"Kamu enggak kenapa-kenapa kan, Din?" Pertanyaan Amel memecah keheningan di antara mereka berdua, pasalnya memang sedari tadi Amel sudah merasa sangat penasaran. Namun, Dinda tak kunjung membuka suara, untuk dapat menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
"Alhamdulillah, aku enggak kenapa-napa kok, tapi ibu kos aku, Mel." Jawaban yang diutarakan oleh Dinda barusan menggunakan nada bicara yang sangat lemah.
Hal itu tentu saja membuat Amel merasa sangat aneh, tetapi ia hanya bisa memastikan temannya itu lewat kaca spion motornya saja.
Sebenarnya, ia terkejut dengan jawaban tadi, tetapi Amel memiliki inisiatif untuk tidak mengutarakan pertanyaan apa pun, sampai nanti Dinda sendiri yang bercerita.
******
"Ibu kos ... udah enggak ada. Jujur aku kaget dan enggak nyangka banget, orang yang udah aku anggap kayak orangtua aku sendiri, justru pergi dengan begitu cepet," gumam Dinda, sangat menyiratkan kesedihan sekali.
Amel mendengarkan apa yang dituturkan oleh Dinda, dengan pandangan yang tetap fokus pada lalu lintas. Tak ada sahutan apa pun dari Amel, di sisi lain Dinda juga tengah sibuk dengan pikirannya sendiri.
Di saat perjalanan untuk menuju ke indekos yang ditempati oleh Amel, di dalam pikiran Dinda selalu saja ada bayangan saat-saat di mana ia melihat sendiri bagaimana hantu tersebut berada tepat di depan kamar Tanti.
Membayangkan hal yang seperti itu lagi, mampu membuat Dinda langsung merinding dan segera menolehkan ke arah sekitar.
"Kamu kenapa sih, Din? Ini udah sampai di kosan aku kok," ucap Amel, memberi tahu, saat dirinya mendapati wajah Dinda yang terlihat sangat tidak tenang.
"Aku takut, Mel, takut banget."
"Takut? Takut kenapa? Ibu kosan kamu enggak adanya karena apa sih?" tanya Amel, seraya turun dari motor dan mencabut kunci motor miliknya tersebut.
Terlihat wajah Dinda masih merasa ketakutan, dengan pandangan kedua mata yang terus saja menelisik ke segala penjuru. Amel yang mendapati temannya seperti itu, tentu saja ikut merasa sangat bingung.
Amel kasihan. Ia segera menggenggam tangan kanan Dinda dan berucap, "Udah yuk, kita langsung masuk ke kamar aku aja."
Tak ada penolakan dari Dinda, perempuan itu langsung menganggukkan kepalanya dan ikut melangkahkan kaki, sesuai dengan langkah kaki dari Amel.
Namun, sepanjang perjalanan untuk menuju ke kamar Amel, Dinda terus saja menatap ke arah sekitar. Ada rasa was-was dan juga khawatir akan apa yang ia temui nantinya.
"Yuk masuk!" ajak Amel, kala dirinya sudah terlebih dulu masuk ke dalam kamar indekosnya, sedangkan Dinda masih terdiam dan tidak bergerak sama sekali.
"Ih, Dinda! Kamu jangan kebanyakan bengong gini dong, aku jadinya takut sendiri sama kamu. Yuk masuk dulu, abis itu kamu boleh cerita tentang apa aja yang mau kamu ceritain."
Dinda tersadar dari rasa takutnya itu. Masuk ke dalam kamar indekos Amel dengan mengucap salam terlebih dulu, setelah itu mengulas senyum.
"Kosan kamu nyaman ya, Mel," gumam Dinda, membuat Amel langsung menolehkan kepalanya dan langsung tersenyum.
"Iya, Alhamdulillah. Aku juga betah kok ngekos di sini. Apa kamu juga mau pindah kosan ke sini juga?"
