Share

Kecurigaan Alicia

Author: Merry
last update Last Updated: 2024-12-17 16:28:56

Karina duduk di atas sofa kecil di sudut apartemennya, menatap layar ponsel yang kini gelap. Pesan terakhir itu masih terngiang di kepalanya. Waktumu akan habis, dan aku akan memastikan hidupmu hancur. Siapa pun pengirimnya, orang itu jelas tahu lebih banyak dari yang seharusnya. Tapi kenapa dia diancam? Dan kenapa sekarang, saat ia mencoba bangkit dari keterpurukan?

Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya. Tangannya mengusap lembut perutnya yang mulai sedikit membesar. “Aku nggak akan biarin siapa pun ganggu kita,” gumamnya pelan, lebih seperti janji pada dirinya sendiri.

Namun, di balik tekadnya, ada rasa takut yang tak bisa ia usir begitu saja.

 

Alicia berdiri di depan cermin besar di kamar utama, membiarkan jari-jarinya menyusuri permukaan kulit wajahnya yang mulus. Wajah itu sempurna, dan ia tahu itu. Setiap sudutnya dipoles dengan hati-hati oleh tim profesional yang ia bayar mahal. Namun, ada sesuatu yang mengganggu pikirannya malam itu. Sesuatu tentang Adrian.

Pria itu telah berubah. Sudah berhari-hari mereka hampir tidak berbicara, kecuali basa-basi singkat saat mereka bertemu di meja makan atau di pintu. Adrian selalu sibuk, atau itulah yang selalu ia katakan. Namun, Alicia bukan orang bodoh. Ia tahu ketika seorang pria mulai menjauh. 

“Dia nggak mungkin punya waktu untuk orang lain,” gumamnya sambil melipat kedua lengannya di dada. 

Namun, semakin ia mencoba meyakinkan dirinya sendiri, semakin besar rasa curiganya. Pria seperti Adrian, yang keras kepala dan ambisius, tidak akan berubah tanpa alasan. Ia memalingkan wajahnya dari cermin dan berjalan menuju pintu kamar.

---

Adrian duduk di ruang kerjanya, menatap layar komputer yang penuh dengan angka dan laporan. Ia menghela napas panjang, merasa beban itu semakin berat. Di luar pintu, ia mendengar langkah kaki Alicia. Perempuan itu sudah beberapa kali mondar-mandir malam ini, seperti mencari alasan untuk mendekatinya.

Ketukan lembut di pintu memecah lamunannya. “Adrian, kamu masih sibuk?”

Adrian menutup layar komputernya dengan satu klik cepat sebelum menjawab, “Iya, ada beberapa laporan yang harus aku selesaikan.”

Pintu terbuka, memperlihatkan Alicia dengan gaun satin biru yang mengalir indah di tubuhnya. “Kamu nggak pernah punya waktu lagi untuk aku. Apa ada sesuatu yang aku nggak tahu?”

Adrian menatapnya sebentar, mencoba menilai apa maksud pertanyaannya. “Aku cuma sibuk, Alicia. Perusahaan ini nggak jalan sendiri.”

“Aku ngerti kamu sibuk,” jawabnya sambil berjalan mendekat. “Tapi aku bukan orang asing, Adrian. Aku ini istrimu.”

Nada suaranya menyiratkan rasa tidak puas, tapi Adrian memilih untuk tidak merespon. Ia sudah tahu ke mana arah percakapan ini akan berakhir.

“Kamu menghindar dariku,” lanjut Alicia, matanya menatap Adrian penuh selidik. “Apa ada orang lain?”

Adrian mendongak dengan alis terangkat. “Kamu serius? Alicia, aku nggak punya waktu untuk drama ini.”

“Ini bukan drama. Aku tahu kamu berubah.”

Adrian berdiri, melangkah ke sisi meja kerjanya. Ia mendekat, suaranya menjadi lebih tenang, tapi dingin. “Aku nggak berubah. Kamu yang terlalu sibuk mencari kesalahan.”

Tatapan mereka bertemu, tapi hanya sesaat sebelum Adrian berjalan keluar dari ruangan, meninggalkan Alicia sendirian. 

Di belakang pintu tertutup, Alicia mengepalkan tangannya. Apa pun yang sedang terjadi, ia bertekad untuk mencari tahu.

---

Sementara itu, di sebuah kafe kecil di sudut kota, Vera duduk di depan Daniel. Pria itu tampak gelisah, matanya terus melirik pintu masuk seolah takut ada yang melihat mereka. Namun, Vera tampak santai, bahkan sedikit menikmati situasi ini.

