Home / Horor / Teror Kumara Merah / 4. Kepala yang Terpenggal-Penggal

Share

4. Kepala yang Terpenggal-Penggal

last update Huling Na-update: 2021-11-17 13:27:56

Parmin akhirnya memutuskan untuk pulang kampung, setelah mengalami mimpi buruk pasca kejadian pesanan kopi dari kamar mayat RS. Moegi Waras yang membawanya memasuki ruang waktu dunia lain. Parmin harus menyaksikan sendiri rekaman kematian seorang gadis oleh ayah tirinya seakan-akan ia hadir menyaksikan langsung kejadian pembunuhan tersebut.

Warungnya memang ramai setelah kejadian itu. Namun, saat sendirian Parmin merasakan seseorang selalu mengawasinya. Bahkan, beberapa kali ia mendapat mendapati seseorang menggedor pintu warungnya saat tengah malam, dan ketika dibuka, tak ada seorang pun. Selain itu beberapa pelanggan dan keluarga pasien yang mendatangi warungnya tengah malam, sering memergoki sosok gadis bergaun merah di bawah pohon kersen di depan atau atap warungnya.

Menurut para ahli supranatural yang dipanggil untuk mengobati Parmin, ia bukan masuk ke dunia hantu. Namun, ia melihat rekaman kejadian ruang dan waktu pembunuhan yang ditinggalkan si gadis. Ketakutan, kesakitan, kesedihan, dan ketidakrelaan pikiran sang gadis ketika meregang nyawa tergumpal menjadi satu dan membentuk energi cerdas untuk menyampaikan pesan kekecewaannya. Pesan itu sampai kepada Parmin yang kebetulan terkoneksi saat itu.

Namun, jika semua itu hanya rekaman, masalahnya sosok siapa yang berada di ruang pemulasaraan dan membawanya memasuki dimensi tersebut? Apakah juga energi si gadis atau roh gentayangan yang masih belum tenang? Lantas, apakah dia juga sosok yang selalu mengikutinya selama ini?

"Mas Min, jadi pulang kampung? " tanya Rizal, tukang ojek yang selalu mangkal di warung kopinya. Saat ini warung kopi hanya buka sampai jam 9 malam, dan Parmin tidak lagi tidur di warungnya.

"Insya Allah, Mas Izal. Saya sudah tak nyaman di sini."

"Hmm, berkaitan dengan 'itu' ya?" Rizal menekan kata itu dengan ragu-ragu dan hati-hati. Kepalanya menengok ke kanan dan ke kiri dengan raut wajah ketakutan.

"Lantas, bagaimana dengan warungnya? Sayang kalau harus tutup begitu saja?"

"Em, saya sudah menjualnya kepada pemilik tanah ini, Mas. Ini malam terakhir saya berjualan. Beliau berkenan memberi ganti rugi yang cukup untuk bekal dan modal buka usaha di kampung nanti."

"Syukurlah Mas Min. Jangan lupakan saya, ya. Kalau ada waktu dan ke kota ini lagi, mampirlah ke rumah saya."

"Baik, Mas Izal. Terima kasih sudah mau menjadi saudara saya selama merantau di sini."

Setelah Mas Rizal pergi, Parmin bergegas menutup warungnya meskipun masih pukul delapan malam. Kali ini semua barang di warungnya dibungkus dan diangkut ke rumah pemilik warung yang ditinggali sementara. Saat ia menutup warungnya kembali ia merasakan sepasang mata mengawasinya menyebabkan bulu kuduknya merinding. Udara sangat dingin terasa menerpa punggungnya padahal tak ada angin. Parmin berlari meninggalkan warungnya. Hatinya bertekad untuk pulang secepatnya.

***

Perjalanan dari Jawa Timur menuju Jawa Barat menggunakan mobil travel malam terasa menyejukkan. Hanya ada delapan orang penumpang di dalam mobil termasuk supir. Parmin terkantuk-kantuk di dalam mobil. Melewati perbatasan kedua provinsi, Parmin merasa lega. Semakin jauh ia meninggalkan kota Wathu Gede, semakin cepat pula ia merasa aman dan lepas dari bayangan yang menerornya.