"Enggak ah, sayang banget. Di sana aku udah bayar sampai buat tahun depan, udah gitu pemilik kosannya udah enggak ada, terus aku mau minta ganti ruginya ke siapa coba." Dinda mengembuskan napasnya pelan.
Kembali melihat ke arah sekitar, terbesit rasa ingin pindah tempat indekos, tetapi itu sangat tidak mungkin. Saat tengah melamun seperti itu, tiba-tiba saja Dinda mendapat suatu notifikasi yang entah dari siapa.
Karena memang merasa tidak terlalu penting, maka dari itu Dinda mengabaikan notifikasi itu dan memilih untuk berucap, "Kamu mau tau enggak, Mel, kenapa pemilik kosan yang aku tempati itu enggak ada?"
Tentu saja Amel langsung menganggukkan kepalanya dengan sangat antusias, tetapi baru saja Dinda akan membuka mulut untuk memulai bercerita, terdengar dering telepon dari ponsel milik Dinda.
"Siapa sih yang nelepon? Tumben banget deh ada yang nelepon aku." Dinda terkekeh, lalu ia segera mengambil ponsel miliknya yang berada di dalam saku celana, lalu melihat nama yang tertera di layar.
Namun, alangkah terkejutnya Dinda, kala ia mendapati nama 'Bu Tanti' pada layar ponsel miliknya itu.
Dinda tak dapat mengeluarkan satu patah kata pun, tetapi kedua mata Dinda langsung menatap ke arah Amel penuh dengan rasa takut yang tak dapat dijelaskan.
Amel yang bingung dengan Dinda, tentu tak dapat melakukan apa pun. Ia menatap wajah Dinda saja, dengan tatapan bertanya-tanya. Namun, semakin lama, dia takut dengan keadaan sahabatnya itu.
"Dinda!"
"Mel, ibu kos yang udah meninggal nelepon aku, Mel. Aku angkat enggak ya?" tutur Dinda begitu sadar dari lamunannya.Dengan cepat, ia menyerahkan ponsel miliknya dan menunjukkan layar ponsel yang terpampang sangat jelas nama pemilik indekos. "Eum ... bisa jadi itu salah satu keluarganya. Kamu terakhir ada komunikasi enggak sama ibu kosan kamu itu?" Amel memberikan rasa tenang ada Dinda, sehingga ada keberanian yang langsung muncul dan memutuskan untuk mengangkat telepon tersebut. Dinda memencet tombol berwarna hijau, yang menandakan jika panggilan tersebut ia terima. Meskipun dirinya masih ada sedikit rasa takut dan juga khawatir, tetapi sebisa mungkin ia menepis semua hal tersebut. Bukan hanya Dinda saja yang akan mendengarkan pembicaraan dari telepon tersebut, tetapi Dinda memang sangat sengaja untuk mengaktifkan loudspeaker. Tentu saja supaya Amel juga dapat mendengar apa yang akan dibahas. "Tolong ...." Suara tersebut yang pertama kali didengar, baik oleh Dinda dan juga Amel.
