Dari bandara Ammar langsung meminta sopir mengantarnya menuju rumah Renjana. Seminggu sudah pria itu harus menahan rindu karena berada di luar kota untuk sebuah pekerjaan. Dengan menenteng dua paperbag berisi buah tangan pria dengan wajah tegas itu bergegas turun dari mobil dan melangkah menuju pintu rumah. Tok... Tok... Dengan semangat Ammar mengetuk pintu. Hari ini hari minggu sudah dipastikan Renjana dan putrinya ada di rumah. Pintu terbuka, namun bukan Renjana yang membuka pintu namun asisten rumah tangga. "Ana ada di rumah?" tanyanya. "Ada, silahkan masuk. Sebentar saya panggilkan Mbak Ana." Bibi mempersilahkan Ammar untuk masuk. Setelahnya wanita paruh baya itu berjalan masuk ke dalam. Seperti biasa Ammar langsung mengambil duduk di sofa ruang tamu. Diletakkannya oleh-oleh yang dibawanya diatas meja. Wajahnya nampak lelah namin terlihat cerah. Senyum tipis beberapa menghiasi wajah dengan rahang tegas itu. Tak lama dari dalam terlihat Renjana berjalan kel
"Mas Akmal, yakin nggak mau datang ke pemakaman Mbak Salwa?" tanya Laela pada Akmal. Pria yang sebagian rambutnya sudah mulai memutih itu sedang menemani cucu semata wayangnya menonton televisi di ruang tengah kediamannya. "Tidak. Kalau kau ingin datang, sopir akan mengantarmu," jawabnya tanpa menoleh. Lalela menoleh Renjana yang duduk tak jauh darinya. Namun wanita dengan hijab instan itu hanya menarik nafas panjang. "Ana, kamu juga mau kesana? Gio pasti butuh dukungan kita," kata Laela. Belum juga Renjana menjawab, Akmal kembali menyahut. "Kalau mau pergi, pergilah sendiri. Jangan bawa-bawa Ana," "Seburuk-buruknya sikap Mbak Salwa tapi dia yang membesarkan Ana. Sudah seharusnya Ana mengantarkannya ke peristirahatan terakhirnya," Mendengar ucapan Laela Akmal tertawa. Lalu, dengan lembut diturunkannya Dahayu dari pangkuannya. "Menyiksa Ana maksudmu?" tanyanya dengan suara tenang namun penuh tekanan. "Apa kamu lupa di yang menyuruh orang untuk menghabis* putram
Renjana sedang bersama Kendra saat ponselnya berdering. Dua orang itu sedang berdisku tentang metode belajar mengajar yang ingin diterapkan di sekolah. "Angkatlah dulu, siapa tahu penting." Kendra mempersilahkan untuk Renjana menerima telpon yang entah dari siapa. Renjana mengambil ponsel dari saku bajunyan. Nampak nomor kontak dengan nama Ergio sedang melakukan panggilan suara. "Halo, Assalamualaikum Kak," ucapnya setelah menggeser icon ganggan telpon berwarna hijau. [Ana, maaf aku tidak bisa menjemput Ayu. Sekarang aku di rumah sakit...... Mama meninggal, Ana.] Wajah Renjana langsung pucat. Nampak sekali raut kaget dan bingung. "Mama? Mama Salwa maksud Kak Gio?" [Iya, Mama meninggal Ana.] "Innalillahi..... Kak kirim alamatnya aku ke sana setelah menjemput Ayu,] Telpon pun berakhir, setelahnya masuk sebuah pesan berisi alamat sebuah rumah sakit. "Siapa yang meninggal?" tanya Kendra dengan dahi berkerut. "Mama Salwa," jawab Ana sambil berusaha menetralkan deg
"Ma," panggil Samudra pada Rosa yang duduk sendirian di gazebo taman samping rumah. Istri Maliq Zafier itu menoleh sekilas, lalu kembali mengarahkan pandangannya ke arah tanaman bunga-bunga cantik miliknya. "Tadi pulang dari rumah sakit, aku belikan Mama kue rasa mangga kesukaan Mama." Samudra meletakkan sebuah kota dengan logo toko kue ternama kesukaan Mamanya. Demi makanan berasa manis itu Samudera harus menempuh perjalanan cukup jauh dari rumah sakit tempatnya bekerja. Apalagi di waktu pagi saat lalu lintas sedang ramai-ramainya.Bagkan adik kandung Ammar itu belum sempat mengisi perutnya untuk sarapan. Namun perhatian itu tak ada artinya untuk Rosa. Sakit hatinya tidak bisa disembuhkan hanya dengan sekotak kue. Samudera mendesah berat, ia menyadari jika sudah keterlaluan. Pelan, pria itu mengambil duduk di dekat sang Mama. "Ma," pangilnya sambil menggenggam tangan Rosa. "Aku salah, tolong maafin aku ya Ma..." mohonnya memelas. "Mama boleh pukul atau marahin aku sep
"Apa kamu bilang? hamil?" tanya Ammar. "Kenapa? Jangan bilang kamu masih belum bisa merelakan Raline?" kata Samudra sinis. Ammar tertawa remeh. "Sama sekali tidak," jawabnya. "Kalau kalian saling cinta silahkan. Tapi seingatku wanita yang kamu bawa itu pernah mengatakan kalau dirinya mandul." Raline mengerutkan dahi, berpura-pura bingung. "Tidak," kataya sambil menggelengkan kepala. "Aku tidak pernah aku mandul. Memangnya kapan aku bilang begitu, Mas? Kita bahkan tidak pernah bertemu." Ammar ingin bicara namun diurungkannya. Tidak mungkin menceritakan pertemuannya dengan Raline dingedung kosong itu. Yang ada akan memperkeruh siatuasi. "Ma, itu kan Tante yang datang ke sekolah aku." Ayu menarik lengan baju Renjana sambil menunjuk Raline. "Sssttt... kalau orang dewasa bicara, Ayu diam ya sayang.." bisik Renjana. Samudra tersenyum remeh. "Kenapa? Ayo jawab kapan Raline mengatakan itu?" tantang Samudra. "Maaf, tapi Raline juga pernah mengatakannya padaku?" sahut Renjana. "
"Putriku bukan lagi wanita single yang hanya bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Tapi kini dia seorang ibu yang harus memikirkan perasaan dan masa depan anaknya," ucap Akmal dengan tatapan kecewa pada Laila yang hanya menundukkan kepalanya. Di ruang tengah rumah keluarga Fahrezi itu nampak tiga orang dewasa yang sedang duduk diam sambil berusaha menekan emosi yang bergemuruh di dalam dada. Setelah beberapa menit yang lalu terjadi perdebatan yang menguras emosi saat Renjana hendak berangkat memenuhi undangan makan malam dari Rosa Amalia, mantan mertuanya. Seperti biasanya, Laela akan menggunakan nama almarhum putranya untuk menekan Renjana supaya menuruti permintaannya. "Aku tidak akan lupa sebaik apa almarhum putramu pada Ana dulu. Tapi kamu juga harus ingat seperti apa perjuangan putriku untuk menyembuhkanmu," tambah Akmal yang seketika membuat Laela menoleh. Rahang wanita itu mengeras. Dari tatapan matanya tersirat kemarahan yang tersembunyi dibalik air mata yang su