memanggil namanya. Dalam beberapa detik, dia bangun.

Nafas Emma tidak teratur. Keringat dingin keluar dari tubuhnya.

“Tolong ambilin air dong,” kata Tony kepada anggota tim yang semuanya sudah bangun.

Setelah mengambil segelas air, Tony kemudian memberikannya pada Emma.

"Kamu pasti mimpi buruk kan?” tebak Tony setelah Emma meminum air tersebut.

Emma mengangguk.

“Apa yang terjadi di dalam mimpimu?” Dakota bertanya.

“Aku ngeliat ada anak kecil lagi main. Dia ditemenin sama saudara perempuannya. Aku pengen gabung sama mereka. "Tapi pas mereka berbalik, wajah mereka serem banget," jawab Emma.

“Kamu pasti nggak doa dulu sebelum tidur,” kata Dakota.

“Kok kamu jadi kayak nyalahin aku?” kata Emma, ​​"sebelumnya aku juga jarang berdoa kalau mau tidur, tapi belum pernah ada kejadian kayak gini."

“Santai aja, Emma,” kata Dakota, “nggak ada yang nyalahin kamu. Aku cuma nebak. Soalnya kata orang tuaku, berdoa tuh bisa mencegah mimpi buruk.”

"Cukup," sela Tony, "mendingan kita tidur. "Besok pagi kita ada tugas untuk neliti beberapa tumbuhan di hutan, kan?"

Dakota kemudian kembali ke posisi semula. Dia kemudian berbaring. Sementara itu, Tony tidak langsung kembali tidur. Ia masih memperhatikan Emma yang masih belum terlihat tenang.

"Sejak kapan kamu sering mimpi kayak gitu?" tanya Tony. Dia sangat khawatir dengan apa yang terjadi pada Emma.

“Belum pernah sih,” jawab Emma, ​​“ini pertama kalinya.”

"Sekarang sudah ngerasa lebih baik belom?" Tony bertanya, "perlu aku ambilin minuman lagi?"

Emma menggelengkan kepalanya, “Nggak,” katanya, “tidur sana. Aku baik-baik saja kok."

Tony melihat arloji di tangannya. Sudah jam satu malam. Dia kemudian berbaring. Dia berusaha memejamkan matanya meski masih mengkhawatirkan Emma. Bagaimanapun juga dia harus bangun pagi-pagi besok.

Sementara itu, meski keempat temannya sudah kembali tertidur lelap, Emma masih belum bisa memejamkan matanya. Merasa bosan di dalam tenda, dia lalu berjalan keluar.

Emma mendongak ketika dia berada di luar tenda. Langit terlihat gelap. Tidak ada satu pun bintang yang terlihat. Udaranya sangat dingin. Api unggun di tengah rombongan tenda sudah mulai redup. Merasa sangat kedinginan, Emma lalu berjalan mendekati api unggun itu. Dia kemudian duduk di samping api unggun. Meski kecil, apinya tetap mampu menghangatkan tubuh Emma.

Setelah beberapa menit, Emma melihat salah satu dosen pendamping perkemahan berjalan ke arahnya. Dosen wanita itu mengenakan baju tidur berwarna putih. Rambutnya tergerai. Dia kemudian duduk di sebelah Emma.

"Sudah lama kamu di sini?" tanya dosen itu.

"Baru aja," jawab Emma.

"Kenapa nggak tidur?" tanya sang dosen, “di malam hari kayak gini, kamu nggak takut hantu?”

Emma merasa suara dosen itu agak aneh. "Ibu bicara kayak itu seolah aku ini anak SD," jawab Emma.

Dosen itu tertawa keras, melengking. Tiba-tiba Emma merinding. “Jangan bilang kalau kamu nggak percaya hantu,” ucapnya setelah selesai tertawa.

"Tentu aja nggak," bantah Emma. Sebenarnya, dia berbohong. Dia percaya pada hantu. Dan juga takut. Tapi, tentu saja dia tidak ingin terlihat malu-malu di hadapan dosennya.

Si dosen kemudian berdiri. "Yah," katanya, "kalo kamu nggak takut, nggak apa-apa kan kalo Ibu meninggalkanmu sendirian?"

“Nggak apa-apa kok,” kata Emma. Dia melihat ke arah api, "Ibu istirahat aja."