"Emak, Nyai, Min pulang, " batinnya. Kantuk menyergapnya membuatnya terantuk-antuk di kursi bus. Suasana mendadak hening. Para penumpang lain tampak tertidur. Sepanjang jalan sisi kiri kanan tol hanya kegelapan karena pembangunan jalan tol yang dilalui belum sepenuhnya selesai. Namun, tiba-tiba ia melihat jalan dipenuhi lampu-lampu yang terang dan mereka memasuki jalan yang terlihat berbeda. Tak ada bus atau kendaraan lain yang lewat di jalur sebelahnya maupun jalur yang sama.

Di ujung jalan, sesosok bayangan berdiri di tengah jalan. Parmin terhenyak dan berteriak.

"Supiiirr berhentiii!"

Suaranya yang berteriak mengagetkan supir yang langsung refleks menginjak rem. Suara decitan terdengar jelas. Beberapa penumpang terbentur kursi depan dan bahkan Parmin terbentur dashboard karena rem mendadak.

"Aduh! Sialan!"

"Ada apa, sih, Pir?"

"Kenapa bawa mobilnya kasar gini, Woy!" Para penumpang yang di belakang terbangun marah-marah.

Sementara Parmin dan supir gemetaran. Di depan sana, sesosok gadis mengenakan bergaun merah yang sangat panjang hingga menutupi separuh jalan seperti baju pengantin tampak berdiri dengan tenang dengan wajah dingin dan mata hitam kelam.

"Hei, siapa sih, masa ada cewek malem-malem di tengah jalan pake baju gitu?"

"Bukan orang kayaknya...."

"Kalau bukan orang, apa?"

"Haa-hantuuu!"

Suara suara ribut penumpang yang baru sadar apa yang terjadi tampak ketakutan.

"Ssst, diamlah!" ucap Parmin dengan suara gemetaran.

Suasana mendadak hening. Hingga helaan napas yang dipenuhi rasa takut terdengar begitu jelas. Terdengar pergerakan dari para penumpang yang saling merapat dan memeluk erat.

"Sekarang apa yang harus kita lakukan?" tanya Supir.

"Kenapa gadis itu diam saja?"

"Apa kita tabrak saja?" usul seorang di belakang supir.

"Dia pasti menghilang kalau ditabrak!" sahut yang di sampingnya.

"Jangan!" cegah Parmin.

"Iya, bagaimana kalau dia marah dan membunuh kita?" racau penumpang paling belakang yang menyembunyikan wajahnya di balik kursi.

Parmin menatap tajam gadis itu. Sosoknya seperti ia kenal. Sangat mirip dengan gadis yang pernah ditemuinya di kamar mayat itu.

"Di-diaa," ucapnya gemetaran.

"Kamu mengenalnya?"

Parmin mengangguk. "Dia hantu gadis korban pemerkosaan dan pembunuhan?"

"Apa?"

Semua merasakan hawa ketakutan yang nyata. Sosok di hadapan seperti menyimpan dendam. Dia bukan sekedar hantu yang akan menakuti, tetapi seakan hendak membalaskan dendam kebenciannya.

"Apa kamu pelakunya? Kalau gitu kamu turun hadapi dia!" sentak Supir.

"Iya, kami tidak mau dosamu kami ikut getahnya!" Penumpang di belakang Parmin mengiakan.

"Bukan aku pelakuknya. Pelakunya ayah tiri sudah ditangkap polisi!" jelas Parmin.

"Kalau bukan kamu, kenapa dia mengikuti kamu?" teriak salah satu penumpang paling belakang

" Aku juga tidak tahu!" elak Parmin kesal.

"Ja-jadi, bagaimana kita menghadapinya sekarang?" tanya Supir dengan suara yang nyaris tak terdengar. Semua terdiam. Dalam hati dan gumaman gumaman mereka terdengar doa-doa yang dipanjatkan.

Parmin menghela napas sejenak. Lalu dengan menguatkan hati, ia mencoba bernegosiasi dengan sosok hantu gadis itu.

"Apa maumu, Gadis? Bukan aku sasaran balas dendammu. Kau sendiri tahu dengan jelas, kan?" Parmin mencoba berkomunikasi.

Suara tawa mengerikan menjawab pertanyaannya. Suaranya menyusup ke telinga meskipun penumpang paling belakang dan memakai headset, tetapi bisa merasakannya.

