Emma berjalan ke arah Dakota. Gadis itu menyeringai. Wajah Emma tidak berubah. Tetap seperti biasa. Tapi, matanya terus melotot. Seperti orang kesurupan.
Semakin dia memandang Emma, Dakota semakin ketakutan. Dia kemudian berlari cepat ke dalam tenda."Teman-teman, bangun," kata Dakota sambil menggoyangkan kaki ketiga anak lelaki yang sedang tidur itu.Anak laki-laki berambut keriting yang bangun lebih dulu. Dia kemudian membangunkan Tony dan siswa laki-laki lainnya yang berponi."Ada apa?" tanya Ben, laki-laki berambut keriting.“Emma … dia,” jawab Dakota. Nafasnya tersengal-sengal.Tony melihat sekeliling tenda. Dia baru menyadari kalau Emma tidak ada di sana. "Kenapa Emma?" dia bertanya, “Di mana kamu ngeliat dia?”"Aku...," kata Dakota.Tak sabar menunggu jawaban Dakota, Tony lalu bergegas keluar tenda. Dia terkejut saat melihat Emma berdiri tak jauh darinya dengan mata melotot. Gadis itu berjalan ke arahnya dengan langkah yang sangat cepat."Emma, ada apa?" tanya Tony.Emma tidak menjawab. Gadis itu malah mengarahkan tangannya ke leher Tony."Ngapain kamu?" tanya Tony. Dia berusaha melepaskan tangan Emma namun tidak berhasil. Kekuatan Emma begitu kuat."Teman-teman, tolong aku," kata Tony keras-keras saat tangan Emma semakin menekan lehernya.Tiga orang yang berada di dalam tenda kemudian keluar. Dakota dan anak laki-laki berponi dengan ragu-ragu berjalan ke arah Tony.“kalian apa?” kata Ben, “cepetan jalannya. Tony bisa mati.”“Kalian nggak liat apa, Emma lagi kesurupan,” kata Dakota, “dia juga bisa nyerang kita.”"Aku ... aku panggilin siswa yang lain, ya," ucap anak laki-laki berponi itu. Dia kemudian berjalan cepat meninggalkan empat orang lainnya.Ben menghampiri Emma. "Lepasin tanganmu," katanya sambil menarik kedua tangan Emma.Namun, Emma tetap mencekik Tony. Anak laki-laki itu terbatuk.“Kubilang lepasin tanganmu!” Ben berkata lagi. Ia berusaha menjauhkan tangan Emma dari leher Tony.Emma tidak berhenti. Gadis itu malah menatap Ben. Matanya melotot seolah hendak keluar.Pada saat yang sama, para mahasiswa tiba. Dua orang dosen pembimbing acara perkemahan pun ikut datang. Salah satu dosen kemudian segera menghampiri Tony dan Emma. Dia kemudian langsung meraih Emma saat menyadari gadis itu sedang menyerang Tony.Merasa tenaganya kurang kuat, si dosen kemudian meminta bantuan kepada mahasiswanya. Sekitar tiga orang membantu menarik tangan Emma. Setelah mencoba beberapa detik, akhirnya tangan Emma lemas. Tubuh gadis itu kemudian terkulai. Dia pingsan.“Ayo cepet kita bawa dia ke dalam tenda,” ajak seorang dosen laki-laki. Tangannya melambai meminta bantuan para siswa laki-laki untuk mengangkat tubuh Emma.Tony membantu mengangkat tubuh Emma. Dia merasa sangat khawatir dengan kondisi gadis itu.“Bagi yang tidak berkepentingan, boleh kembali ke tenda,” ucap dosen perempuan itu sebelum masuk ke dalam tenda bersama para mahasiswa yang mengangkat tubuh Emma.“Apa yang kalian lakukan di luar?” tanya dosen perempuan itu, "kalian tidak mau tidur?"“Kami semua tadinya tertidur,” kata Dakota, “tapi saya terbangun karena gigitan nyamuk. Saat itu aku menyadari kalau Emma tidak ada di sana. Ketika aku meninggalkan tenda dan melihat Emma duduk tidak jauh dari api unggun, aku mendekatinya. Tapi, dia malah nyengir dan melotot. Sangat menakutkan."“Tony,” kata sang dosen, “kamu teman dekat Emma, kan?”"Ya," kata Tony."Apa kamu sering melihat Emma seperti itu?" Dia bertanya.Tony menggelengkan kepalanya. “Tidak, Bu,” jawabnya, “Aku hanya melihatnya seperti ini sekali.”