"Mel, ibu kos yang udah meninggal nelepon aku, Mel. Aku angkat enggak ya?" tutur Dinda begitu sadar dari lamunannya.
Dengan cepat, ia menyerahkan ponsel miliknya dan menunjukkan layar ponsel yang terpampang sangat jelas nama pemilik indekos.
"Eum ... bisa jadi itu salah satu keluarganya. Kamu terakhir ada komunikasi enggak sama ibu kosan kamu itu?" Amel memberikan rasa tenang ada Dinda, sehingga ada keberanian yang langsung muncul dan memutuskan untuk mengangkat telepon tersebut.
Dinda memencet tombol berwarna hijau, yang menandakan jika panggilan tersebut ia terima. Meskipun dirinya masih ada sedikit rasa takut dan juga khawatir, tetapi sebisa mungkin ia menepis semua hal tersebut.
Bukan hanya Dinda saja yang akan mendengarkan pembicaraan dari telepon tersebut, tetapi Dinda memang sangat sengaja untuk mengaktifkan loudspeaker. Tentu saja supaya Amel juga dapat mendengar apa yang akan dibahas.
"Tolong ...." Suara tersebut yang pertama kali didengar, baik oleh Dinda dan juga Amel. Keduanya langsung saling bertatapan dan seketika bulu kuduk mereka berdiri.
"Dinda ... tolongin Ibu." Suara yang sangat parau, penuh kesedihan dan seperti ada ketakutan di sana.
Namun, percayalah, Dinda dan Amel lebih merasakan takut, pasalnya ia baru pertama kali ini mendapat telepon dari seseorang yang bahkan sudah tidak bernyawa.
Tak ingin membuang waktu lebih lama lagi untuk mendengar panggilan telepon tersebut, dengan segera Amel mematikan panggilan itu dan menatap ke arah Dinda penuh pertanyaan.
"Sekarang, aku minta kamu tolong jelasin ke aku, ada apa ini sebenarnya? Ibu kos kamu itu udah enggak ada di dunia karena apa? Kenapa dia sampai bisa minta tolong ke kamu kayak tadi?" pinta Amel, nafasnya terengah-engah.
Seakan-akan ia baru selesai berlari, padahal hanya karena rasa takut yang sudah mendominasi dan juga banyaknya pertanyaan yang dilontarkan pada Dinda tanpa jeda.
Tak ada jawaban yang diungkapkan oleh Dinda, tetapi tangannya langsung bergerak untuk menunjukkan isi chat dengan ibu kos.
Dinda menyerahkan ponsel itu, dengan maksud supaya Amel membaca sendiri isi chat yang mungkin saja bisa langsung dapat diketahui alasannya.
Namun, hal yang janggal dan menyeramkan kembali terjadi. Tiba-tiba saja ada satu pesan berupa voice note dari Tanti.
"Dinda ..., Ibu mau minta tolong ke kamu, hihihi! Kembali ke kosan ini lagi ya!" Amel iseng untuk memutar isi dari voice note tersebut, tetapi yang keluar justru suara menakutkan seperti itu.
Hal itu tentu saja membuat Amel spontan langsung melempar ponsel tersebut, untung saja melemparnya ke arah tempat tidur. Kalau sampai ke lantai, bukan hanya hantu saja yang menangis, tetapi Dinda juga langsung bersedih.
Namun, anehnya adalah suara tersebut hanya bisa didengar dengan sangat jelas oleh Amel saja, sedangkan Dinda tidak dapat mendengar apa pun. Sangat mengherankan, bukan?
Maka dari itu, di saat Amel dengan sangat mudah untuk melempar ponsel, membuat Dinda merasa sangat heran dan menatap Amel penuh dengan pertanyaan.
"Amel, kamu ngapain sih lempar ponsel aku gitu aja? Kan aku ada di sini, kalau kamu udah baca isi chatnya, ya balikin ke aku lagi dong. Kok kamu malah ngelempar sih, untung aja bukan ke lantai," omel Dinda, tetapi Amel hanya menggelengkan kepalanya saja.
"Aku belum sempet buat baca chat itu, tapi tiba-tiba ada satu voice note di situ dan aku putar, tapi suaranya beneran nyeremin. Makanya aku tadi langsung ngelempar gitu aja. Maaf ya." Amel merasa sangat tak enak, tetapi ia sendiri juga tidak paham akan apa yang terjadi padanya barusan.
Mendengar perkataan dari Amel, membuat Dinda langsung mengambil ponsel miliknya dan melihat room chat dirinya dengan Tanti. Tentu saja untuk memastikan, jika ucapan Amel barusan benar atau tidak.
"Hasilnya? Tentu saja tidak ada. Sama sekali tidak ada pesan yang terbaru untuk hari ini. "Mana? Enggak ada apa-apa kok, kamu halusinasi mungkin, Mel."
"Hah? Itu Dinda, ada di situ. Kamu liatnya jangan chat dari yang lain dulu, tapi chat dari ibu kos kamu dulu tuh!" Amel kekeh dengan apa yang ia utarakan, karena memang begitu adanya.
