LOGINHari-hari setelah makan malam itu berubah jadi sunyi yang berbeda. Rumah yang mereka tinggali tak lagi hanya sepi, tapi dipenuhi ketegangan yang menggantung di udara. Keira tak bisa tidur dengan tenang. Tatapan ayahnya, suara Nero, dan kenangan ibunya datang silih berganti dalam mimpi yang tak pernah utuh. Ia menjalani rutinitas sebagai komisaris muda seperti biasa, tapi segalanya terasa hampa. Wajah-wajah di ruang rapat tampak seperti bayangan. Ia hadir, tapi jiwanya tak ikut bersama.
Sore itu, ia memberanikan diri membuka kembali ruang kerja ayahnya. Sudah lama ruangan itu terkunci, tapi ia menyimpan kunci cadangannya. Begitu pintu terbuka, debu tipis dan aroma kayu tua menyambutnya. Di dalam lemari arsip, ia menemukan satu map berlabel Kemitraan Adhitya Group 2009. Saat membukanya, jantungnya seakan terhenti. Sebuah foto tua menunjukkan ayahnya berdiri berdampingan dengan seorang wanita bergaun hitam elegan. Senyum wanita itu tajam, begitu percaya diri. Di bawah foto tertulis nama yang membuat tengkuk Keira dingin, Marina Adhitya. Di balik beberapa dokumen, ia menemukan surat tulisan tangan yang ia kenali. Tulisan ibunya. Bukan surat untuk siapa-siapa, hanya curahan hati. Kalimat di baris pertamanya membuat dada Keira menegang. Aku tahu Marina akan kembali. Dia tidak pernah benar-benar pergi. Dan ayahmu terlalu buta untuk menyadari bahwa luka yang ia tinggalkan akan membalas dengan cara paling menyakitkan lewat anaknya. "Aku tahu siapa wanita itu. Aku tahu masa lalu mereka. Tapi aku tidak akan kalah darinya. Aku akan pastikan dia tidak akan punya tempat di dunia ini, bahkan meski harus kulenyapkan semua jejaknya." Keira menjatuhkan surat itu. Tangannya gemetar. Apa ibunya yang menyebabkan Marina menghilang dari publik? Apa ibunya juga bagian dari semua ini? Sebelum sempat mencerna semuanya, suara langkah kaki terdengar dari luar ruangan. Keira buru-buru menutup map dan mengunci kembali lemari arsip. Ia tidak ingin ketahuan mengobrak-abrik sejarah keluarganya sendiri. Begitu pintu terbuka, Nero berdiri di sana. Raut wajahnya tenang seperti biasa, tapi tatapannya memicing curiga. "Apa yang kamu lakukan di sini?" Keira tidak langsung menjawab. Ia berdiri perlahan, membenarkan kerah kemejanya. "Cari sesuatu," jawabnya singkat. Nero melangkah masuk. Ia menyapu ruangan dengan pandangan datar, lalu berdiri di depan meja kerja ayah Keira. "Kamu sedang mencari apa? Kebenaran? Atau pembenaran?" "Aku hanya ingin tahu siapa sebenarnya kamu." Nero menoleh. Mata mereka bertemu dalam diam yang penuh bara. "Aku tidak menyembunyikan siapa diriku." "Tapi kamu tidak pernah jujur juga," balas Keira cepat. "Kenapa kamu tidak cerita kalau ibumu dulu adalah....." "Ibuku tidak butuh dibicarakan," potong Nero tajam. Keira mengangkat dagu. "Tentu saja. Karena semua tentang kalian selalu jadi rahasia." Nero memutar badannya, berjalan pelan ke arah rak buku. Suaranya terdengar datar. "Karena setiap kali kami bicara, orang-orang seperti keluargamu menganggapnya sebagai ancaman." "Orang-orang seperti keluargaku?" Keira tertawa miris. "Kamu bicara seolah kamu bukan bagian dari permainan ini." "Aku memang bagian dari permainan," jawab Nero dingin. "Tapi tidak seperti yang kamu kira." Keira melangkah maju. Suaranya bergetar, tapi matanya penuh tekad. "Aku tidak bisa percaya kamu, Nero. Bahkan jika kamu bilang semua ini bukan salahmu. Aku tidak bisa." Nero menatapnya tajam. Tapi kali ini, bukan dengan kemarahan. Justru dengan luka yang samar. "Aku tidak memintamu percaya. Aku hanya memintamu berhenti menyamakan aku dengan ibuku." Keira terdiam. "Kamu pikir aku tidak ingin hidup tenang?" lanjut Nero. "Kamu pikir aku ingin terjebak dalam pernikahan ini? Aku setuju karena aku kira aku bisa mengendalikannya. Tapi ternyata, aku bahkan tidak bisa mengendalikan pikiranku sendiri saat berada di dekatmu." Suasana menjadi berat. Kata-kata Nero menampar lebih keras daripada kemarahan. Ada kerapuhan dalam nada suaranya. Keira tidak tahu harus merespons seperti