Pagi itu, Karina memulai harinya dengan rutinitas baru di kantor. Setelah semua yang terjadi dalam hidupnya, pekerjaan ini menjadi tempat pelarian yang menenangkan. Ia menikmati kesibukan, merasa terbantu untuk melupakan sejenak semua luka dan rahasia yang ia simpan.
Namun, ada hal yang tak bisa ia abaikan. Kehadiran Adrian, bosnya, selalu menciptakan perasaan aneh yang ia sendiri sulit jelaskan. Pria itu, dengan sikapnya yang dingin namun karismatik, membuat Karina sulit membaca apa yang sebenarnya ia pikirkan. Ketika Karina sedang memeriksa beberapa dokumen di mejanya, pintu ruangannya terbuka tanpa diketuk. Adrian masuk dengan langkah tenang, membawa sebuah berkas tebal di tangannya. “Nona Karina, Anda ada waktu sebentar?” Karina mengangkat wajah, matanya bertemu dengan tatapan Adrian yang tegas. Ia mencoba menyembunyikan rasa gugup yang tiba-tiba muncul. “Tentu, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” Adrian mendekat, menyerahkan berkas itu padanya. “Ini laporan yang akan kita presentasikan sore ini. Saya ingin Anda yang membawakannya.” Karina tertegun. “Saya, Pak? Tapi biasanya ... biasanya Bapak yang ....” Adrian menyelipkan kedua tangannya ke saku celana, pandangannya tetap pada Karina. “Anggap ini kesempatan. Saya ingin melihat bagaimana Anda menangani tugas ini. Saya yakin Anda bisa.” Karina menerima berkas itu dengan tangan sedikit gemetar. “Baik, Pak. Saya akan berusaha.” Adrian mengangguk, lalu berbalik hendak pergi. Tapi sebelum mencapai pintu, ia berhenti sejenak. “Oh, satu lagi.” Karina mendongak, menunggu kata-katanya. “Pastikan Anda percaya diri. Tidak ada ruang untuk ragu di ruangan nanti.” Senyum kecil Adrian membuat jantung Karina berdebar. “Baik, Pak.” --- Siang itu, Karina memanfaatkan waktu istirahat untuk mempersiapkan presentasinya. Ia duduk di kantin kantor dengan laptop di depannya, mencoba mempelajari dokumen yang Adrian berikan. Saat ia tenggelam dalam pekerjaannya, suara familiar membuatnya menoleh. “Karina!” Karina membeku sejenak sebelum mengenali sosok itu. Vera. Vera melangkah mendekat dengan senyum lebar, terlihat begitu ramah seperti dulu. “Apa kabar? Lama banget kita nggak ketemu.” Karina menutup laptopnya perlahan, mencoba menyembunyikan rasa tidak nyaman. “Vera ... apa yang kamu lakukan di sini?” “Oh, aku kebetulan lewat daerah sini. Aku dengar kamu sekarang kerja di perusahaan besar. Keren banget.” Karina hanya tersenyum tipis. “Iya, begitulah.” Tanpa menunggu undangan, Vera duduk di depan Karina, matanya memperhatikan Karina dengan cermat. “Aku tahu hubungan kita belakangan ini ... ya, nggak bagus. Tapi aku pengen kita baikan. Aku kangen sama kamu.” Karina menatap Vera, mencoba membaca maksud di balik senyum itu. “Vera, aku ... nggak tahu. Aku butuh waktu.” Vera mengangguk, wajahnya menunjukkan rasa penyesalan. “Aku ngerti. Aku cuma pengen kita mulai dari awal lagi. Aku nggak mau kehilangan kamu sebagai sahabat.” Karina merasa ada yang janggal. Tapi ia juga tidak ingin menimbulkan konflik. “Aku pikir-pikir dulu, ya?” Vera tersenyum, meski ada kilatan licik di matanya yang Karina hampir tidak sadari. “Tentu. Aku tunggu kapan pun kamu siap.” --- Di ruangannya, Adrian sedang memeriksa laporan di layar komputernya ketika ponselnya berbunyi. Pesan dari Alicia muncul di layar: Alicia : Apa kita bisa bicara malam ini?