“Pastikan dia banyak istirahat,” kata dosen tersebut, “jika kondisinya belum membaik hingga besok pagi, dia tidak perlu mengikuti aktivitas.”Tony mengangguk. "Ya," katanya.Setelah semua orang yang tidak ada dalam tim dan dua orang dosen meninggalkan tenda, Tony kemudian menghampiri Emma yang matanya masih terpejam."Ayo kita tidur lagi," kata laki-laki berponi itu."Tidurlah," kata Tony. Dia melihat arlojinya, “Ini masih jam setengah empat. Masih ada waktu sebelum jam enam pagi.”Tony tidak mau tidur lagi meski matanya masih mengantuk. Dia menunggu Emma bangun.Saat Emma terbangun, Tony langsung menghampiri gadis itu.“Kenapa kamu nunggu di sampingku?” tanya Emma, “Kamu nggak mau tidur? Apa yang terjadi?" "Tadi kamu kesurupan," jawab Tony, "emangnya kamu nggak sadar?"Emma menggelengkan kepalanya. “Nggak,” katanya. Dia kemudian tertawa, “berhenti bohong. Jangan bikin aku takut, Tony.”“Aku nggak bohong, Emma,” katanya, “kamu hampir bunuh aku dengan mencekikku.”Emma hanya tertegun mendengar apa yang dikatakan Tony. Dia benar-benar tidak percaya akan hal itu. "Udahlah lupain, semoga kamu nggak ngalamin hal itu lagi," kata Tony. Dia kemudian berbaring. "Tidur sana. Jam enam pagi masih beberapa jam lagi.”Tony kemudian segera memejamkan matanya dan berbaring membelakangi Emma.“To ... Tony, aku,” kata Emma.Hari pertama menjalani kegiatan di kampus Emma merasa sangat tidak nyaman. Dia tidak mudah berkenalan dengan orang baru karena tidak semua orang bisa memahaminya. Akibatnya, Emma jadi sering menyendiri. Baik di kelas, perpustakaan atau di kantin, dia jarang terlihat berbaur dan mengobrol dengan mahasiswa lain. Keadaan itu membuat banyak mahasiswa di kampus yang menganggap Emma sombong. Sehingga akhirnya ada banyak mahasiswa di kampus yang membenci Emma. Banyak yang memusuhi Emma secara diam-diam. Tapi tak sedikit juga yang memusuhi Emma secara terang-terangan. Akibatnya, hampir setiap hari ada saja yang membuat Emma marah dan mengamuk karena selalu ada yang mengganggunya. Puncaknya adalah saat ada yang menganggu Emma saat gadis itu makan siang sendirian di kantin.“Sombong banget sih ke mana-mana sendiri terus,” kata seorang gadis berambut sebahu.“Mungkin dia ngerasa paling cantik kali di sekolah ini. Atau dia kayak gini biar banyak yang ngedeketin. Ala-ala misterius,” kata gadis y
Karena tak ada respon setelah mengetuk pintu beberapa kali, Anne memutuskan untuk menelepon Desy. Setelah panggilan keempat baru teleponnya direspon.“Ada apa, Anne?” tanya Desy dari seberang. Suaranya terdengar sangat pelan.“Kamu ada di rumah?” tanya Anne.“Iya,” sahut Desy.“Kok ...,” Anne menghentikan kalimatnya karena dia melihat seorang bapak-bapak keluar dari rumah Desy. Sebatas yang dia ingat, itu bukan Ayah Desy. Apakah orang itu kerabatnya Desy yang dia tidak kenal sebelumnya?“Kamu masuk aja,” kata Desy.Anne seketika memutuskan sambungan telepon dan masuk ke melewati pintu yang terbuka. Setelah menutup pintu, dia berjalan ke tengah bagian rumah. Tempat yang dia tuju tentu saja kamar Desy.Anne mengerutkan kening saat masuk ke kamar Desy dan melihat ranjang gadis itu berantakan. Dia takut terjadi apa-apa dengan Desy.“Desy, kamu di mana?” tanya Anne. Dia menghembuskan napas lega saat mendegar suara keran dari kamar mandi.“Orang laki-laki yang tadi keluar dari rumah kamu si