apa. "Nero…" bisiknya. Tapi Nero sudah berjalan keluar dari ruangan, membiarkan pintu terbuka lebar dan meninggalkan Keira dalam keheningan. Beberapa hari berlalu, suasana rumah tetap dingin. Keira duduk di sofa, matanya mengikuti langkah Nero yang masuk membawa kantong makanan tanpa berkata sepatah kata pun. Nero meletakkan kantong itu di meja, lalu berbalik pergi menuju kamar. Keira menarik napas, lalu memberanikan diri. “Nero... kau kenapa akhir-akhir ini pulang lebih awal? Biasanya kau selalu pulang larut.” Nero berhenti sejenak, menatap ke arah Keira dengan wajah yang sulit dibaca. “Pekerjaan sudah selesai.” Suara itu datar, tapi matanya menghindar. Keira melirik ke meja makan. Ada sebuah kertas kecil yang tertinggal di sana. Ia mengambilnya. “Tadi pagi kau pergi lebih awal, ini.” Di kertas itu tertulis: “Ada rapat penting jam 7 pagi. Jangan tunggu.” Tidak ada tanda tangan, hanya tulisan tangan yang rapi. Keira menatap ke arah kamar Nero. Hatinya bergejolak. “Kenapa kau tak pernah cerita apa yang sebenarnya terjadi?” Nero hanya diam, lalu membalik badan masuk kamar. Malam itu, setelah mandi, Keira menemukan sebuah map tipis di atas tempat tidur. Map itu tidak berlabel. Dengan tangan gemetar, ia membuka map itu. Matanya membelalak saat melihat isi di dalamnya: salinan email, laporan keuangan, dan dokumen yang menunjukkan sabotase di sistem perusahaan. Salah satu dokumen mencantumkan nama Nero sebagai pemegang akses khusus. Keira berdiri, napasnya tersengal. “Ini... apa maksudnya?” gumamnya. Di kamar sebelah, terdengar langkah kaki Nero mendekat. “Keira?” suara Nero lirih. Keira menatap map di tangannya, lalu menatap ke arah pintu. “Kau... kau yang melakukan ini?” Nero diam sejenak, lalu akhirnya berkata dengan suara serak “Aku tidak punya pilihan... Aku melakukannya demi sesuatu yang lebih besar. Demi kita.” Keira menatapnya penuh tanya dan luka. “Tapi aku tidak mengerti, Nero... Kenapa kau tidak pernah bilang?” Nero menunduk, menyembunyikan wajahnya di tangannya. “Aku takut... takut kau akan membenciku.”Keira duduk di ruang kerjanya yang sepi. Lampu meja menyinari setumpuk laporan keuangan, tapi matanya tak benar-benar membaca angka-angka itu. Sejak pagi, pikirannya kacau. Nero meninggalkan rumah tanpa banyak bicara, sementara kata-katanya semalam masih menusuk seperti duri.Ia mengusap wajah lelahnya, mencoba fokus. Namun suara pintu diketuk pelan membuatnya mendongak.“Masuk,” katanya.Shena muncul dengan senyum hangat yang biasa, membawa nampan kecil berisi teh jahe kesukaan Keira. “Kamu kelihatan pucat. Minum ini dulu, biar agak tenang.”Keira menatap sahabatnya itu. Ada rasa lega melihat wajah familiar, tapi entah kenapa, kali ini ia tidak bisa sepenuhnya merasa nyaman. Ia menerima gelas itu, menyesap sedikit, lalu bertanya, “Shen… kamu percaya sama Nero?”Shena sedikit terkejut, namun cepat menutupi ekspresinya dengan senyum tipis. “Kenapa tiba-tiba tanya begitu?”Keira menunduk. “Aku hanya… bingung. Semakin banyak yang aku tahu, semakin sulit membedakan siapa kawan, siapa lawa
Keira menatap berkas di tangannya. Map tipis itu tergeletak di atas ranjang, lembaran-lembarannya berantakan. Data dan salinan email di dalamnya jelas menuliskan satu nama: Nero.Seharusnya malam ini ia bisa tidur nyenyak, tapi kepalanya justru dipenuhi ribuan pertanyaan. Nero pernah melindunginya, bahkan beberapa kali menyelamatkan nyawanya. Lalu kenapa namanya tercatat dalam dokumen sabotase?Ia bangkit, berjalan mondar-mandir, lalu berhenti di depan cermin. Rambutnya kusut, matanya sembab. Bayangan yang menatap balik bukan lagi pewaris keluarga Valen yang disegani, melainkan seorang perempuan yang dilanda keraguan pada suaminya sendiri.Kalimat ibunya tiba-tiba terngiang: “Kalau kamu ingin tahu siapa teman atau musuhmu, lihat siapa yang diam saat kamu dijatuhkan.”Dengan tangan gemetar, Keira membuka kotak kayu berukir nama Amara di gudang bawah. Di dalamnya, sebuah buku harian tua. Halaman demi halaman ia baca, sampai pada kalimat yang membuatnya membeku:"Aku tahu Marina akan kem