"Aku mau kamu, Mas Parmiiin!"

Mata Parmin dan semua penumpang memelototi sosok yang tiba-tiba terbang menuju muka bus travel.

Supir refleks menginjak gas. Dan menabrak sosok itu. Namun, bukannya terpental atau tembus, ketika sosok itu bertabrakan dengan kaca depan, tetapi yang ada kaca berhamburan dan bahkan ketika menembus kap mobil yang terkena tubunya langsung hancur bersamaan dengan seluruh jeritan orang-orang dan memuncratnya darah-darah dari leher yang terputus.

"Aaaaa!" jerit penumpang di belakang yang sempat melihat terputusnya kepala kepala dari batang-batang leher Supir.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Teror Kumara Merah   13. Mimpi Sadar

    Ricky terdiam. Dia mengingat-ingat sosok penampakkan gadis di dalam sel penjara itu. Gadis Londo, bergaun putih. Tak ada yang dia ingat dengan jelas dari sosok yahg diduga hantu itu, kecuali wajahnya yang menakutkan. Eh, tapi tunggu dulu. Ia ingat, entah mengapa di antara bayangan hitam putih itu terlihat cahaya kehijauan keluar dari dadanya. Saat diperjelas ingatannya, Ricky tersentak kaget. Sosok itu mengenakan kalung dengan liontin yang mirip dengan yang digenggamnya. Ricky gemetar dan menjatuhkan kalung, dengan sigap Parmin menangkapnya."Ky!""Ah, untunglah, kalau tidak tertangkap mungkin bisa pecah," gumam Parmin. "Ma-maf, aku kaget.""Kau melihatnya juga, kan?""I-iyaa, aku melihat d-dia memakai kalung bercahaya hijau dan sangat mirip dengan liontin ini.""Nah, aku pun melihatnya. Entah kenapa sangat jelas terlihat. Seakan sebuah petunjuk untuk kita.""Apa hubungannya?""Pasti ada hubungannya. Aku yakin. Aku mendengar suara sosok itu memanggil namaku, tapi bukan Parmin.""Apa

  • Teror Kumara Merah   12. Rahasia Bunker Tua

    Pada akhirnya, Parmin hanya bisa berangkat berdua saja dengan Ricky karena temannya itu tak bisa, katanya sedang pergi ke kota Subang mengurus KTP di discukdapil. Parmin turun dari motor, Ricky menyimpan kendaraannya di halaman depan. Saat pertama menginjakkan kaki di sana suasana dingin dan sunyi menyambut kedatangan mereka. Rumah itu bergaya Belanda. Pondasi yang tinggi dari batu kali, dinding batu bata disemen. Kusen dan daun pintu terbuat dari kayu jati. Namun, karena waktu menjadi aus dan engselnya lepas di beberapa tempat. Ada beberapa ruangan di dalam. Satu ruang depan, dua kamar, kamar mandi, dan satu dapur. Saat mereka memasuki ruangan terlihat kusam dan kotor. Banyak cangkang kwaci, kacang, minuman doping, dan obat batuk sachet berserakan di sana. Botol-botol bir kalengan pun berserakan. Bahkan sebuah bungkus kondom tergeletak begitu saja. Parmin menggeleng-geleng. Dia sudah mengerti apa yang mereka lakukan di ruang kosong itu. Sepertinya, tempat itu sudah l

  • Teror Kumara Merah   11. Rumah Peninggalan Kolonial

    "Ada apa, Min?" Sesosok berpakaian putih menyembul dari balik pintu."Ah!" Parmin kembali terkejut. Rupanya itu emak yang masih memakai telekung. Kebiasaan emak, berkeliaran saat gelap dengan masih mengenakan alat shalatnya. "Kamu mimpi buruk, Nak? Perbanyak istigfar dan berdoa sebelum tidur," nasehat emak. "Astagfirullah al adzim," ujar Parmin lirih. Mengapa sih, mimpi itu datang lagi. Kini bercampur aduk dengan Kumara yang ingin mengikutinya dengan Kumara yang ingin menerornya. "Sebenarnya, apa hubunganku dengan mereka? Mengapa pula ia bisa melihat dan berhubungan dengan mereka?" gumam Parmin. "Apa, Nak? Kamu ngomong apa?""Mak, aku selalu didatangi kumara merah. Bukan hanya satu, namun tiga.""Kumara Merah?" Emak terperanjat. " Apa mereka mengganggumu, Nak?""Mereka ada yang menjaga dan ada juga yang mengganggu. Namun, bagi Min, rasanya mereka semua mengusik ketenangan. Min pun tak ingin mereka mengganggu Kasih dan Emak.""Bagaimana wujud mereka

