"Ada apa, Min?" Sesosok berpakaian putih menyembul dari balik pintu."Ah!" Parmin kembali terkejut. Rupanya itu emak yang masih memakai telekung. Kebiasaan emak, berkeliaran saat gelap dengan masih mengenakan alat shalatnya. "Kamu mimpi buruk, Nak? Perbanyak istigfar dan berdoa sebelum tidur," nasehat emak. "Astagfirullah al adzim," ujar Parmin lirih. Mengapa sih, mimpi itu datang lagi. Kini bercampur aduk dengan Kumara yang ingin mengikutinya dengan Kumara yang ingin menerornya. "Sebenarnya, apa hubunganku dengan mereka? Mengapa pula ia bisa melihat dan berhubungan dengan mereka?" gumam Parmin. "Apa, Nak? Kamu ngomong apa?""Mak, aku selalu didatangi kumara merah. Bukan hanya satu, namun tiga.""Kumara Merah?" Emak terperanjat. " Apa mereka mengganggumu, Nak?""Mereka ada yang menjaga dan ada juga yang mengganggu. Namun, bagi Min, rasanya mereka semua mengusik ketenangan. Min pun tak ingin mereka mengganggu Kasih dan Emak.""Bagaimana wujud mereka
Pada akhirnya, Parmin hanya bisa berangkat berdua saja dengan Ricky karena temannya itu tak bisa, katanya sedang pergi ke kota Subang mengurus KTP di discukdapil. Parmin turun dari motor, Ricky menyimpan kendaraannya di halaman depan. Saat pertama menginjakkan kaki di sana suasana dingin dan sunyi menyambut kedatangan mereka. Rumah itu bergaya Belanda. Pondasi yang tinggi dari batu kali, dinding batu bata disemen. Kusen dan daun pintu terbuat dari kayu jati. Namun, karena waktu menjadi aus dan engselnya lepas di beberapa tempat. Ada beberapa ruangan di dalam. Satu ruang depan, dua kamar, kamar mandi, dan satu dapur. Saat mereka memasuki ruangan terlihat kusam dan kotor. Banyak cangkang kwaci, kacang, minuman doping, dan obat batuk sachet berserakan di sana. Botol-botol bir kalengan pun berserakan. Bahkan sebuah bungkus kondom tergeletak begitu saja. Parmin menggeleng-geleng. Dia sudah mengerti apa yang mereka lakukan di ruang kosong itu. Sepertinya, tempat itu sudah l
Ricky terdiam. Dia mengingat-ingat sosok penampakkan gadis di dalam sel penjara itu. Gadis Londo, bergaun putih. Tak ada yang dia ingat dengan jelas dari sosok yahg diduga hantu itu, kecuali wajahnya yang menakutkan. Eh, tapi tunggu dulu. Ia ingat, entah mengapa di antara bayangan hitam putih itu terlihat cahaya kehijauan keluar dari dadanya. Saat diperjelas ingatannya, Ricky tersentak kaget. Sosok itu mengenakan kalung dengan liontin yang mirip dengan yang digenggamnya. Ricky gemetar dan menjatuhkan kalung, dengan sigap Parmin menangkapnya."Ky!""Ah, untunglah, kalau tidak tertangkap mungkin bisa pecah," gumam Parmin. "Ma-maf, aku kaget.""Kau melihatnya juga, kan?""I-iyaa, aku melihat d-dia memakai kalung bercahaya hijau dan sangat mirip dengan liontin ini.""Nah, aku pun melihatnya. Entah kenapa sangat jelas terlihat. Seakan sebuah petunjuk untuk kita.""Apa hubungannya?""Pasti ada hubungannya. Aku yakin. Aku mendengar suara sosok itu memanggil namaku, tapi bukan Parmin.""Apa
Tangan Parmin gemetar ketika tepat pukul 00.00 tengah malam mendapatkan pesan misterius. "Mas Min, saya pesan kopi panas, anterin ke ruang kelas satu," tulis pesan tersebut. Parmin menduga dari salah satu keluarga pasien RS Moegie Waras yang berjaga di sana. Dahi Parmin mengernyit. Dia memang telah membuka layanan pesan antar. Namun, itu hanya berlaku untuk para petugas jaga saja. Lantas, dari mana keluarga pasien mengetahui nomor kontaknya? Parmin berpikir, barangkali dapat dari perawat jaga atau Mas Satpam.Parmin mengamati foto profil "W******p" pengirim pesan tersebut. Gadis bergaun merah. Wajahnya tidak terlihat karena posenya membelakangi, hanya menampakkan rambut yang tergerai lurus. Lagi pula tengah malam seperti itu, di ruang rawat kelas satu, bukankah itu ruangan yang dekat dengan kamar yang bahkan, Parmin tak berani menyebutkan namanya. Parmin terus memikirkan bermacam praduga di kepalanya. Setengah bergidik Parmin membayangkannya harus mengunjungi rua