Dinda yang kesal pun langsung menyerahkan ponselnya lagi, tetapi kali ini Amel hanya melihatnya saja tanpa ada niat untuk menyentuh lagi.
"Kamu gak bercanda, kan?"
"Mana coba? Enggak ada, kan?" tanya Dinda balik. "Tapi, aku yakin banget kok sumpah, Din. Aku ngeliat sendiri ada pesan bentuknya itu voice note, tapi pas aku puter suaranya itu nyeremin. Emang kamu enggak denger apa pun? Aku dengerinnya pake suara yang full loh." Amel menjelaskan hal itu, dengan kedua mata yang menoleh kanan dan kiri, memastikan jika di dalam indekosnya tak ada hal-hal yang menakutkan lagi. Pasalnya, ia baru pertama kali ini mendapati hal-hal yang ghaib seperti itu. Tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Amel, Dinda hanya menggelengkan kepala saja. Setelah itu ia memilih untuk meletakkan ponsel miliknya begitu saja. "Jadi, ibu kos aku itu enggak ada karena hantu. Eits, tapi ini baru dugaan aku aja ya, karena yang terakhir interaksi sama ibu kos, ya hantu itu," tutur Dinda, mulai bercerita tentang apa yang menimpa Tanti. "Hantu?" "Iya, jadi ceritanya itu tadi kemarin siang ditemuin jasad perempuan cantik yang gantung diri di dalam kamarnya. Enggak jau
Alangkah terkejutnya, kala mereka berdua mendengar suara dari isi voice note tersebut.Karena terkejut, spontan Dinda langsung melempar ponsel miliknya ke tempat tidur. Menatap ke arah wajah Amel, yang juga sama-sama tengah ketakutan. "Amel ... aku takut," ungkap Dinda, tetapi tidak mendapat jawaban apa pun dari Amel. Beberapa menit mereka saling diam, menghabiskan waktu untuk sibuk dengan pikiran masing-masing. Tak ada yang berkata apa pun, sampai akhirnya Amel tiba-tiba saja berkata, "Apa mungkin ya, hantu itu lagi ada di sekitar sini?" "Jangan ngaco kamu, Mel, kalau ngomong! Aku sekarang lagi takut, kamu malah nambah aku makin takut aja!" Dinda kesal, karena saat ini ia benar-benar merasa takut. Ia masih ingin melanjutkan hidup, meskipun sederhana dan juga penuh akan cobaan, tetapi Dinda masih semangat. Ia tidak ingin meninggal dengan cara yang sangat tidak wajar seperti itu. Dinda menggelengkan kepala, ia ingin menepis semua pikiran buruk itu. Tak sepantasnya ia takut denga
Amel mulai ciut, rasa takut sudah menyelimuti. Ingin rasanya ia hanya menunggu di luar saja, tetapi di luar pun tetap saja ada rasa takut."Semuanya udah milih buat pindah mungkin, Mel. Ayok lah, kita ke kamar aku aja." Dinda bergegas melangkahkan kaki untuk menuju ke kamar dan membereskan semua barang-barang miliknya. Tak ada kejanggalan apa pun, hanya hawa bangunan saja yang menjadi tak biasa. Seakan-akan bangunan indekos itu sudah lama tidak berpenghuni. Tidak begitu jauh kamar milik Dinda, sesampainya di depan kamar, segera saja membuka pintu dan masuk ke dalam kamar tersebut. Dinyalakannya lampu kamar, serta jendela pun dibuka. Hal itu bertujuan supaya ada udara yang masuk dan kamar tidak lagi pengap, tetapi alangkah terkejutnya kala pintu kamar tiba-tiba saja tertutup sendiri. Amel yang sedari tadi hanya mengamati kamar saja dan berdiri tak jauh dari arah pintu pun langsung merasa ketakutan, berlari mendekat ke arah Dinda dan memeluk sangat erat. Tak hanya Amel saja yang ta
"Tahan dulu sebentar, kita tunggu di dalam kamar sini aja sambil aku juga nyoba buat nyari bantuan," ucap Dinda, masih berusaha tetap tenang.Karena memang rasa percaya yang dimiliki oleh Dinda cukup besar, sehingga membuat perempuan tersebut memiliki keberanian yang lebih. Ia berpikir, jika sedari tadi dirinya hanya berdiri saja, itu sama saja akan membuang tenaga dengan sangat sia-sia. Sehingga, Dinda segera menuntun telapak tangan milik Amel, supaya duduk di atas tempat tidurnya. Namun, reaksi Amel justru di luar dugaan. Ia justru berkata, "Tapi, Din, aku takut kalau harus duduk di situ. Apalagi posisinya deket banget sama pintu keluar.""Amel, percaya sama aku deh, enggak bakalan ada apa-apa. Kalau pun ada sesuatu yang nanti terjadi, pasti yang bakalan kena itu aku dulu, kan dari tadi juga yang dipanggil namanya, nama aku." Dinda benar-benar berusaha untuk membuat temannya percaya dengan apa yang ia katakan. Sebenarnya sudah ada rasa tenang di dalam hati Amel, tetapi tentu saja