Tiga hari setelah demo terakhir dilakukan, kedua orang tua Emma dipanggil ke kampus. Mereka berdua diminta untuk bertemu dengan Bu Marta langsung di ruangannya. “Selamat pagi,” kata Tony sambil mengetuk pintu ruangan Bu Marta ketika langkahnya terhenti di depan ruangan kepala sekolah itu.Bu Marta menatap ke arah pintu. “Selamat pagi,” katanya, “silakan masuk.”Bu Marta mengambil napas dalam sebelum berbicara dengan Robin dan Lily. “Sebelumnya saya mewakili pihak sekolah ingin mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya,” kata Bu Marta.“Apa tidak bisa dinegosiasikan lagi, Bu?” tanya Robin, “kita semua sama-sama tahu kan kalau semua kekacauan yang Emma perbuat bukan murni keinginan Emma. Ada mahluk astral yang mengendalikannya.”Bu Marta mengangguk. “Kami sudah berusaha semaksimal mungkin menjelaskan kepada para orangtua mahasiswa itu. Tapi mereka tak ada yang mau peduli. Alasan mereka, mereka tidak mau kekacauan itu terulang terus. Mereka tidak mau kalau nanti anak mereka dan yang lainny
Orang tua Yosi dan Burhan kompak mengajak puluhan orang tua mahasiswa lain untuk melakukan demo ke kampus. Mereka semua menuntut agar Emma dikeluarkan karena tingkahnya yang sangat meresahkan. Mereka tak hanya melakukan demo sekali, tetapi sebanyak tiga kali dalam seminggu.Fakta itu tentu saja membuat pihak sekolah bimbang. Di satu sisi, mereka tidak bisa mengabaikan permintaan wali murid. Tapi, di sisi lain, mengeluarkan Emma dari kampu begitu saja juga bukan pilihan yang paling tepat. Bagaimana pun juga, Emma adalah salah satu mahasiswa yang cukup berprestasi. Mereka bahkan mempunya beberapa rencana untuk mengikuti lomba dalam kurun waktu beberapa bulan ke depan. Dan salah satu mahasiswa yang akan mereka ikutkan untuk lomba itu adalah Emma.Tak hanya pihak sekolah yang dibuat pusing oleh demo yang dilakukan para orang tua mahasiswa itu. Emma dan orang tuanya juga dibuat pusing. Yang paling tertekan dengan kedaan itu tentu saja Emma. Hampir setiap hari dia menangis karena lelah meng
Sabrina tak peduli jika pada akhirnya Desy muak dengan sikapnya dan gadis itu meninggalkannya. Dia tetap fokus pada niatnya untuk membuat Emma dikeluarkan dari sekolah. Maka dia mencari tahu dua mahasiswa yang kemarin menjadi korban amukan Emma di kantin. Dari informasi yang berhasil Sabrina himpun dari orang-orang suruhannya. Dia menemukan nama dan kelas dua mahasiswa itu. Bahkan Sabrina juga tahu alamat rumah mereka. Tapi sebelum memutuskan untuk mendatangi orang tua mereka di rumah mereka, Sabrina memutuskan untuk menghampiri mereka di kelasnya terlebih dahulu. Yang pertama Sabrina datangi adalah Yosi. Laki-laki berpostur jangkung itu tengah duduk di kursi yang ada di depan kelas ketika Sabrina datang. “Hei, gimana kabarnya?” kata Sabrina. Dia duduk di samping Yosi, “luka kamu yang kena amukan Emma kemarin masih sakit?” “Lumayan sih. Ada beberapa luka gosong kebiruan dan luka goresan karena kena lantai dan bangku kantin,” kata Yosi, “ini masih mendingan. Si Burhan malah hari ini
Emma pikir, Sabrina memang akan benar-benar berubah. Dia pikir gadis itu akan menepati janjinya. Tapi ternyata tidak. Pada akhirnya gadis itu berulang lagi. Entah disengaja atau tidak, saat berad di kantin, tiba-tiba saja Sabrina menjatuhkan minuman yang masih agak panas dari belakang. Cairan kopi itu mengenai punggung Emma, mengenai kemejanya dan tembus hingga ke kulitnya.Emma merasakan rasa skit dan panas doi punggungnya. Seharusnya dia pergi ke toilet. Dan memang sebenarnya dia berniat pergi ke toilet. Namun, Emosinya lebih dulu meledak. Seperti biasa, mahluk astral itu menguasainya lagi. Membuatnya lepas kendali.Sadar berhasil memancing Emma, Sabrina pun tersenyum-senyum. Tetapi sebisa mungkin dia berusaha meminta maaf agar segalanya tak terlihat mencolok.“Maaf ya, Emma,” katanya kepada Emma.Emma tak menyahut. Dia mengerang dan mencengkeram pergelangan tangan Sabrina. Matanya melotot dan bola matanya berputar-putar. Dia mengerang. Lalu kuku-kukunya yang panjang mencakar kulit