Hari-hari setelah makan malam itu berubah jadi sunyi yang berbeda. Rumah yang mereka tinggali tak lagi hanya sepi, tapi dipenuhi ketegangan yang menggantung di udara. Keira tak bisa tidur dengan tenang. Tatapan ayahnya, suara Nero, dan kenangan ibunya datang silih berganti dalam mimpi yang tak pernah utuh. Ia menjalani rutinitas sebagai komisaris muda seperti biasa, tapi segalanya terasa hampa. Wajah-wajah di ruang rapat tampak seperti bayangan. Ia hadir, tapi jiwanya tak ikut bersama.Sore itu, ia memberanikan diri membuka kembali ruang kerja ayahnya. Sudah lama ruangan itu terkunci, tapi ia menyimpan kunci cadangannya. Begitu pintu terbuka, debu tipis dan aroma kayu tua menyambutnya. Di dalam lemari arsip, ia menemukan satu map berlabel Kemitraan Adhitya Group 2009. Saat membukanya, jantungnya seakan terhenti. Sebuah foto tua menunjukkan ayahnya berdiri berdampingan dengan seorang wanita bergaun hitam elegan. Senyum wanita itu tajam, begitu percaya diri. Di bawah foto tertulis nama
Pagi itu Keira bersiap dengan gelisah, firasatnya mengatakan pertemuan yang diminta ayahnya bukan hal biasa. Di sebuah restoran mewah, ia dan Nero mendapati Ervan Valen sudah menunggu dalam keadaan lemah dengan selang infus, namun tetap menyimpan sorot mata dingin penuh kendali. “Jadi, kalian sudah resmi suami istri.” suara Ervan terdengar pelan namun tegas. “Aku senang kalian datang,” kata ayahnya pelan, suaranya terdengar serak tapi tegas. “Aku ingin lihat langsung, seperti apa kalian hidup bersama.” “Kami baik-baik saja,” jawab Nero tenang.Keira mengerling ke arahnya. Ia tidak yakin dengan definisi baik-baik saja yang dimaksud Nero. Tapi ia tidak membantah. Ia memilih diam dan membiarkan ayahnya melanjutkan. “Ada hal yang perlu kalian tahu,” kata Ervan. “Tentang masa lalu.” Keira menggenggam jemarinya sendiri. Ini. Ini yang selama ini ia tunggu sekaligus ia takutkan. “Ayah Nero dulu pernah jadi rekan bisnis ayah. Tapi ibunya…”Ervan terdiam sejenak, seolah berpikir apakah ia
Keira membuka matanya perlahan. Kamar yang baru ia tempati masih terasa asing, meski tertata rapi dan mewah. Cahaya pagi menyusup malu-malu dari sela tirai, mengusir sisa gelap. Ia menoleh ke sisi ranjang. Kosong. Rapi. Dingin. Seakan tak pernah ada seseorang yang tidur di sana semalam.Seketika hatinya terasa hampa. Keira menatap langit-langit beberapa detik sebelum akhirnya bangkit, kaki menyentuh lantai kayu dingin. Perasaan itu terus menghantuinya lebih mirip penyewa kamar hotel daripada seorang istri.Langkahnya membawanya ke dapur. Aroma kopi menyeruak, pekat dan pahit. Di sana berdiri sosok asing yang kini sah menjadi suaminya. Nero, dengan kemeja santai, mengaduk cangkir tanpa ekspresi. “Pagi,” ucap Keira hati-hati. Nero menoleh singkat. “Pagi.” Hanya satu kata. Datar. Tanpa senyum. Suara yang sopan, tapi dingin seperti tembok marmer.Keira diam. Matanya mengikuti gerakan tangannya yang tenang saat meletakkan sendok di atas meja. “Kamu biasa buat kopi sendiri?” tanyanya, be
“Keira, ayah ingin kamu menikah minggu depan.”“Apa?” suaranya bergetar, tak percaya.Ia menatap ibunya yang berdiri kaku di depan jendela besar. Wanita itu berbalik perlahan, wajahnya tenang seperti biasa, tetapi matanya menyimpan badai yang hanya bisa dikenali oleh orang yang tumbuh dari rahimnya.“Ini keputusan ayahmu. Dan kamu tahu keadaan perusahaan. Jika kita tak bertindak sekarang, seluruh keluarga akan jatuh dan kamu akan kehilangan segalanya, Nak.”Segalanya. Kata itu menggema dalam kepalanya. Segalanya yang tidak pernah ia minta. Perusahaan yang diwariskan dengan darah dan kebohongan. Gelar komisaris muda yang disematkan bukan karena kemampuan, tapi karena garis keturunan. Keira menggigit bibirnya, mencoba menahan tanya dan marah yang berselimut satu: siapa pria itu?“Siapa dia?” bisiknya akhirnya.“Namanya Nero Adhitya.”Keira tidak pernah mendengar nama itu. Atau mungkin ia pernah, tapi otaknya menolak mengaitkannya dengan realita yang tengah dipaksakan padanya sekarang. I