_ Adrian menatap pesan itu dengan ekspresi datar. Hubungannya dengan Alicia semakin jauh, seperti jurang yang tak lagi bisa dijembatani. Tapi, ia tahu percakapan ini tak akan membawa hasil yang baik. Ia mengabaikan pesan itu dan kembali fokus pada pekerjaannya. Namun, ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya. “Masuk,” katanya tanpa mengangkat kepala. Karina masuk, membawa berkas yang tadi Adrian berikan. “Pak, saya mau konfirmasi beberapa poin di laporan ini.” Adrian menatapnya, lalu melipat tangannya di dada. “Apa yang Anda temukan?” Karina duduk dengan hati-hati, membuka berkasnya. “Angka di halaman ini berbeda dari laporan sebelumnya. Saya hanya ingin memastikan apakah ini bukan kesalahan.” Adrian mengangguk pelan, senyum tipis muncul di wajahnya. “Anda jeli, Nona Karina. Itu memang perubahan yang saya buat. Saya sengaja tidak memberitahu, ingin melihat apakah Anda memperhatikan.” Karina tertegun. “Jadi ... ini semacam ujian?” “Anggap saja begitu. Dan Anda lulus.” Karina merasa sedikit lega. Ia menghela napas, lalu tersenyum. “Terima kasih, Pak.” Adrian memperhatikan senyumnya. Ada sesuatu tentang Karina yang berbeda dari orang lain di kantor ini. Ia sendiri tidak yakin apa, tapi ia merasa ada koneksi yang sulit ia abaikan. “Anda sudah siap untuk presentasi nanti?” tanya Adrian, mengubah topik pembicaraan. “Saya akan berusaha, Pak. Meski sejujurnya saya sedikit gugup.” “Tidak perlu gugup. Anda mampu. Percaya pada diri sendiri.” Kata-kata Adrian membuat Karina merasa lebih percaya diri. Ia mengangguk mantap. “Baik, Pak. Saya akan lakukan yang terbaik.” --- Rapat sore itu berjalan lancar. Meski awalnya gugup, Karina berhasil mempresentasikan laporannya dengan baik. Ia menjelaskan dengan jelas dan percaya diri, bahkan berhasil menjawab beberapa pertanyaan sulit dari peserta rapat. Adrian yang duduk di ujung meja, tersenyum kecil melihat performa Karina. Setelah rapat selesai, Adrian menghampiri Karina yang sedang merapikan dokumen di meja. “Kerja bagus. Saya tidak salah memilih Anda untuk tugas ini.” Karina tersenyum lega. “Terima kasih, Pak. Itu berarti banyak buat saya.” Adrian mengangguk, lalu melangkah pergi. Tapi di dalam hatinya, ia merasa semakin penasaran dengan Karina. --- Malam harinya, Adrian pulang ke rumah lebih awal dari biasanya. Alicia sudah menunggunya di ruang tamu, mengenakan gaun tidur satin yang elegan. “Apa kita bisa bicara sekarang?” tanyanya dengan nada tegas. Adrian mendesah, lalu duduk di sofa. “Apa yang ingin kamu bicarakan?” “Aku tahu ada sesuatu yang kamu sembunyikan, Adrian. Dan aku nggak akan berhenti sampai aku tahu apa itu.” “Alicia, kamu terlalu paranoid. Tidak ada yang aku sembunyikan,” jawab Adrian dengan nada datar. “Kamu pikir aku bodoh? Aku tahu kamu berubah.” Adrian berdiri, tidak ingin memperpanjang argumen ini. “Aku capek. Kita bicara besok.” Namun, Alicia tidak menyerah. “Kalau kamu nggak mau jujur, aku akan cari tahu sendiri.” Adrian tidak menanggapi. Ia melangkah ke kamar, meninggalkan Alicia dengan rasa frustrasi yang membara. --- Sementara itu, Karina sedang menikmati secangkir teh di