Beberapa detik kemudian, Emma berbalik. Dia ingin memastikan dosen tersebut kembali ke tenda dengan selamat. Namun dosen tersebut sudah tidak terlihat lagi. Dia menghilang dengan sangat cepat. Padahal, jika diperkirakan, waktu tempuh tenda yang paling dekat dengan tempat Emma duduk saat ini adalah sekitar tiga menit dengan berjalan kaki.

Karena merasa tidak nyaman, Emma kemudian berjalan kembali ke dalam tenda. Matanya terasa panas. Dia mulai mengantuk. Dia harus tidur jika dia tidak ingin bangun terlambat besok dan dihukum.

Saat mendekati tenda, Emma terjatuh karena kakinya membentur dahan pohon besar. Lututnya berdarah. Emma kesakitan, tapi dia tidak mengeluh. Sebaliknya, dia justru terdiam. Dia melihat lututnya yang terus mengeluarkan darah. Setelah beberapa saat, dia bahkan tersenyum. Dia menikmati melihat cairan merah kental yang terus mengalir.

Beberapa detik kemudian, Emma mendengar suara Dakota memanggil namanya. Saat melihatnya, Dakota berteriak histeris.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 163

    Hari pertama menjalani kegiatan di kampus Emma merasa sangat tidak nyaman. Dia tidak mudah berkenalan dengan orang baru karena tidak semua orang bisa memahaminya. Akibatnya, Emma jadi sering menyendiri. Baik di kelas, perpustakaan atau di kantin, dia jarang terlihat berbaur dan mengobrol dengan mahasiswa lain. Keadaan itu membuat banyak mahasiswa di kampus yang menganggap Emma sombong. Sehingga akhirnya ada banyak mahasiswa di kampus yang membenci Emma. Banyak yang memusuhi Emma secara diam-diam. Tapi tak sedikit juga yang memusuhi Emma secara terang-terangan. Akibatnya, hampir setiap hari ada saja yang membuat Emma marah dan mengamuk karena selalu ada yang mengganggunya. Puncaknya adalah saat ada yang menganggu Emma saat gadis itu makan siang sendirian di kantin.“Sombong banget sih ke mana-mana sendiri terus,” kata seorang gadis berambut sebahu.“Mungkin dia ngerasa paling cantik kali di sekolah ini. Atau dia kayak gini biar banyak yang ngedeketin. Ala-ala misterius,” kata gadis y

  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 162

    Karena tak ada respon setelah mengetuk pintu beberapa kali, Anne memutuskan untuk menelepon Desy. Setelah panggilan keempat baru teleponnya direspon.“Ada apa, Anne?” tanya Desy dari seberang. Suaranya terdengar sangat pelan.“Kamu ada di rumah?” tanya Anne.“Iya,” sahut Desy.“Kok ...,” Anne menghentikan kalimatnya karena dia melihat seorang bapak-bapak keluar dari rumah Desy. Sebatas yang dia ingat, itu bukan Ayah Desy. Apakah orang itu kerabatnya Desy yang dia tidak kenal sebelumnya?“Kamu masuk aja,” kata Desy.Anne seketika memutuskan sambungan telepon dan masuk ke melewati pintu yang terbuka. Setelah menutup pintu, dia berjalan ke tengah bagian rumah. Tempat yang dia tuju tentu saja kamar Desy.Anne mengerutkan kening saat masuk ke kamar Desy dan melihat ranjang gadis itu berantakan. Dia takut terjadi apa-apa dengan Desy.“Desy, kamu di mana?” tanya Anne. Dia menghembuskan napas lega saat mendegar suara keran dari kamar mandi.“Orang laki-laki yang tadi keluar dari rumah kamu si

  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 161

    Tiga hari setelah demo terakhir dilakukan, kedua orang tua Emma dipanggil ke kampus. Mereka berdua diminta untuk bertemu dengan Bu Marta langsung di ruangannya. “Selamat pagi,” kata Tony sambil mengetuk pintu ruangan Bu Marta ketika langkahnya terhenti di depan ruangan kepala sekolah itu.Bu Marta menatap ke arah pintu. “Selamat pagi,” katanya, “silakan masuk.”Bu Marta mengambil napas dalam sebelum berbicara dengan Robin dan Lily. “Sebelumnya saya mewakili pihak sekolah ingin mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya,” kata Bu Marta.“Apa tidak bisa dinegosiasikan lagi, Bu?” tanya Robin, “kita semua sama-sama tahu kan kalau semua kekacauan yang Emma perbuat bukan murni keinginan Emma. Ada mahluk astral yang mengendalikannya.”Bu Marta mengangguk. “Kami sudah berusaha semaksimal mungkin menjelaskan kepada para orangtua mahasiswa itu. Tapi mereka tak ada yang mau peduli. Alasan mereka, mereka tidak mau kekacauan itu terulang terus. Mereka tidak mau kalau nanti anak mereka dan yang lainny

