Share

5. Pohon Keramat

"Mas, Mas, bangun, Mas!"

Parmin membuka matanya tatkala mendengar suara panggilan seseorang. Hah, dia menghela napas, rupanya dirinya hanya mimpi. Mimpi yang sangat mengerikan, batinnya. Jantungnya terasa berdegup dengan kencang.

"Maaf, saya bangunkan. Masnya enggak apa-apa?" tanya supir.

"Ga papa, Mas Pir. Saya hanya mimpi." Parmin menyeka keringat di dahinya.

"Masnya kecapekan, ya? Tidur sampe mengingau keras, gitu?"

"Mungkin, Mas." Parmin tersipu malu. Namun, selain rasa malu, ia pun merasa resah. Mimpinya begitu nyata dan mengerikan. Rasa takut dan kagetnya masih terasa hingga dia terbangun. Apakah gadis itu masih mengikutinya bahkan, hingga ke kampung halaman?

"Sudah sampai mana, Mas Supir?" tanya Parmin.

"Ini mau masuk gerbang tol kalijati, Mas." Parmin pun bersiap-siap untuk turun ketika papan nama petunjuk arah kecamatannya terlihat dengan jelas.

Turun dari travel, Parmin celingak celinguk di depan agen. Ponselnya sudah kehabisan baterai sejak sore. Tak ia hiraukan tawaran opang--ojek pangkalan-- yang menawarkan jasa. Sebelum berangkat, ia sudah menghubungi teman sedesanya untuk menjemput.

"Kang Parmin, saya di sini!" seseorang melambai-lambaikan tangan di depan warung mie ayam yang ada tulisan agen bus malam.

"Wah, Ricky, kamu toh. Sudah bujangan, gagah sekarang, aku pangling." Parmin menyalami dan menepuk-nepuk pundak Ricky, temannya. Dahulu, dia adalah adik sepengajiannya di kobong. Saat merantau masih sangat kecil dan sering digendongnya.

"Kang Parmin juga. Logatnya udah njawani, udah kaya orang sana aja. Kelamaan merantau." Ricky terkekeh.

"Kang Min ngantuk enggak? Mau ngopi dulu?"

"Enggak, kita lanjut saja." Setelah membayar segelas kopi, Ricky menstarter motornya dan mereka pun melaju dengan kendaraan roda dua membelah jalanan.

Sepanjang perjalanan mereka mengobrol untuk mengusir sepi. Melalui Ricky, Parmin bisa mengetahui bahwa keadaan ibu dan adiknya baik-baik saja. Hatinya lega.

Memasuki desanya yang terletak jauh di pedalaman harus melewati kebun-kebun rambutan dan hutan karet, kesunyian kembali menyergap mereka. Jalanan tampak sepi dan gelap. Tidak semua jalan mulus meski sudah di aspal. Kondisi air selokan jalan yang tidak rapi, dan pepohonan yang rimbun hingga menutupi bahu jalan, saat musim hujan seringkali tetesan dan genangan air membuat rusak jalan. Ricky harus hati-hati mengendarainya agar tidak melindas batu besar atau lubang dan beralhir dengan terjungkal tengah malam.

Bayangan-bayangan pohon besar yang tertimpa sinar rembulan tampak gelap seperti mengerikan. Semakin masuk ke dalam semakin sepi dan tak melihat cahaya dari rumah-rumah penduduk yang berjauhan. Kini mereka telah melewati perkebunan penduduk dan memasuki kawasan hutan karet yang sangat gelap.

Parmin merasakan tengkuknya begitu dingin. Dia merapatkan jaket kulitnya. Ricky yang sejak tadi berceloteh pun mulai diam. Entah mengapa. Kesunyian hutan karet seakan membungkam mulutnya. Mungkin karena pemuda di depannya mulai merasa takut. Konon hutan karet pada malam hari sering memakan korban baik begal maupun penampakan. Parmin sendiri yang asalnya tidak pernah takut semenjak kejadian teror itu mulai merasa waswas.

Saat ini mereka tengah berada di kebun karet dan sebentar lagi melewati dua batang pohon keramat yang terkenal. Suasana makin terasa mencekam ketika kendaraan yang mereka tumpangi semakin mendekat area pohon keramat. Dari kejauhan bayangan gelap rimbun pepohonan dan jalan yang suram semakin terlihat jelas. Saat itu mereka hampir mendekati pohon, semakin semakin jelas bayangan-bayangan hitam pohon besar yang mengerikan itu.

"Kang Parmin, Akang lihat jalan, ya. Saya akan merem," bisik Ricky tiba-tiba.

"Astagfirullah, Ky. Jangan bilang kamu mau merem karena takut? Jangan lakukan hal gegabah nanti berbahaya."

"Tapi, aku takut, Kang. Serem banget di depan. Aku enggak mau lihat penampakkan. Hiiy!"