Bayu panik, ia bingung dengan apa yang harus ia lakukan saat ini. Terlebih lagi, sambungan telepon dari kekasihnya itu seketika terputus begitu saja.Tak ingin membuang waktu lebih banyak lagi, segera saja Bayu keluar dari dalam kamar tidurnya dan bersiap-siap untuk pergi menuju indekos kediaman Dinda.Perasaannya campur aduk, berharap jika saat ini kekasihnya baik-baik saja. Mengendarai kendaraan pun tanpa kendali, sebab yang ada di dalam pikirannya saat ini hanya ingin segera tiba saja."Sayang, tunggu sebentar ya, aku akan segera tiba di sana," gumam Bayu, seraya terus melafalkan lafadz Allah. Memohon perlindungan untuk sang kekasih, yang bahkan dirinya saja tidak tahu bagaimana kabarnya saat ini.Sedangkan, di tempat yang lain, Dinda dan Amel harus merasakan keadaan yang sangat mencekam. Rasa takut harus mereka berdua lawan."Tidak perlu takut dengan bangsa jin, sebab kedudukan manusia itu lebih tinggi. Terus lah ingat Allah, minta perlindungan padaNya, insyaAllah kamu akan baik-b
"Bagaimana kejadian yang sebenarnya? Kenapa bisa-bisanya ada kasus yang seperti ini? Kalian tidak pernah memperhatikan teman kalian sendiri, kah?" tanya Tanti, perempuan pemilik indekos yang baru saja tiba di indekos miliknya itu. Namun, saat Tanti telah tiba di indekos miliknya, sudah sangat ramai dengan banyaknya orang yang memiliki rasa keingintahuan yang sangat tinggi. Ditambah lagi, dengan adanya garis polisi yang membatasi kamar penemuan mayat. Tanpa ingin membuang waktu lebih banyak lagi, Tanti langsung menerobos masuk ke kerumunan orang-orang. "Ini, Pak yang punya indekosnya," ucap salah satu warga yang memang tengah hadir dan menyaksikan. Tanti menganggukkan kepala, memberi pertanda jika apa yang diutarakan oleh warga tersebut adalah benar. Detik itu juga Tanti langsung diinterogasi oleh pihak kepolisian, mengenai bagaimana kejadian dan juga informasi yang memang sangat dibutuhkan oleh pihak kepolisian tersebut. Sebenarnya, sangat tak bisa dipungkiri, jika saat mendapat
Tanti mengerutkan kening kembali begitu melihat pesan Dinda, salah satu mahasiswa yang berada di indekos itu. Sedari tadi, perempuan itu menceritakan jika tadi ia mendengar suara tangis dari arah kamar Lina, juga suara teriakan yang menyayat hati. Meskipun begitu, tak ada yang bisa dilakukan oleh Dinda, karena ia tidak ingin mengambil resiko jika sampai arwah dari teman indekosnya itu justru akan menghantuinya. Di akhir pesan yang dikirim juga, Dinda mengutarakan kalimat maaf, jika ia tidak bisa untuk melakukan apa-apa. Seperti menolong Tanti, karena rasa takut juga sudah sangat menyelimuti Dinda saat ini. "Bu ... tolongin Lina. Lina enggak mau kayak gini, Lina nyesel, Bu. Harusnya Lina masih hidup dan bisa ketawa-ketawa," lirih Lina tiba-tiba, hingga mengalihkan fokus Tanti secara mendadak. "Maafin Ibu Lina, tapi kita udah beda dunia dan Ibu juga takut jika harus keluar dari kamar buat ketemu sama kamu," gumam Tanti, dengan suara yang cukup pelan. Bertepatan dengan jawaban dar
Dinda tak ingin semakin membuang waktunya untuk tetap terus berada di indekos tersebut, dengan segera saja tangan sebelah kanannya merogoh saku celana, lalu meraih ponsel yang ia punya. Menghubungi nomor dari salah satu temannya yang memang sudah dekat.Ia berharap banyak jika temannya itu akan mau menampung dirinya untuk sementara waktu saja, Dinda sangat yakin, jika ia pasti tidak akan bisa tenang tinggal di indekos tersebut. "Halo, Mel, aku mau minta tolong sesuatu ke kamu, boleh atau enggak?" tanya Dinda, basa-basi terlebih dulu, tidak langsing ke dalam inti pembicaraan, karena memang sungguh rasanya sangat tak enak sekali. Sedikit malu dan juga merasa pasti akan sangat mengganggu. Namun, karena rasa takut dan juga khawatir akan apa yang ia alami nanti malam, dan Dinda juga tak ingin jika nasibnya akan sama sepeti Tanti. "Iya, Din, kenapa ya? Kamu mau minta tolong apa? Kok suara kamu kayak yang lagi ga tenang gitu sih?" sahut Amel, teman Dinda yang ternyata langsung peka dengan