Share

Indahnya Selaras

***

Riuh suara kicauan burung terdengar di sekitar penginapan. Udara pagi begitu menyegarkan, sehingga Arfan terbangun dengan tubuh yang segar. Ia menghirup dalam-dalam segarnya udara di desa ini.

"Sangat berbeda dengan udara kota," gumamnya.

Arfan tak sabar ingin berjalan-jalan mengitari desa yang sangat asri ini. Terlebih, desa ini ada di pesisir pantai yang indah. Tentu saja akan menjadi pengalaman paling menyenangkan selama liburan.

"Mama, aku boleh, kan, jalan-jalan ke luar bareng sama Vino?" tanya pemuda itu pada Desi yang tengah sibuk berkutat dengan bahan masakan.

"Boleh, tapi jangan jauh-jauh, ya," pinta Desi.

"Oke, Ma!" serunya seraya berlari keluar dari penginapan.

Langkahnya semakin cepat, tak sabar rasanya untuk mengajak Vino menikmati indahnya pesisir pantai di pagi hari begini. Arfan mendatangi penginapan Vino yang masih tampak sepi.

"Vino! Vino!" serunya seraya mengetuk pintu. 

Tak berapa lama, pintu pun terbuka menampakkan Vino yang tengah memakan sekeping roti.

"Ada apa?" tanyanya.

"Jalan-jalan, kuy!" ajak Arfan seraya menarik tangannya.

"Woy! Jangan maksa!" bentak Vino.

"Mau, kagak?" tanya Arfan memastikan.

"Oke, oke, aku ambil sandal dulu," ucapnya seraya berlari ke dalam penginapan.

Arfan bahkan tak sadar Vino keluar dengan keadaan nyeker. Ia terlalu bersemangat hingga tak memperhatikan keadaan sahabatnya itu.

Tak berapa lama Vino keluar lengkap dengan sandal gunung miliknya. "Yok, berangkat!" seru Vino bersemangat.

Keduanya melangkah bersama menuju tepi pantai seraya menikmati deburan ombak serta indahnya matahari terbit.

"Di sini bener-bener keren, ya? Enggak sia-sia ngabisin liburan di sini," ucap Vino tanpa melepaskan pandangannya pada indahnya lautan.

"Iya. Eh, kita ke sana, yuk! Kayanya seger di sana," ucap Arfan sembari menunjuk pegunungan di samping lautan yang terlihat hijau membuat siapa pun yang memandangnya ingin segera menikmati segarnya pemandangan.

"Siapa yang duluan sampai sana, dia yang menang. Yang kalah, wajib traktir bakso!" seru Vino seraya berlari menuju pegunungan kecil itu.

"Curang!" pekik Arfan tak terima.

Kedua pemuda itu berlari hingga tiba di sisi hutan pinggir pantai. Napas keduanya pun memburu, mereka duduk di atas pasir untuk menetralkan pernapasannya sembari melihat pepohonan rindang.

"Arfan! Lihat, ada terowongan di situ!" seru Vino menunjuk sebuah terowongan yang sudah terlihat tua di balik rimbunnya pepohonan. "Ayo, ke sana," ajaknya seraya menarik tangan Arfan.

"Tapi, nanti ada--" 

"Udahlah, ada aku. Pasti mereka enggak berani deketin kamu," ujar Vino memaksa karena Vino pun tahu jika Arfan memiliki kepekaan.

"Oke, oke. Aku di luar, aja, ya," pinta Arfan mengiba.

"Serah kamu, dah."

Perlahan, keduanya mendekat ke arah terowongan tua yang dipenuhi dengan rerumputan liar. Semak belukar menyulitkan langkah kami, tetapi itu menyurutkan semangat Vino untuk memasuki terowongan itu.

Tak berapa lama, mereka pun sampai di depan terowongan tua yang di kelilingi oleh pepohonan rindang di kaki pegunungan kecil itu.

Suasana gelap nan menyeramkan tentu membuat siapa pun yang berada di sana akan ketakutan, terlebih aura kental nan suram pun begitu terasa, walau hanya dari bibir terowongan saja. Arfan merasa takut, tetapi tidak dengan Vino yang terlihat penasaran dengan terowongan itu.

"Mau masuk sekarang?" tanya Vino.

"Tidak, aku ingin melihat terlebih dahulu," jawab Arfan.

"Aku juga mau lihat-lihat dulu deh," ujar Vino sembari berjalan ke arah bibir terowongan itu.

Namun, tiba-tiba saja, Arfan merasa ada yang aneh di sekitar pegunungan ini. Ia kembali menoleh ke arah belakang, terlihat Vino yang masih berada di mulut terowongan.