apartemennya. Ia mencoba menenangkan pikirannya setelah hari yang panjang. Namun, sebuah pesan masuk ke ponselnya, membuat tubuhnya menegang. Anonim : Aku sudah dekat. Karina merasa darahnya membeku. Pesan-pesan ini terus datang dari nomor yang tidak ia kenal. Ia memandang sekeliling apartemennya, merasa seperti diawasi. Dengan cepat, ia mengunci semua pintu dan jendela, mencoba menenangkan dirinya. Tapi ketakutannya tidak mudah hilang. Di luar apartemennya, Vera berdiri di bawah bayang-bayang gedung, memandang ke arah jendela Karina dengan senyum kecil di wajahnya. “Kita lihat, Karina. Sampai kapan kamu bisa bertahan,” gumamnya sebelum berbalik pergi. To Be Continued...Adrian menghela napas berat setelah telepon itu terputus. Wajahnya yang tadi tenang kini berubah tegang. Ia menatap layar ponselnya dengan alis berkerut, jari-jarinya mengetuk-ngetuk meja kecil di sebelahnya.“Ada apa? Siapa yang telepon?” tanya Karina, yang kini berdiri di sampingnya. Suaranya lembut, tapi penuh kekhawatiran.Adrian menoleh, mencoba menenangkan dirinya sendiri sebelum menjawab. “Aku tidak tahu siapa,” ucapnya singkat. “Tapi orang itu sempat menyebut nama Jonathan, sayangnya sebelum dia sempat jelasin, sinyalnya terputus.”Karina mengerutkan kening. "Ada apa lagi dengan Jonathan?"“Aku juga nggak tahu,” jawab Adrian sambil menekan tombol panggil ulang di ponselnya. Tapi telepon itu ternyata tidak tersambung. Adrian memijat pelipisnya, jelas sekali ia merasa frustrasi.“Kamu yakin ini soal Jonathan? Mungkin dia cuma bikin drama lagi? Terlebih kan sekarang dia sudah ditahan?” tanya Karina, mencoba meringankan suasana. Tapi dalam hatinya, ia pun tidak bisa menyangkal kal
Pikirannya kembali pada ancaman Jonathan. Meskipun ia ingin mengabaikannya, kata-kata pria itu terus terngiang di kepalanya. Ia berjalan ke jendela, menatap ke luar dengan ekspresi yang sulit ditebak. "Ini belum selesai," gumamnya pada dirinya sendiri. "Aku harus tetap waspada." Dan di luar sana, di bawah cahaya lampu jalan yang redup, seseorang berdiri, memperhatikan apartemen Karina dengan tatapan yang sulit dijelaskan.---Adrian menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya yang masih penuh gejolak. Kemenangan memang sudah di depan mata, tapi apa artinya jika ia terus merasa tidak tenang? Jonathan jelas bukan tipe orang yang mudah menyerah. Dia licik, manipulatif, dan lebih dari segalanya, ambisius. Adrian tahu, satu kesalahan kecil saja bisa membuat posisinya hancur. Namun pikirannya segera teralihkan oleh suara dari belakang. Langkah kaki kecil yang pelan tapi jelas mendekat. “Adrian?” Suara lembut Karina memanggilnya. Adrian berbalik, mendapati Karina berd
Adrian masih duduk di kursinya, tatapannya kosong menatap dokumen-dokumen di atas meja. Kata-kata Alicia terus berputar di kepalanya, seolah ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi di belakang layar. Ia mengusap wajahnya dengan kasar, mencoba mengusir rasa lelah yang kian menumpuk. Tapi otaknya tak mau berhenti bekerja. "Kalau ini benar ...." gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan. Ia mengangkat telepon di mejanya, jarinya mengetik nomor seseorang yang sudah dihafalnya luar kepala. "Halo?" suara pria di seberang terdengar tegas. "Kita harus bicara. Sekarang," ujar Adrian, singkat tapi penuh tekanan. "Ada apa lagi? Apa kau ingin menyerah?" "Kalau kau penasaran, datanglah!"Hening sejenak di ujung sana, sebelum suara pria itu terdengar lagi, kali ini lebih serius. "Oke, aku datang." ---Tak lama kemudian, pintu ruang kerja Adrian terbuka. Jonathan, sepupunya, melangkah masuk dengan senyum kecil di wajahnya. Tapi ada sesuatu di balik senyum itu yang membuat Adrian semak