“Kamu nggak perlu setegang itu,” ujar Vera sambil menyeruput cappuccino-nya. “Nggak ada yang peduli kita di sini.”

Daniel menggeleng. “Kamu nggak ngerti. Kalau Karina tahu—”

“Karina?” Vera tertawa kecil, nadanya penuh ejekan. “Dia bahkan nggak mau lihat muka kamu lagi. Percayalah, aku lebih tahu dia daripada kamu.”

Daniel menunduk, merasa kata-kata Vera seperti tamparan. Ia tahu ia salah, tapi rasa bersalah itu tidak mengubah apa pun. 

“Aku cuma nggak ngerti, Vera. Kenapa kamu harus hancurin hubungan kami? Aku pikir kamu temannya.”

“Teman?” Vera mendengus, menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Kamu nggak tahu cerita lengkapnya, Daniel.”

Daniel mengerutkan kening, kebingungan. “Apa maksudmu?”

Vera menatapnya, senyumnya memudar. Untuk sesaat, ada bayangan luka di matanya, tapi ia segera menyembunyikannya. “Karina itu terlihat sempurna karena apa yang ia miliki. Dia selalu dapat yang terbaik. Kehidupan yang sempurna. Orang tua yang mencintainya. Kesempatan yang aku nggak pernah punya.”

Daniel terdiam. Ada kepahitan dalam suara Vera yang membuatnya merasa lebih tidak nyaman. 

“Jadi, ini soal iri?” tanyanya akhirnya.

“Ini soal keadilan,” jawab Vera dengan suara pelan tapi tegas. “Karina udah punya segalanya. Dan aku? Aku cuma figuran di hidupnya. Jadi, aku ambil sesuatu darinya. Sesuatu yang penting.”

Daniel terdiam lama, menyadari bahwa ia telah menjadi bagian dari rencana Vera yang jauh lebih dalam dari yang ia kira.

---

Kembali ke kantor, Karina sedang memindahkan dokumen dari satu meja ke meja lain saat ia mendengar suara Adrian memanggilnya.

“Nona Karina, Anda punya waktu sebentar?”

Karina mengangguk, mengikuti Adrian ke ruangannya. Ia merasa jantungnya berdebar setiap kali berada di dekat pria itu, tapi ia mencoba tetap tenang.

Di dalam ruangannya, Adrian menatap Karina dengan sorot mata yang sulit diartikan. Ada sesuatu yang ingin ia katakan, tapi ia tampak ragu. 

“Ada apa, Pak?” Karina memecah keheningan.

Adrian mendesah, kemudian duduk di kursi kerjanya. “Saya cuma ingin memastikan, Anda merasa nyaman bekerja di sini?”

Pertanyaannya terdengar sederhana, tapi cara ia mengucapkannya membuat Karina bingung. “Tentu, Pak. Kenapa Bapak tanya begitu?”

Adrian mengangguk pelan, lalu menatapnya lagi. “Nggak ada alasan khusus. Saya cuma ingin tahu.”

Keheningan kembali mengisi ruangan. Karina merasa aneh dengan sikap Adrian malam itu, tapi ia memilih untuk tidak bertanya lebih jauh. 

“Saya harap Anda bisa tetap fokus. Proyek ini penting,” tambah Adrian sebelum Karina pergi.

Karina hanya mengangguk, merasa ada sesuatu yang tersembunyi di balik kata-katanya, tapi ia tidak tahu apa.

---

Malam harinya, saat Adrian tiba di rumah, ia mendapati Alicia duduk di ruang tamu, menunggu. Wajahnya menunjukkan bahwa ia belum selesai dengan percakapan mereka sebelumnya.

“Kita harus bicara,” ujarnya tegas.

Adrian menghela napas. “Alicia, aku capek. Kita bisa bahas ini besok.”

“Tidak. Kita bahas sekarang.” Alicia berdiri, mendekatinya. “Aku tahu ada sesuatu yang kamu sembunyikan, Adrian. Jadi, katakan padaku sekarang.”

Adrian menatapnya, rasa lelah bercampur dengan frustrasi. “Aku nggak sembunyikan apa-apa. Ini cuma imajinasi kamu.”

Alicia mendekat, matanya tajam. “Imajinasi? Kalau begitu, kenapa kamu terlihat … berbeda? Kenapa kamu menghindar dariku?”

Adrian terdiam, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Tapi sebelum ia bisa menjawab, Alicia melanjutkan, “Apa kamu tertarik pada orang lain di kantor?”

Pertanyaan itu membuat Adrian terkejut, meski ia berusaha menyembunyikannya. “Kamu berlebihan, Alicia.”

