"Apa kamu akan membatalkan perceraianmu?" tanya Gio saat kaki Renjana baru saja menapaki anak tangga. Wanita itu pun membalikkan tubuhnya. "Tidak," jawabnya yang langsung disambut hembusan nafas lega dari mulut Gio. "Baguslah. Ternyata kamu tidak selemah yang aku pikirkan," pujinya sambil tersenyum. Gio yang sebelumnya berdiri langsung melangkah ke arah sofa tengah lalu mendudukkan dirinya di sana. "Tukang selingkuh seperti dia harus kamu buang jauh-jauh dari hidupmu," Satu alis Renjana terangkat, dari mana kakak sambungnya itu tahu. Bertahun-tahun pria itu tinggal di luar negeri. Ah... pasti ibu kandung dari pria itu yang memberi tahu. "Mereka tidak selingkuh. Mereka sudah menjalin hubungan jauh sebelum Mas Ammar menikah denganku," "Apa aku tidak salah dengar, Ana? Kamu membela mereka? Orang-orang yang sudah mengkhianati dan menipumu secara terang-terangan?" Gio menatap adiknya itu dengan tatapan tak percaya. "Memangnya hubungan apa yang bisa mengalahkan sakralnya ik
Ammar langsung berdiri saat pintu rumah terbuka dari dalam. Sebuah senyum tipis muncul dibibir pria itu saat sesosok wanita ber-piyama panjang berjalan mendekatinya yang diminta menunggu di kursi teras. "Malam Ana," sapanya menarik kedua sudut bibirnya melengkung. "Malam," jawab Renjana sambil memandang pria yang wajahnya nampak kusut dan lelah. Baru akan menyuruh duduk, tapi sebuah deheman terdengar dari belakangnya. "Khem... khem...." Saat Renjana menoleh, sang kaka sudah berdiri sambil melipat tangan di dada. Wanita itu mendesah berat lalu mengangkat satu alisnya. "Papa berpesan padaku untuk menjagamu," ucap Gio, mengerti arti tatapan sang adik. "Ana, aku ingin bicara berdua saja." Ammar bersuara, mengutarakan keberatannya atas kehadiran Gio. "Aku kakak kandung Ana. Wajib bagiku melindunginya dari semua pria brengs*k yang tak bisa menjaga kesetiannya," sahut Gio menyindir. Merasa tersindir, Ammar mengepalkan kedua tangannya. Kalau saja tidak ada hal penting la
Pagi ini Renjana menolak untuk sarapan pagi di ruang makan. Dia mengurung diri di kamarnya. Menolak membuka pintu bahkan saat Akmal sendiri yang mengetuk pintu kamarnya. Renjana yang biasanya memiliki hati yang lapang, mudah memaafkan orang yang telah menyakitinya namun kali ini hatinya terlalu sakit hingga sulit untuk mengikhlaskan apa yang terjadi pada ibunya. Tak hanya Renjana, siapapun pasti akan sakit hati jika berada di posisinya saat ini. Lahir dari hasil perbuatan bejat seorang pria. Ibunya mengalami depresi dan meninggal saat melahirkannya. Rasa sesak dan nyeri di dadanya akan tiba-tiba muncul saat melihat wajah papanya. Darahnya juga terasa mendidih ketika teringat cerita Maliq tentang nasib malang sang Mama. "Ana," Suara Gio tertedengar dari balik pintu. "Ini aku, Gio. Papa sudah berangkat kerja," Renjana bergeming. Gadis itu duduk memeluk kakinya di atas sofa kamar dengan tatapan keluar jendela. "Ana, Papa khawatir sama kamu. Kalau ada masalah jangan diam
"Papa Maliq?" Renjana menghentikan langkahnya, mendadak tubuh terpaku di tempat karena kaget. "Ana?" Tak berbeda, Maliq juga nampak kaget. Pria itu tak menduga akan bertemu dengan Renjana di tempat itu. "Sedang apa Papa Maliq di sini?" tanya Renjana dengan dahi yang berkerut. "Apa Papa yang membawakan mawar putih itu?" tanyanya lagi sambil melirik seikat mawar putih yang tergeletak di atas makam Mamanya. Maliq terdiam sebentar, sebelum akhirnya bangkit lalu melangkah mendekati Renjana. "Bukan, itu Papamu yang membawanya. Tadi aku sempat bertemunya dengannya di depan." Gadis itu tertegun beberapa detik. Teringat saat pertama datang ke makam mamanya, seorang pengurus makam mengatakan, setiap tiga hari sekali ada yang datang membawa seikat bunga mawar putih dan mengambil yang sudah layu. Benarkah itu papanya? Secinta itukah pria itu pada istri keduanya? Istri yang keberadaannya disembunyikan. Tak sampai satu menit, gadis itu pun tersadar lalu mengangkat memandang ke a