"Vino! Ngapain, sih? Ayo, ke sini! Kalau enggak, aku tinggal, nih!" ancam Arfan agar pemuda itu segera pergi dari sana karena perasaannya mengatakan bahwa ada sesuatu yang besar tengah mengintai dirinya.

Namun, Vino tak menjawab panggilan dari pemuda itu. Manik matanya masih mengarah ke dalam terowongan tua itu. Perlahan, Vino mulai melangkah masuk ke dalam terowongan.

"Vino! Jangan!" perintah Arfan seraya berlari sekencang-kencangnya, ia berusaha untuk mencegah Vino karena ia tahu, bahwa ada yang tidak beres dengan terowongan ini. Namun, terlambat. Vino tak mendengar perintah Arfan dan tetap berjalan hingga kini tubuhnya menghilang di telan gelapnya terowongan tua itu.

"Vin! Vino! Ayo, keluar!" teriak Arfan di mulut gua, tetapi tak ada jawaban dari Vino. 

Pemuda itu pun memberanikan diri untuk mencari sahabatnya ke dalam terowongan gelap. Seketika jantungnya berdegup kencang ketika merasakan aura asing yang terasa mengawasi sedari tadi.

Langkah demi langkah terasa amat berat, aura suram nan kelam terasa sangat kental di tempat ini. 

Semakin lama, langkahnya semakin melambat, sedangkan ia merasa bahwa tubuhnya seakan-akan bergetar menahan rasa takut ketika melihat gelapnya terowongan. Terlebih, sedari tadi bayangan halus melintas di sekitar sini.

Sepanjang perjalanan melintasi lorong terowongan, hanya ada kegelapan yang terlihat. Sementara itu, terowongan ini sangat panjang dan kini ia mulai kesulitan melihat keadaan karena tak adanya penerangan.

Wush!

Sebuah bayangan hitam dengan energi yang sangat kuat melintas dengan cepat ke arah Arfan, hingga pemuda itu pun terjatuh karena terkejut. Deru napasnya terdengar, sedangkan jantung semakin cepat berdetak. Rasa takut telah mendominasi dirinya.

"Sial! Tanganku tak sengaja menyentuh dinding terowongan penuh lumut," rutuknya dalam hati.

Seketika, manik mata Arfan berubah menjadi hitam seluruhnya. Rasa panas terasa di sekitar kepala pemuda itu, sedangkan asap berwarna merah ikut menyelimuti tubuhnya, itu semua adalah tanda bahwa jiwa Arfan telah berpindah ke dimensi lain. 

Arfan melihat sebuah kilatan cahaya yang begitu menyilaukan hingga ia pun menutup mata. Cukup lama ia terpejam, sesuatu mengusik benaknya hingga ia memutuskan untuk membuka matanya secara perlahan.

Hening. Tak ada suara, di depannya hanyalah dimensi abstrak yang masih belum jelas keberadaannya. Kian lama, semuanya menjadi semakin jelas.

"Di mana ini?" tanya Arfan kebingungan.

Secercah cahaya mulai mendekat. Kini, terlihat jelas beberapa orang yang tengah diikat pada sebuah tiang kayu. Tubuh mereka penuh luka, tetapi beberapa orang menggunakan seragam tentara tetap mencambuki mereka tanpa henti.

Tak berapa lama, Arfan mulai mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Saat ini, ia tengah melihat kilasan masa lalu yang tersimpan di dalam terowongan itu.

"Tolong bebaskan anakku!" jerit seorang Ibu yang melihat anaknya dicambuki oleh para tentara itu.

"Diam kamu! Atau kamu mau seperti anakmu!" bentak seorang tentara.

"Jangan! Lepaskan anakku! Biarkan kami bebas!" teriaknya lagi seraya bersujud pada tentara tadi. Namun, semuanya sia-sia. Tentara tadi tak mengabulkan permintaan dari sang Ibu.

"Banyak omong kamu!" serunya seraya menendang tubuh Ibu tadi hingga terjengkang ke arah belakang. Darah seketika mengalir dari pelipisnya akibat tendangan tentara itu.

"Bunuh saja dia! Aku tak butuh orang-orang lemah seperti itu!" perintah pemimpin dari para tentara penjajah ini. Manik matanya menatap tajam ke arah seorang Ibu yang tengah berjuang demi keselamatan buah hatinya. Pemimpin itu menyeringai ketika mendengar tangisan sang Ibu, suara rintih para pekerja paksa itu bagaikan alunan merdu di telinganya. Sungguh, hatinya telah mati akan tangis seorang wanita.

"Baik, Pak. Saya akan melaksanakan perintah," jawab tentara tadi seraya mendekat dengan membawa sebuah kapak.

"Ampun, bebaskan kami," pinta sang Ibu lagi. 

Namun, semua itu sia-sia, tak ada gunakan meminta belas kasihan pada iblis yang berkedok sebagai manusia.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status