“Jawab aku,” desak Alicia. “Apa aku harus cari tahu sendiri?”

Adrian tidak menjawab, memilih untuk berjalan ke arah tangga. Tapi langkahnya terhenti saat Alicia berkata, “Aku akan cari tahu, Adrian. Dan aku pastikan, siapa pun dia, dia nggak akan menghancurkan pernikahan ini.”

Tatapan Adrian menegang, tapi ia tidak menoleh. Ia melanjutkan langkahnya, meninggalkan Alicia yang masih berdiri dengan penuh kemarahan di ruang tamu.

Di balik kemarahan Alicia, ada ketakutan besar—takut kehilangan kendali atas sesuatu yang selalu ia anggap miliknya. 

---

Sementara itu, di apartemennya, Karina kembali menerima pesan dari nomor yang sama. Kali ini, isinya lebih singkat, tapi lebih mengerikan.

“Aku sudah dekat.”

Karina merasa tubuhnya dingin. Ia memandang ke sekeliling apartemennya, merasa diawasi. Namun, tidak ada siapa pun. Dengan tangan gemetar, ia mengunci semua pintu dan jendela, mencoba menenangkan dirinya.

Namun, di luar sana, seseorang memang sedang memperhatikannya. Vera berdiri di bawah bayang-bayang gedung, tersenyum kecil sambil memandang ke arah apartemen Karina. “Kita lihat, Karina. Seberapa kuat kamu bertahan.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terpaksa Jadi Ibu Surogasi   Harapan Baru

    Adrian menghela napas berat setelah telepon itu terputus. Wajahnya yang tadi tenang kini berubah tegang. Ia menatap layar ponselnya dengan alis berkerut, jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja kecil di sebelahnya.“Ada apa? Siapa yang telepon?” tanya Karina, yang kini berdiri di sampingnya. Suaranya lembut, tapi penuh kekhawatiran.Adrian menoleh, mencoba menenangkan dirinya sendiri sebelum menjawab. “Aku tidak tahu siapa,” ucapnya singkat. “Tapi orang itu sempat menyebut nama Jonathan, sayangnya sebelum dia sempat jelasin, sinyalnya terputus.”Karina mengerutkan kening. "Ada apa lagi dengan Jonathan?"“Aku juga nggak tahu,” jawab Adrian sambil menekan tombol panggil ulang di ponselnya. Tapi telepon itu ternyata tidak tersambung. Adrian memijat pelipisnya, jelas sekali ia merasa frustrasi.“Kamu yakin ini soal Jonathan? Mungkin dia cuma bikin drama lagi? Terlebih kan sekarang dia sudah ditahan?” tanya Karina, mencoba meringankan suasana. Tapi dalam hatinya, ia pun tidak bisa menyangkal kal

  • Terpaksa Jadi Ibu Surogasi   Kemenangan Adrian

    Pikirannya kembali pada ancaman Jonathan. Meskipun ia ingin mengabaikannya, kata-kata pria itu terus terngiang di kepalanya. Ia berjalan ke jendela, menatap ke luar dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Ini belum selesai," gumamnya pada dirinya sendiri. "Aku harus tetap waspada." Dan di luar sana, di bawah cahaya lampu jalan yang redup, seseorang berdiri, memperhatikan apartemen Karina dengan tatapan yang sulit dijelaskan.---Adrian menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang masih penuh gejolak. Kemenangan memang sudah di depan mata, tapi apa artinya jika ia terus merasa tidak tenang? Jonathan jelas bukan tipe orang yang mudah menyerah. Dia licik, manipulatif, dan lebih dari segalanya, ambisius. Adrian tahu, satu kesalahan kecil saja bisa membuat posisinya hancur. Namun pikirannya segera teralihkan oleh suara dari belakang. Langkah kaki kecil yang pelan tapi jelas mendekat. “Adrian?” Suara lembut Karina memanggilnya. Adrian berbalik, mendapati Karina berd