Sesosok berpakaian putih yang tadi di kejarnya samar terlihat di pojok ruangan. Namun, ketika ia menajamkan penglihatan sosok itu sudah tak ada. Perlahan ia bangkit. Dalam benaknya lari adalah jalan terbaik. Meski goyah ia tetap berusaha mundur mencari jalan keluar dari ruangan mengerikan itu. Parmin segera berbalik. Namun, tubuhnya menabrak sesuatu di belakangnya. "Aaaa!" Parmin berteriak sembari menutupi wajahnya. "Mas Min ...." Suara merdu yang didengarnya seketika membuat Parmin memberanikan diri membuka mata. Dia mengembuskan napas lega. Seorang gadis bergaun merah berdiri di hadapannya, tengah menatapnya lurus tanpa senyum. Parmin yang ketakutan, berusaha melirik ke bawah. Ternyata kaki gadis itu masih menapak lantai. "Ah, Mbak ternyata manusia. Kupikir hantu." Parmin mengusap dada, merasakan degup jantung yang tak beraturan. Gadis bergaun merah itu memberikan senyum yang samar dan aneh. Sangat aneh, tengah malam mengapa seorang gadis berada d
Lelaki itu menyeret sang Gadis menuju belakang rumah. Si lelaki memukuli berulangkali hingga gadis itu kelojotan kemudian bergeming. Saat melihatnya, Parmin kalap, kaki Parmin yang asalnya terasa lemah, mendadak mendapat kekuatan, ia mencoba meraih apa pun yang ada di dekatnya. Batu, ranting, dan kayu. Namun apa daya, sekuat apapun ia berusaha mengambil semua seperti tak dapat diraih. Ia seperti tak beraga. Parmin luruh ke atas tanah. Ia menangis, meraung, dan menjambak-jambak rambutnya. "Maafkan aku, maaf. Tak mampu menolongmu." Parmin terduduk kelelahan. Ia sangat frustasi, berharap ada yang menolong mereka. Angin berembus meniup kabut, menghilangkan dua manusia yang ada di hadapannya dari pandangan Parmin. "Tidaak!" Parmin menjerit. Ia bangkit dengan terseok-seok mencari ke sana ke mari. Tak peduli kakinya terasa perih. Tiba-tiba dari arah depan ia melihat sosok lelaki itu menyeret tubuh tak bernyawa gadis yang sudah tak karuan rupanya. Bajunya yang putih berl
Parmin akhirnya memutuskan untuk pulang kampung, setelah mengalami mimpi buruk pasca kejadian pesanan kopi dari kamar mayat RS. Moegi Waras yang membawanya memasuki ruang waktu dunia lain. Parmin harus menyaksikan sendiri rekaman kematian seorang gadis oleh ayah tirinya seakan-akan ia hadir menyaksikan langsung kejadian pembunuhan tersebut. Warungnya memang ramai setelah kejadian itu. Namun, saat sendirian Parmin merasakan seseorang selalu mengawasinya. Bahkan, beberapa kali ia mendapat mendapati seseorang menggedor pintu warungnya saat tengah malam, dan ketika dibuka, tak ada seorang pun. Selain itu beberapa pelanggan dan keluarga pasien yang mendatangi warungnya tengah malam, sering memergoki sosok gadis bergaun merah di bawah pohon kersen di depan atau atap warungnya. Menurut para ahli supranatural yang dipanggil untuk mengobati Parmin, ia bukan masuk ke dunia hantu. Namun, ia melihat rekaman kejadian ruang dan waktu pembunuhan yang ditinggalkan si gadis. Ketakutan
"Mas, Mas, bangun, Mas!" Parmin membuka matanya tatkala mendengar suara panggilan seseorang. Hah, dia menghela napas, rupanya dirinya hanya mimpi. Mimpi yang sangat mengerikan, batinnya. Jantungnya terasa berdegup dengan kencang. "Maaf, saya bangunkan. Masnya enggak apa-apa?" tanya supir. "Ga papa, Mas Pir. Saya hanya mimpi." Parmin menyeka keringat di dahinya. "Masnya kecapekan, ya? Tidur sampe mengingau keras, gitu?" "Mungkin, Mas." Parmin tersipu malu. Namun, selain rasa malu, ia pun merasa resah. Mimpinya begitu nyata dan mengerikan. Rasa takut dan kagetnya masih terasa hingga dia terbangun. Apakah gadis itu masih mengikutinya bahkan, hingga ke kampung halaman? "Sudah sampai mana, Mas Supir?" tanya Parmin. "Ini mau masuk gerbang tol kalijati, Mas." Parmin pun bersiap-siap untuk turun ketika papan nama petunjuk arah kecamatannya terlihat dengan jelas. Turun dari travel, Parmin celingak celinguk di depan agen. Ponselnya sudah kehabisan baterai s