Alicia masih berdiri di depan jendela kamar, menatap ke luar dengan pandangan kosong. Ponselnya yang tadi dilempar ke tempat tidur kini bergetar lagi, mengganggu kesunyian ruangan. Kali ini dia tidak berniat untuk mengecek pesan itu lagi. Dia sudah tahu siapa pengirimnya—Jonathan. Ancaman yang dia terima tadi masih terngiang jelas di pikirannya. "Apa yang harus aku lakukan sekarang?" gumam Alicia pada dirinya sendiri, suaranya nyaris seperti bisikan. Langkah kakinya terdengar pelan saat ia berjalan ke sudut ruangan, mengambil koper besar yang sudah lama tidak ia sentuh. Tangannya gemetar saat membuka resleting koper itu, namun kali ini ia sudah memutuskan. Sementara itu, di ruang kerja besar Adrian yang penuh dengan rak-rak buku dan meja kerja kayu mahoni yang kokoh, Karina duduk di depan Adrian dengan ekspresi serius. Di tangannya, ada tumpukan dokumen yang baru saja ia serahkan pada pria itu. "Ini semua bukti yang kita punya," ucap Karina, suaranya tegas. "Aku udah cek semua
Karina masih berdiri di depan ruangan, menatap Kakek Adrian yang baru saja mengucapkan kata-kata yang membuat seluruh ruangan membisu. “Aku sudah membuat keputusan,” katanya lagi, perlahan, dengan nada penuh wibawa. Adrian duduk dengan tenang, meski matanya tak lepas dari Karina. Di sebelahnya, Jonathan tampak gelisah, tangannya mengepal di atas meja, seolah menunggu sesuatu yang buruk akan terjadi. Di sisi lain ruangan, Alicia berdiri di sudut, wajahnya kaku dan pucat, seperti menyadari bahwa ini adalah titik balik dari semuanya."Karina," suara Kakek Adrian memecahkan keheningan. "Presentasimu meyakinkan. Aku suka caramu berpikir. Kau memiliki visi yang jelas tentang masa depan perusahaan ini. Tapi ..." Suaranya menggantung, membuat udara di ruangan semakin tegang.Karina menghela napas pelan. Ia tahu, ini belum selesai."Aku ingin waktu untuk mempertimbangkan lebih jauh," lanjut Kakek Adrian. "Tapi aku mengapresiasi usahamu. Adrian, Jonathan, aku ingin kalian tetap profesional. Ki
Langkah Adrian dan Karina terhenti di depan pintu ruang baca. Karina menggenggam tasnya erat-erat, perasaan gugup merayap di tubuhnya. Ia tahu betul bahwa ini adalah momen besar yang akan menentukan segalanya—bukan hanya untuk Adrian, tapi juga untuk Reyna, anak yang kini menjadi pusat dunia barunya.Adrian melirik Karina sekilas, lalu berkata pelan, "Tenang saja. Aku ada di sini."Karina hanya mengangguk kecil. Tapi sebelum Adrian sempat mengetuk pintu, suara langkah kaki terdengar dari arah tangga. Jonathan muncul. Wajah datarnya tak mampu menyembunyikan sorot mata penuh kewaspadaan."Oh, kalian di sini?" katanya dingin, matanya bergantian menatap Adrian dan Karina. "Aku rasa aku tahu apa yang kalian bawa."Adrian berdiri tegap, tak menghindari tatapan Jonathan sama sekali. "Bagus kalau begitu," jawabnya dengan nada datar yang tak kalah tajam. "Kita nggak perlu basa-basi."Jonathan tertawa kecil, seperti mengejek. "Kau memang selalu terburu-buru, Adrian. Tapi jangan lupa, Kakek tak