  • Terpaksa Jadi Ibu Surogasi   Jatuhnya Jonathan

    Adrian masih duduk di kursinya, tatapannya kosong menatap dokumen-dokumen di atas meja. Kata-kata Alicia terus berputar di kepalanya, seolah ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi di belakang layar. Ia mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba mengusir rasa lelah yang kian menumpuk. Tapi otaknya tak mau berhenti bekerja. "Kalau ini benar ...." gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan. Ia mengangkat telepon di mejanya, jarinya mengetik nomor seseorang yang sudah dihafalnya luar kepala. "Halo?" suara pria di seberang terdengar tegas. "Kita harus bicara. Sekarang," ujar Adrian, singkat tapi penuh tekanan. "Ada apa lagi? Apa kau ingin menyerah?" "Kalau kau penasaran, datanglah!"Hening sejenak di ujung sana, sebelum suara pria itu terdengar lagi, kali ini lebih serius. "Oke, aku datang." ---Tak lama kemudian, pintu ruang kerja Adrian terbuka. Jonathan, sepupunya, melangkah masuk dengan senyum kecil di wajahnya. Tapi ada sesuatu di balik senyum itu yang membuat Adrian semak

  • Terpaksa Jadi Ibu Surogasi   Strategi Terakhir

    Alicia masih berdiri di depan jendela kamar, menatap ke luar dengan pandangan kosong. Ponselnya yang tadi dilempar ke tempat tidur kini bergetar lagi, mengganggu kesunyian ruangan. Kali ini dia tidak berniat untuk mengecek pesan itu lagi. Dia sudah tahu siapa pengirimnya—Jonathan. Ancaman yang dia terima tadi masih terngiang jelas di pikirannya. "Apa yang harus aku lakukan sekarang?" gumam Alicia pada dirinya sendiri, suaranya nyaris seperti bisikan. Langkah kakinya terdengar pelan saat ia berjalan ke sudut ruangan, mengambil koper besar yang sudah lama tidak ia sentuh. Tangannya gemetar saat membuka resleting koper itu, namun kali ini ia sudah memutuskan. Sementara itu, di ruang kerja besar Adrian yang penuh dengan rak-rak buku dan meja kerja kayu mahoni yang kokoh, Karina duduk di depan Adrian dengan ekspresi serius. Di tangannya, ada tumpukan dokumen yang baru saja ia serahkan pada pria itu. "Ini semua bukti yang kita punya," ucap Karina, suaranya tegas. "Aku udah cek semua

  • Terpaksa Jadi Ibu Surogasi   Akhir Sekutu Lama

    Karina masih berdiri di depan ruangan, menatap Kakek Adrian yang baru saja mengucapkan kata-kata yang membuat seluruh ruangan membisu. “Aku sudah membuat keputusan,” katanya lagi, perlahan, dengan nada penuh wibawa. Adrian duduk dengan tenang, meski matanya tak lepas dari Karina. Di sebelahnya, Jonathan tampak gelisah, tangannya mengepal di atas meja, seolah menunggu sesuatu yang buruk akan terjadi. Di sisi lain ruangan, Alicia berdiri di sudut, wajahnya kaku dan pucat, seperti menyadari bahwa ini adalah titik balik dari semuanya."Karina," suara Kakek Adrian memecahkan keheningan. "Presentasimu meyakinkan. Aku suka caramu berpikir. Kau memiliki visi yang jelas tentang masa depan perusahaan ini. Tapi ..." Suaranya menggantung, membuat udara di ruangan semakin tegang.Karina menghela napas pelan. Ia tahu, ini belum selesai."Aku ingin waktu untuk mempertimbangkan lebih jauh," lanjut Kakek Adrian. "Tapi aku mengapresiasi usahamu. Adrian, Jonathan, aku ingin kalian tetap profesional. Ki

  • Terpaksa Jadi Ibu Surogasi   Titik Balik Kakek Adrian

    Langkah Adrian dan Karina terhenti di depan pintu ruang baca. Karina menggenggam tasnya erat-erat, perasaan gugup merayap di tubuhnya. Ia tahu betul bahwa ini adalah momen besar yang akan menentukan segalanya—bukan hanya untuk Adrian, tapi juga untuk Reyna, anak yang kini menjadi pusat dunia barunya.Adrian melirik Karina sekilas, lalu berkata pelan, "Tenang saja. Aku ada di sini."Karina hanya mengangguk kecil. Tapi sebelum Adrian sempat mengetuk pintu, suara langkah kaki terdengar dari arah tangga. Jonathan muncul. Wajah datarnya tak mampu menyembunyikan sorot mata penuh kewaspadaan."Oh, kalian di sini?" katanya dingin, matanya bergantian menatap Adrian dan Karina. "Aku rasa aku tahu apa yang kalian bawa."Adrian berdiri tegap, tak menghindari tatapan Jonathan sama sekali. "Bagus kalau begitu," jawabnya dengan nada datar yang tak kalah tajam. "Kita nggak perlu basa-basi."Jonathan tertawa kecil, seperti mengejek. "Kau memang selalu terburu-buru, Adrian. Tapi jangan lupa, Kakek tak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status