"Mana coba? Enggak ada, kan?" tanya Dinda balik. "Tapi, aku yakin banget kok sumpah, Din. Aku ngeliat sendiri ada pesan bentuknya itu voice note, tapi pas aku puter suaranya itu nyeremin. Emang kamu enggak denger apa pun? Aku dengerinnya pake suara yang full loh." Amel menjelaskan hal itu, dengan kedua mata yang menoleh kanan dan kiri, memastikan jika di dalam indekosnya tak ada hal-hal yang menakutkan lagi. Pasalnya, ia baru pertama kali ini mendapati hal-hal yang ghaib seperti itu. Tak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Amel, Dinda hanya menggelengkan kepala saja. Setelah itu ia memilih untuk meletakkan ponsel miliknya begitu saja. "Jadi, ibu kos aku itu enggak ada karena hantu. Eits, tapi ini baru dugaan aku aja ya, karena yang terakhir interaksi sama ibu kos, ya hantu itu," tutur Dinda, mulai bercerita tentang apa yang menimpa Tanti. "Hantu?" "Iya, jadi ceritanya itu tadi kemarin siang ditemuin jasad perempuan cantik yang gantung diri di dalam kamarnya. Enggak jau
Alangkah terkejutnya, kala mereka berdua mendengar suara dari isi voice note tersebut.Karena terkejut, spontan Dinda langsung melempar ponsel miliknya ke tempat tidur. Menatap ke arah wajah Amel, yang juga sama-sama tengah ketakutan. "Amel ... aku takut," ungkap Dinda, tetapi tidak mendapat jawaban apa pun dari Amel. Beberapa menit mereka saling diam, menghabiskan waktu untuk sibuk dengan pikiran masing-masing. Tak ada yang berkata apa pun, sampai akhirnya Amel tiba-tiba saja berkata, "Apa mungkin ya, hantu itu lagi ada di sekitar sini?" "Jangan ngaco kamu, Mel, kalau ngomong! Aku sekarang lagi takut, kamu malah nambah aku makin takut aja!" Dinda kesal, karena saat ini ia benar-benar merasa takut. Ia masih ingin melanjutkan hidup, meskipun sederhana dan juga penuh akan cobaan, tetapi Dinda masih semangat. Ia tidak ingin meninggal dengan cara yang sangat tidak wajar seperti itu. Dinda menggelengkan kepala, ia ingin menepis semua pikiran buruk itu. Tak sepantasnya ia takut denga
Amel mulai ciut, rasa takut sudah menyelimuti. Ingin rasanya ia hanya menunggu di luar saja, tetapi di luar pun tetap saja ada rasa takut."Semuanya udah milih buat pindah mungkin, Mel. Ayok lah, kita ke kamar aku aja." Dinda bergegas melangkahkan kaki untuk menuju ke kamar dan membereskan semua barang-barang miliknya. Tak ada kejanggalan apa pun, hanya hawa bangunan saja yang menjadi tak biasa. Seakan-akan bangunan indekos itu sudah lama tidak berpenghuni. Tidak begitu jauh kamar milik Dinda, sesampainya di depan kamar, segera saja membuka pintu dan masuk ke dalam kamar tersebut. Dinyalakannya lampu kamar, serta jendela pun dibuka. Hal itu bertujuan supaya ada udara yang masuk dan kamar tidak lagi pengap, tetapi alangkah terkejutnya kala pintu kamar tiba-tiba saja tertutup sendiri. Amel yang sedari tadi hanya mengamati kamar saja dan berdiri tak jauh dari arah pintu pun langsung merasa ketakutan, berlari mendekat ke arah Dinda dan memeluk sangat erat. Tak hanya Amel saja yang ta
