Share

Terowongan Tua

Tanpa belas kasih, tentara itu mengangkat kapak setinggi mungkin, dan tak lama kapak itu dengan cepat melesat ke arah leher sang Ibu.

Craat!

Dalam seperkian detik, kepala sang Ibu terpisah dari tubuhnya. Darah segar mengucur deras dari tubuh dan kepala hingga cipratan darah mengenai dinding terowongan yang masih dalam proses pembangunan. Manik mata sang Ibu membelalak, rasa sakitnya kini telah berakhir, sang Ibu meregang nyawa demi memperjuangkan kebebasan buah hatinya, tetapi itu semua sia-sia.

Tawa menggelegar dari sang pemimpin yang terlihat sangat puas ketika melihat darah berceceran di sana sini dengan potongan tubuh yang kini tak utuh lagi.

Suara Arfan seakan-akan tersekat, deru napasnya berhenti sejenak, begitu juga dengan denyut nadi yang terasa terhenti ketika melihat kejadian masa lalu yang begitu mengerikan.

Kaki pemuda itu sontak berjalan mundur tanpa perintah. Pemandangan di hadapannya ini adalah yang terburuk dari semua kilasan waktu. "Mama, Papa, tolong aku," doa Arfan sembari mengeratkan jemarinya. 

Rasa takutnya kian menjadi ketika ia merasa aura lain yang sangat kuat berada di sekitar tempat kini ia berada. Manik matanya menatap waspada ke arah sekitar, sontak gadis itu terkejut ketika melihat sesosok makhluk besar muncul dari balik dinding terowongan yang baru setengah jadi.

Tubuh sosok arwah jahat itu semakin membesar dengan bulu-bulu kasar berwarna hitam. Separuh wajahnya hancur, bahkan Arfan tak bisa menyebut itu sebagai wajah lagi. Tetesan darah mengalir bercampur dengan belatung busuk, sedangkan mata merahnya menyiratkan sebuah kebencian yang teramat dalam.

Perlahan, langkah sosok arwah jahat itu semakin mendekat. Suara geraman terdengar, sepanjang kakinya melangkah, darah terus mengikuti jejak kakinya.

"Gggrrrrmmmm ... ma-mati ...."

Napas pemuda itu memburu, sedangkan jantungnya berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Berbagai pertanyaan tanpa jawaban muncul di benak Arfan.

'Di mana aku sekarang? Siapa makhluk ini? Lalu, di mana Vino?'

Suasana semakin suram terasa, aura kental nan jahat terasa dari sosok hitam itu. Sontak Arfan berjalan mundur berusaha untuk menghindar darinya. “Aku harus pergi dari sini,” ujarnya lirih.

Pemuda itu mencoba berlari untuk menghindari makhluk seram tadi. Akan tetapi, ia hanya berlari tanpa tahu ke arah mana kakinya melangkah. Namun, ia hanya mempunyai satu tujuan, yaitu menemukan Lily. 

Derap langkahnya semakin cepat, tetapi kini ia mulai kesulitan melihat keadaan karena kurangnya penerangan. 

Arfan bisa merasakan bahwa saat ia telah dipermainkan oleh para penghuni terowongan seram ini, yang membuat dirinya semakin tersesat dan tak tahu arah untuk kembali pulang.

Bruk!

Sesosok mayat tanpa kepala tiba-tiba saja terjatuh dari atas langit-langit terowongan dan itu berhasil membuat Arfan terkejut hingga hampir tersungkur.

“Aaarrrgghhh!” teriaknya.

Darah terus menciprat dari bekas penggalan kepala yang sudah terpisah dari tubuh, kepala itu tergeletak di atas kerikil terowongan. Tubuh itu hanya terdiam di tempat, tetapi tangannya terus meraba apa yang ada di sekitar.

Arfan berusaha untuk menahan suara agar tak terdengar oleh sosok itu. Jelas, ini sangat menakutkan, terlebih dirinya sangat jarang melihat penampakan.

'Tuhan tolong aku! Keluarkan aku dari sini!' Arfan tak henti berdoa di dalam hati untuk keselamatan dan juga keselamatan sahabat jiwanya.