  • Teror Kumara Merah   10. Uji Nyali

    Parmin terbangun dari tidurnya. Mimpi lagi, pikirnya. Bukan mimpi buruk seperti sebelumnya. Namun, mimpi yang aneh dan perasaannya segitu buruk. Seakan-akan dia melihat langsung kejadian dan memahami perasaan masing-masing penghuninya. "Sebenarnya perasaan apa ini?" batin Parmin memegangi dadanya. Seperti ada rasa sedih yang menyakitkan, ada rasa benci yang menyesakkan, ada rasa kecewa dan amarah yang sangat meluap-luap dan membuat tidak nyaman. Peristiwa di mimpi itu, meski tidak semua kejadian dan perkataan bisa diingat. Namun, Parmin bisa jelas mengingat ekspresi dan rasa yang berkecamuk dalam dada. Parmin melihat jam dinding. Tepat pukul dua pagi. Sayup suara emaknya mengaji terdengar di keheningan. Rupanya suara emak yang membangunkannya dari mimpi yang membuat dirinya sesak napas itu. Sampai menjelang pagi, Parmin tak bisa memejamkan mata kembali. Pada akhirnya, ia hanya duduk dan membuat coretan-coretan di sebuah buku tentang mimpinya. Semenjak kejadian di Wat

  • Teror Kumara Merah   12. Teror Kumara Merah 2

    Parmin, Kasih beserta dua teman mereka tidak langsung pulang selepas menerima penyerahan hadiah. Uang hadiah ditransfer ke rekening Parmin karena Kasih masih di bawah umur. Selama ini kalau transfer menggunakan rekening Ricky atau dulu melalui wesel pos. Untuk merayakan mereka berkeliling di kota Subang. Belanja pakaian untuk Kasih, Emak, bahkan dua temannya. Kasih pun memaksa kakaknya membeli baju baru yang lebih kekinian, katanya. "Menurut Kasih, Aa itu memiliki tampang yang seperti artis remaja Stefan Williams, loh," katanya. "Hanya saja gaya berpakaian dan rambut yang sederhana membuat Aa kayak wong ndeso." Mau tidak mau Parmin tergelak mendengar pujian yang diakhiri ejekan itu. "Stefan Williams itu siapa, sih?""Ih, Aa enggak gaul. Itu lho, pemeran utama Film anak langit. Yang bule itu. Cakep banget. Motornya juga keren.""Apa? Steffan Williams itu mirip Kang Parmin?Huekekekek! Kalau si mirip si Emen, sih, iya. " Ricky tertawa mengejek. "Seriusan, ih.

  • Teror Kumara Merah   11. Teror Kumara Merah 1

    Parmin berdiri dengan tubuh dan kaki yang gemetar. "A-adik saya Kasih, sa-saya akan menjemputnya, Pak!" ucapnya panik dan memburu pintu. "Tahan, dia!" perintah Kang Wisnu. Para kru pun mencegah Parmin dengan menahannya di depan pintu. "Kang Min!" Ricky yang kaget menyaksikan kejadian itu menghampiri dengan cemas. "Jangan bertindak gegabah. Tenang, jangan takut. semua sudah terkendali. Lihatlah, sudah tidak apa-apa. Adikmu baik-baik saja." Kang Wisnu menenangkan seraya menunjuk ke arah monitor. Di dalam layar terlihat Kasih yang tampak sudah ditenangkan oleh Penjelajah yang menemaninya. Lampu lilin pun berhasil dinyalakan kembali. Ketiga bayangan sinar merah yang tadi terlihat pun sudah menghilang. Namun, Parmin seakan-akan merasakan kemampuan dadakan melihat ke mana perginya sinar merah itu melesat. Semuanya terlihat dengan jelas di depan matanya, padahal mereka ada di dalam ruangan tertutup. Mata Parmin terbelalak. Sedang Kang Wisnu menatap tajam ke arah

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status