Alicia menatap ke luar jendela, mencoba menenangkan napasnya yang tidak beraturan. Suara sirene polisi semakin mendekat, membuat pikirannya kacau. Dia tahu, waktunya hampir habis. Jonathan semakin mendesaknya, dan Adrian ... Adrian selalu satu langkah di depan, membuatnya semakin terpojok.“Kamu harus memutuskan, Alicia,” gumamnya sendiri. Tapi apa yang harus dia lakukan? Dia terlalu dalam terlibat dengan Jonathan, dan jika Adrian tahu segalanya, hidupnya akan hancur.Sementara itu, di sebuah gudang tua di pinggiran kota, Adrian berdiri dengan tangan terlipat di dada. Matanya tajam menatap Jonathan yang baru saja melangkah masuk. Di belakang Jonathan, dua pria bertubuh kekar mengikutinya, memberi kesan bahwa pertemuan ini bukan sekadar obrolan biasa.Jonathan melirik sekilas ke arah Adrian, lalu tersenyum kecil. "Jadi, kamu benar-benar memanggilku ke sini, Adrian. Aku harus bilang, ini cukup berani. Atau bodoh?"Adrian tidak menanggapi ejekan itu. Dia hanya melangkah maju, jaraknya ki
Di ujung lain kota, Adrian menatap Karina dengan tatapan serius. "Kita harus melakukannya malam ini. Kalau tidak, kita mungkin kehilangan kesempatan ini selamanya."Karina mengangguk pelan, meskipun hatinya dipenuhi ketakutan. Ia tahu apa yang mereka hadapi berbahaya, tapi ia tidak punya pilihan. Demi anaknya, ia harus berani. Keselamatan Reyna adalah taruhannya.Karina duduk di sofa kecil ruang apartemennya, menggenggam tangan Adrian yang terasa dingin. Malam itu begitu sunyi, seolah dunia di luar hanya menunggu sesuatu meledak. "Aku nggak bisa terus begini, Adrian," kata Karina akhirnya, memecah keheningan. Suaranya gemetar, tapi matanya menunjukkan tekad. "Jonathan itu licik. Kalau kita terus nunda, dia bisa selangkah lebih maju dan menghancurkan semuanya."Adrian menarik napas dalam, memejamkan mata sejenak sebelum membukanya kembali. Tatapan dinginnya malam itu sedikit melunak. "Aku tahu. Tapi aku juga nggak bisa gegabah. Apa yang kita rencanakan ini nggak cuma soal aku atau kam
Langit mendung sore itu seakan menjadi pertanda buruk. Karina duduk di sofa apartemennya, mengayun pelan-pelan kursi bayi yang berdiri di sampingnya. Bayi kecil itu, Reynata, buah hatinya, terlelap dengan wajah tenang. Perempuan kecil itu adalah segalanya bagi Karina. Namun, hatinya justru dipenuhi kecemasan—gelisah oleh amplop yang beberapa hari terakhir tersimpan di laci meja ruang tamunya, membara seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja.Pintu apartemen tiba-tiba diketuk keras. Karina terlonjak. Siapa yang datang di jam seperti ini?Ia menoleh ke arah pintu, napasnya tertahan. "Siapa?" tanyanya dengan suara setenang mungkin, meskipun hatinya diliputi kecemasan."Karina, ini aku," suara Adrian terdengar dari luar.Karina menarik napas lega. Ia bangkit, membuka pintu, dan mendapati Adrian berdiri di sana dengan wajah tegang. Tanpa menunggu undangan, Adrian masuk begitu saja."Ada apa, Adrian?" Karina bertanya, bingung melihat ekspresi gelisah di wajahnya.Adrian menghela napas