Secara perlahan, ia pun melangkah mundur, berusaha untuk menghindar dari sosok menyeramkan itu. Berbagai macam pertanyaan muncul di benak sang remaja. 'Bagaimana caranya aku keluar dari sini? Bahkan, sepertinya terowongan ini seperti tak memiliki ujung.'

Harapan seakan-akan pupus ketika tak melihat adanya jalan keluar di sekitarnya. Napas Arfan terengah-engah, sedangkan kakinya terasa sakit karena terus berlari. Namun, sampai saat ini, ia belum bisa menemukan Vino.

"Arfan!" Terdengar suara Vino memanggil dari segala penjuru terowongan.

"Vin! Vino! Di mana kamu, Vino?!" teriak Arfan panik, tetapi tak ada lagi jawaban terdengar.

"Vino! Di mana kamu! Ayo, pulang!" serunya lagi.

Tubuh Arfan melemas akibat terlalu lelah. Ia jatuh bersender di dinding terowongan. Punggung tangannya mengenai dinding kusam itu.

Manik matanya kembali membelalak saat sebuah sinar kembali menerpa dirinya. Ia segera menutup kedua mata. Hening, tak terdengar apa pun. Perlahan Arfan pun membuka matanya. Untuk kesekian kalinya, ia kembali dikejutkan dengan apa yang ada di hadapannya.

Tubuh pemuda itu masih berada di terowongan , tetapi yang ia lihat adalah kilasan waktu yang terjadi puluhan tahun lalu. Kini, Arfan hanya sebagai penonton dalam kilasan waktu itu.

"Tolong!" Suara jerit pilu permintaan tolong seperti memenuhi seisi terowongan ini.

"Tolong!" Suara permintaan tolong silih berganti terdengar. Tangis menggema membuat siapa pun yang mendengarkan akan meneteskan air mata. Bulir air mata menetes dari pelupuk mata Arfan, perasaannya hancur seakan-akan ikut merasakan kepedihan yang pernah terjadi di terowongan ini.

Dalam sekejap mata, pemandangan yang tadinya gelap kini berubah. Terlihat dengan jelas sekumpulan orang yang bekerja secara paksa. Mereka terlihat sangat kurus dan juga kotor.

Langkah mereka melambat, tetesan air mata terus mengalir di pipi mereka. Bahkan, terlihat beberapa orang yang terluka parah, tetapi masih dipaksa untuk mengangkat batu ke arah terowongan yang masih dalam proses pembuatan.

Pemimpin dari tentara itu benar-benar kejam. Dia bahkan tak memedulikan para warga yang terluka akibat perbuatannya. 

Brugh!

Seorang pria paruh baya terjatuh setelah tak kuasa mengangkat sebongkah batu besar.

"Bangun! Cepat bangun dan kerja!" teriak seorang tentara sembari mencambuk pria itu tanpa ampun.

"Tolong, Tuan. Bebaskan saya, saya sudah tidak kuat," pintanya mengiba.

"Bodoh! Kerjakan saja! Kalau kamu sudah tidak kuat, mati saja kau!" teriak pemimpin tentara itu dengan raut wajah menyeringai.

Pria paruh baya itu terlihat pasrah. Sepertinya ia menerima dengan ikhlas jika ia harus mati sekarang, tak ada gunanya lagi meminta pengampunan pada manusia tak punya hati seperti mereka. Pria itu memejamkan mata seakan-akan siap mati saat itu juga.

Sementara itu, tentara tadi mengambil sebuah pedang. "Ini akibatnya kalau kamu membangkang!" serunya seraya menikam jantung pria malang itu. Seketika, darah segar mengucur dari tubuh pria itu.

Perlahan, sang tentara mendorong pedangnya hingga akhirnya menembus punggung pria tak berdaya tadi. Dia pun tertawa seraya mencabut pedangnya dan membiarkan tubuh pria itu tersungkur.

Napas pria itu tersengal, secara perlahan dirinya mengembuskan napas terakhirnya, sedangkan wajah sang pemimpin sama sekali tak menunjukkan reaksi apa pun. Ia seperti sudah sangat terbiasa melihat kematian di depannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status