"Kamu di depan terang, di belakang ada aku yang jagain. Lha, gimana sama nasibku aku yang di belakang, tokh?"

Ricky malah semakin ketakutan. Kendaraan pun semakin berat. Ia membayangkan di belakang Parmin ada sesosok yang menarik pundak pemuda itu.

"Aduh, kenapa motor ini terasa berat?"

"Sudah fokus saja. Kita akan segera melewatinya."

"Ya Allaah, astagfirullaah, Allaahu Akbar, Lahaolawa laquwatta illabillaah. Saking takutnya Ricky semua lafaz doa dan ayat-ayat yang ia ingat dilafalkan. Namun, karena ketakutannya yang ada bacaannya malah kacau balau.

Sejujurnya Parmin pun merasa takut. Keringat dingin terasa mengalir di pundaknya. Punggungnya sangat berat serasa digayuti beban ransel puluhan kilo. Padahal ia hanya menggendong ransel kecil berisi pakaian karena oleh-oleh di letakkan di depan.

Hah, hanya sebentar saja, cuma beberapa detik akan terlewati. Tokh, aku sudah terbiasa sejak kecil melewatinya saat nonton layar tancap, tetapi mengapa sekarang terasa lebih mengerikan?

Parmin tetap fokus ke depan takut Ricky melakukan hal bodoh memejamkan mata. Saat ini motor hampir melewati pohon keramat dan bayangan gelap terasa merangkum mereka.

"Allah, Allah, Allah!" Ricky komat kamit. Mendadak motor oleng dan berhenti.

"Ah, kenapa ini?" panik Ricky. Ia berusaha menstabilkan motor dan menarik gas. Namun, semakin ia gas motor semakin berhenti. Seperti ada yang menahan bannya. Parmin berinisiatif turun. Sudah tak pedulikan lagi rasa takut. Semakin lama berdiam diri di sana Ricky akan semakin ketakutan.

"Tenang, Ky. Kita periksa dulu."

Parmin turun mencari ponsel dari saku celananya. Dengan menggunakan senter dari ponsel ia memeriksa bannya. Sebuah akar pohon yang menjalar membelit ban entah datang dari mana. Belitannya sangat erat mengenai jeruji motor lalu naik ke rantai. Sangat aneh. Akar itu sangat erat membelit. Mungkin karena tadi dipaksakan maju.

"Apa yang terjadi Kang?" Ricky mengeluarkan ponselnya juga berusaha menerangi. Ia tak ingin terjebak dalam kegelapan yang sangat menakutkan.

"Ada akar yang membelit. Aku akan coba keluarkan." Parmin mencoba menariknya. Namun sangat susah.

"Ada arit," Ricky ingat dia masih menyimpan alat untuk mencari rumput itu di sana, selain ngojek Ia memang membantu orang tuannya memelihara domba. Dengan tergesa membuka jok motor. Sialnya, kuncinya seperti macet.

"Sial, apalagi ini!"

"Tenang, Ky. Sini aku yang buka." Parmin mengambil alih.

Parmin lebih tenang dalam memasukan dan memutar kunci jok, maka dengan mudah dalam sekejap terbuka. Di sana ada arit. Parmin mengambilnya, lalu sekuat tenaga digunakan untuk mengarit akar pohon itu.

"Tahan, Ky!" pintanya.

Ricky menahan motor agar tidak oleng. Akhirnya setelah beberapa kali mengerahkan tenaga, Parmin berhasil membuat akar pohon itu terputus. Parmin lalu menyingkirkan akar-akar pohon itu ke sisi jalan.

Entah kenapa, seperti ada yang menarik Ricky untuk menoleh ke arah Parmin melempar. Dalam kegelapan ia melihat akar-akar itu bergerak dan berubah menjadi ular lalu pergi menjauh.

"U-ulaar!" teriak Ricky.

Parmin juga terkejut. Lalu memasukan arit ke jok motor. Secepatnya ia mengambil alih menstarter dan menarik Ricky untuk duduk di atas jok motor.

Dalam ketegangan terdengar tawa mengerikan dari atas pohon. Ricky menjerit ketakutan.

"Aaaa, hantuuu!"

"Naik, Ky!" Ricky yang masih syok tersentak dan segera sadar lalu naik ke atas jok." Pegangan yang kuat!" Parmin menarik gas kuat-kuat. Ricky memeluk erat.

Motor melaju dengan cepat. Ricky masih sempat menoleh di atas sana, ada bayangan putih yang menertawakan mereka.

"Cepat, Kang!"

"Tenang, jangan panik. Hanya menakut-nakuti!" Parmin berusaha menenangkan Ricky. Namun, ia tak menyadari ada sesosok bayangan merah yang saling melesat sesaat setelah mereka pergi.

***

.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status