"Kamu mau pergi?" tanya Akmal pada Renjana. Putrinya itu terlihat sudah rapi. "Iya Pa," jawa Renjana singkat. "Mau kemana?" tanya Gio. Sejak kedatangannya pria itu seperti sedang berusaha mendekatkan diri dengan Renjana. Saat ini tiga orang itu sedang duduk di meja makan. Sementara Salwa masih mengurung diri di kamar. Pertengkaran kemarin malam yang berakhir dengan talak yang diucapkan Akmal tak wanita itu pergi. Dia kekeh menolak diceraikan oleh Akmal. baru saja datang dan mengambil duduk di sebelah kanan Akmal. "Mau ketemu teman," jawab Renjana. "Mau barengan, aku juga mau keluar." "Nggak usah, makasih. Saya naik taksi online saja," tolak Renjana. Jujur, ada rasa takut dan segan pada Gio. Meski saudara dan bertahun-tahun tingga satu atap. Tapi mereka tidak dekat. Sejak kecil Gio selalu memusuhinya. Sampai lima tahun lalu tiba-tiba Gio memutuskan untuk melanjutkan kuliah keluar negeri dan tak sekalipun pulang. "Oh... ok." Wajah Gio tampak kecewa. "Bareng Pa
Sejak Renjana kembali pulang ke rumah, Akmal memperlakukan putri bungsunya itu dengan sangat baik layaknya seorang putri. Kemana-mana diantar sopir bahkan kadang dirinya sendiri yang mengantar. Sekarang dengan terang-terangan suami Salwa itu menunjukkan perhatian dan kasih sayangnya pada Renjana. Tak peduli jika harus berdebat dan berujung pertengkaran dengan Salwa, istrinya. Akmal bahkan membuat peraturan baru, semua pelayan harus patuh dan melayani Renjana. Dan semua perintah Salwa tidak berlaku. Jika sampai ada yang ketahuan mematuhi Salwa akan langsung dipecat. Pelayan juga dilarang menghidangkan makanan jika Renjana tidak ikut makan. Salwa sempat protes tidak terima namun Akmal tak peduli. Dia bahkan meminta istrinya itu keluar dari rumahnya jika tidak bisa mematuhi ucapannya. "Jika kamu tak mau mematuhi peraturanku, pintu rumah ini terbuka lebar untuk kamu pergi. Aku akan sangat senang jika kamu pergi sekarang tanpa menunggu aku menceriakanmu," Salwa langsung diam dan b
"Pagi, Tuan." Dua orang suruhan Akmal datang, membawa satu kardus dan satu koper berukuran sedang. "Ini barang-barang Nona Ana," katanya lagi. Seperti ucapannya kemarin pagi- pagi sekali Akmal. sudah mengirim orangnya untuk mengambil barang-barang putrinya dari rumah Oma Rumana. "Kalian pergilah," perintah Akmal bangkit dari duduknya, mengambil kotak dan koper itu lalu membawanya naik ke kamar Renjana. Renjana tampak kaget saat melihat papanya sendiri yang membawakan barang-barangnya. "Hari ini kamu sidang skripsi kan, karena itu Papa suruh orang ambilnya subuh tadi. Takut ada buku yang kamu butuhkan." "Terima kasih. Maaf merepotkan." Renjana merasa sungkan. "Tidak apa-apa, periksalah apa ada yang kurang." Akmal meletakan Koper dan kardus itu diatas tempat tidur. "Ambilkan gunting," suruhnya yang langsung dilakukan oleh Renjana. "Jam berapa sidang skripsinya?" tanya Akmal sambil menggunting lakban kardus. "Jam setengah sepuluh. Nanti berangkatnya jam setengah
"Ana, bisa jelaskan apa maksud ucapanmu tadi?" tanya Oma Rumana pada Renjana yang hanya menundukkan kepalanya. Saat ini dua keluarga sedang berkumpul di ruang tengah. Oma Rumana duduk di sofa single. Ammar dan Maliq juga Samudra di sofa yang sama. Begitu juga Salwa dan Akmal duduk di satu sofa panjang. Sedang Renjana duduk bersama Rosa. Merasa tidak tega, sejak tadi istri Maliq itu memilih duduk di samping menantunya. Digenggamnya tangan Renjana begitu eratnya. "Jawablah Ana! Ada apa sebenarnya?" Oma kembali bertanya. Sudah lima menit Renjana hanya menundukkan kepalanya dengan bibir terkatup rapat. Ada rasa ragu perlahan merayap di hatinya. Ia takut akan mengecewakan Oma Rumana.Namun untuk bertahan ia sudah tak sanggup. Dia tak ingin lagi jadi orang ketiga dalam kisah cinta sahabatnya sendiri. "Dia hanya berusaha menutupi kesalahan putra kalian," sahut Salwa yang memang belum rela Renjana keluar dari keluarga Zafier. Masih ada beberapa tujuan yang ingin diwujudkanny
"Karena saya mandul," Duarrrr....... Bagai petir menyambar di siang bolong, ucapan Renjana membuat semua orang terkejut. "Ana, kamu bicara apa? Kamu sedang bercanda kan?" bisik Ammar mengeratkan tangannya di lengan wanita itu. "Saya serius," kata Renjana tanpa mengalihkan tatapannya dari Oma Rumana. Brakkk.... Salwa menggebrak meja. Istri Akmal itu bangkit dari duduknya lalu mendekati Renjana. "Ikut denganku!!" katanya sambil menarik paksa tangan Renjana sampai pegangan tangan Ammar terlepas. Salwa menarik Renjana dan membawanya ke teras depan. Mencari tempat sepi untuk memarahi anak tirinya itu. Merasa khawatir, Ammar langsung bangkit dan menyusul. Begitu juga Samudra, namun saat hendak ikut menyusul di tahan oleh Maliq. "Biar Ammar saja," "Nggak bisa Pa," bantah Samudra, melepas tangan papanya lalu menyusul. Di teras Salwa menghempas tangan Renjana sampai membuat gadis itu terdorong dan terjatuh di lantai. "Beraninya kamu mengambil keputusan tanpa meminta