"Tahan dulu sebentar, kita tunggu di dalam kamar sini aja sambil aku juga nyoba buat nyari bantuan," ucap Dinda, masih berusaha tetap tenang.Karena memang rasa percaya yang dimiliki oleh Dinda cukup besar, sehingga membuat perempuan tersebut memiliki keberanian yang lebih. Ia berpikir, jika sedari tadi dirinya hanya berdiri saja, itu sama saja akan membuang tenaga dengan sangat sia-sia. Sehingga, Dinda segera menuntun telapak tangan milik Amel, supaya duduk di atas tempat tidurnya. Namun, reaksi Amel justru di luar dugaan. Ia justru berkata, "Tapi, Din, aku takut kalau harus duduk di situ. Apalagi posisinya deket banget sama pintu keluar.""Amel, percaya sama aku deh, enggak bakalan ada apa-apa. Kalau pun ada sesuatu yang nanti terjadi, pasti yang bakalan kena itu aku dulu, kan dari tadi juga yang dipanggil namanya, nama aku." Dinda benar-benar berusaha untuk membuat temannya percaya dengan apa yang ia katakan. Sebenarnya sudah ada rasa tenang di dalam hati Amel, tetapi tentu saja
Bayu panik, ia bingung dengan apa yang harus ia lakukan saat ini. Terlebih lagi, sambungan telepon dari kekasihnya itu seketika terputus begitu saja.Tak ingin membuang waktu lebih banyak lagi, segera saja Bayu keluar dari dalam kamar tidurnya dan bersiap-siap untuk pergi menuju indekos kediaman Dinda.Perasaannya campur aduk, berharap jika saat ini kekasihnya baik-baik saja. Mengendarai kendaraan pun tanpa kendali, sebab yang ada di dalam pikirannya saat ini hanya ingin segera tiba saja."Sayang, tunggu sebentar ya, aku akan segera tiba di sana," gumam Bayu, seraya terus melafalkan lafadz Allah. Memohon perlindungan untuk sang kekasih, yang bahkan dirinya saja tidak tahu bagaimana kabarnya saat ini.Sedangkan, di tempat yang lain, Dinda dan Amel harus merasakan keadaan yang sangat mencekam. Rasa takut harus mereka berdua lawan."Tidak perlu takut dengan bangsa jin, sebab kedudukan manusia itu lebih tinggi. Terus lah ingat Allah, minta perlindungan padaNya, insyaAllah kamu akan baik-b
"Bagaimana kejadian yang sebenarnya? Kenapa bisa-bisanya ada kasus yang seperti ini? Kalian tidak pernah memperhatikan teman kalian sendiri, kah?" tanya Tanti, perempuan pemilik indekos yang baru saja tiba di indekos miliknya itu. Namun, saat Tanti telah tiba di indekos miliknya, sudah sangat ramai dengan banyaknya orang yang memiliki rasa keingintahuan yang sangat tinggi. Ditambah lagi, dengan adanya garis polisi yang membatasi kamar penemuan mayat. Tanpa ingin membuang waktu lebih banyak lagi, Tanti langsung menerobos masuk ke kerumunan orang-orang. "Ini, Pak yang punya indekosnya," ucap salah satu warga yang memang tengah hadir dan menyaksikan. Tanti menganggukkan kepala, memberi pertanda jika apa yang diutarakan oleh warga tersebut adalah benar. Detik itu juga Tanti langsung diinterogasi oleh pihak kepolisian, mengenai bagaimana kejadian dan juga informasi yang memang sangat dibutuhkan oleh pihak kepolisian tersebut. Sebenarnya, sangat tak bisa dipungkiri, jika saat mendapat
Tanti mengerutkan kening kembali begitu melihat pesan Dinda, salah satu mahasiswa yang berada di indekos itu. Sedari tadi, perempuan itu menceritakan jika tadi ia mendengar suara tangis dari arah kamar Lina, juga suara teriakan yang menyayat hati. Meskipun begitu, tak ada yang bisa dilakukan oleh Dinda, karena ia tidak ingin mengambil resiko jika sampai arwah dari teman indekosnya itu justru akan menghantuinya. Di akhir pesan yang dikirim juga, Dinda mengutarakan kalimat maaf, jika ia tidak bisa untuk melakukan apa-apa. Seperti menolong Tanti, karena rasa takut juga sudah sangat menyelimuti Dinda saat ini. "Bu ... tolongin Lina. Lina enggak mau kayak gini, Lina nyesel, Bu. Harusnya Lina masih hidup dan bisa ketawa-ketawa," lirih Lina tiba-tiba, hingga mengalihkan fokus Tanti secara mendadak. "Maafin Ibu Lina, tapi kita udah beda dunia dan Ibu juga takut jika harus keluar dari kamar buat ketemu sama kamu," gumam Tanti, dengan suara yang cukup pelan. Bertepatan dengan jawaban dar