  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 160

    Orang tua Yosi dan Burhan kompak mengajak puluhan orang tua mahasiswa lain untuk melakukan demo ke kampus. Mereka semua menuntut agar Emma dikeluarkan karena tingkahnya yang sangat meresahkan. Mereka tak hanya melakukan demo sekali, tetapi sebanyak tiga kali dalam seminggu.Fakta itu tentu saja membuat pihak sekolah bimbang. Di satu sisi, mereka tidak bisa mengabaikan permintaan wali murid. Tapi, di sisi lain, mengeluarkan Emma dari kampu begitu saja juga bukan pilihan yang paling tepat. Bagaimana pun juga, Emma adalah salah satu mahasiswa yang cukup berprestasi. Mereka bahkan mempunya beberapa rencana untuk mengikuti lomba dalam kurun waktu beberapa bulan ke depan. Dan salah satu mahasiswa yang akan mereka ikutkan untuk lomba itu adalah Emma.Tak hanya pihak sekolah yang dibuat pusing oleh demo yang dilakukan para orang tua mahasiswa itu. Emma dan orang tuanya juga dibuat pusing. Yang paling tertekan dengan kedaan itu tentu saja Emma. Hampir setiap hari dia menangis karena lelah meng

  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 159

    Sabrina tak peduli jika pada akhirnya Desy muak dengan sikapnya dan gadis itu meninggalkannya. Dia tetap fokus pada niatnya untuk membuat Emma dikeluarkan dari sekolah. Maka dia mencari tahu dua mahasiswa yang kemarin menjadi korban amukan Emma di kantin. Dari informasi yang berhasil Sabrina himpun dari orang-orang suruhannya. Dia menemukan nama dan kelas dua mahasiswa itu. Bahkan Sabrina juga tahu alamat rumah mereka. Tapi sebelum memutuskan untuk mendatangi orang tua mereka di rumah mereka, Sabrina memutuskan untuk menghampiri mereka di kelasnya terlebih dahulu. Yang pertama Sabrina datangi adalah Yosi. Laki-laki berpostur jangkung itu tengah duduk di kursi yang ada di depan kelas ketika Sabrina datang. “Hei, gimana kabarnya?” kata Sabrina. Dia duduk di samping Yosi, “luka kamu yang kena amukan Emma kemarin masih sakit?” “Lumayan sih. Ada beberapa luka gosong kebiruan dan luka goresan karena kena lantai dan bangku kantin,” kata Yosi, “ini masih mendingan. Si Burhan malah hari ini

  • Teror Ghaib   Teror Ghaib 158

    Emma pikir, Sabrina memang akan benar-benar berubah. Dia pikir gadis itu akan menepati janjinya. Tapi ternyata tidak. Pada akhirnya gadis itu berulang lagi. Entah disengaja atau tidak, saat berad di kantin, tiba-tiba saja Sabrina menjatuhkan minuman yang masih agak panas dari belakang. Cairan kopi itu mengenai punggung Emma, mengenai kemejanya dan tembus hingga ke kulitnya.Emma merasakan rasa skit dan panas doi punggungnya. Seharusnya dia pergi ke toilet. Dan memang sebenarnya dia berniat pergi ke toilet. Namun, Emosinya lebih dulu meledak. Seperti biasa, mahluk astral itu menguasainya lagi. Membuatnya lepas kendali.Sadar berhasil memancing Emma, Sabrina pun tersenyum-senyum. Tetapi sebisa mungkin dia berusaha meminta maaf agar segalanya tak terlihat mencolok.“Maaf ya, Emma,” katanya kepada Emma.Emma tak menyahut. Dia mengerang dan mencengkeram pergelangan tangan Sabrina. Matanya melotot dan bola matanya berputar-putar. Dia mengerang. Lalu kuku-kukunya yang panjang mencakar kulit

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status