LOGINKeira menatap berkas di tangannya. Map tipis itu tergeletak di atas ranjang, lembaran-lembarannya berantakan. Data dan salinan email di dalamnya jelas menuliskan satu nama: Nero.
Seharusnya malam ini ia bisa tidur nyenyak, tapi kepalanya justru dipenuhi ribuan pertanyaan. Nero pernah melindunginya, bahkan beberapa kali menyelamatkan nyawanya. Lalu kenapa namanya tercatat dalam dokumen sabotase?
Ia bangkit, berjalan mondar-mandir, lalu berhenti di depan cermin. Rambutnya kusut, matanya sembab. Bayangan yang menatap balik bukan lagi pewaris keluarga Valen yang disegani, melainkan seorang perempuan yang dilanda keraguan pada suaminya sendiri.
Kalimat ibunya tiba-tiba terngiang: “Kalau kamu ingin tahu siapa teman atau musuhmu, lihat siapa yang diam saat kamu dijatuhkan.”
Dengan tangan gemetar, Keira membuka kotak kayu berukir nama Amara di gudang bawah. Di dalamnya, sebuah buku harian tua. Halaman demi halaman ia baca, sampai pada kalimat yang membuatnya membeku:
"Aku tahu Marina akan kembali. Dan Ervan terlalu buta untuk menyadari luka yang ia tinggalkan akan membalas melalui anaknya."
Marina ibu Nero. Ervan ayahnya sendiri.
Pernikahan ini bukan soal bisnis. Ini soal dendam lama yang diwariskan.
Keira menutup buku itu, tubuhnya bergetar. Ia ingin percaya Nero tak tahu apa-apa, tapi segalanya terasa terlalu kebetulan.
Malam itu, ia membuka laptop. Data perusahaan menunjukkan log aktivitas Nero, seminggu setelah pernikahan mereka. File bernama “INT-LogN.ERO.247.p*f” menegaskan jejak itu.
Untuk apa? Menyusup… atau melindungi?
***
Keesokan paginya, Nero sudah duduk di meja makan, rapi dengan kemeja putih, secangkir kopi mengepul di depannya. Keira melangkah pelan, meletakkan map di meja.
Nero menatapnya, datar. “Apa ini?”
“Kamu tahu,” jawab Keira, suaranya nyaris berbisik.
Ia membuka map itu tanpa panik. “Kau pikir aku menyabotase perusahaan ayahmu?”
Keira menelan ludah. “Aku pikir kau menyimpan terlalu banyak rahasia.”
Tatapan Nero mengeras. “Aku memang punya akses. Tapi bukan untuk menghancurkan. Aku sedang mencari siapa yang benar-benar menyusup. Masalahnya, aku tak tahu bisa mempercayaimu atau tidak.”
Keira tertawa hambar. “Jadi ini pernikahan? Suami-istri yang saling mencurigai?”
Nero berdiri, matanya tajam. “Kita adalah korban masa lalu yang tidak pernah kita pilih.”
Air mata menggenang di mata Keira. “Masalahnya, bahkan saat kau bicara kebenaran… aku tetap meragakanmu.”
Nero menatapnya lama, lalu berbisik, dingin.
“Karena kau belum tahu, Keira… siapa sebenarnya yang jadi budak.”
Nero tidak menjawab. Ia hanya menatapnya lama, lalu berbalik memunggunginya, seolah tak ingin memperlihatkan ekspresi apa pun. Keira tak lagi peduli pada sikap dingin itu, meski hatinya terus diguncang badai yang diciptakan oleh generasi sebelum mereka.
“Jawab aku satu hal saja,” suaranya pelan, hampir bergetar.
Nero menoleh sedikit, cukup untuk menunjukkan ia mendengar.
“Kalau semua ini memang bukan permainan, kenapa kamu terlihat seperti seseorang yang sedang menang?”
Ia menatapnya lama sebelum akhirnya menjawab, datar tanpa nada.
***
Ia tidak menjelaskan lebih jauh. Diamnya justru menambah beban di dada Keira. Ia ingin memaksanya bicara, ingin menyeret kebenaran keluar dari mulutnya, tapi lidahnya kelu.
Di luar, burung gereja berkericau seakan pagi berjalan normal, tapi bagi Keira, dunia seolah runtuh. Ia menatap Nero yang berbalik, memunggunginya, seolah tak ingin memperlihatkan ekspresi apa pun.
“Jawab aku satu hal saja,” suaranya pelan, hampir bergetar.
Nero menoleh sedikit, cukup untuk menunjukkan ia mendengar.
“Kalau semua ini memang bukan permainan, kenapa kamu terlihat seperti seseorang yang sedang menang?”
Ia menatapnya lama sebelum akhirnya menjawab, datar tanpa nada.
Kata-katanya menggantung, tajam, seperti pisau yang menusuk pelan. Dan untuk pertama kalinya, Keira merasa pernikahan ini bukan hanya tentang cinta atau kebencian tetapi tentang siapa yang mampu bertahan lebih lama di dalam lingkaran rahasia yang penuh jebakan.
Keira menggenggam ujung meja erat-erat, jemarinya memutih. Kata-kata Nero masih berputar di kepalanya, menghantam lebih keras daripada teriakan sekalipun. Ia ingin bertanya lebih jauh, tapi tatapan lelaki itu sudah seperti tembokdingin dan tak bisa ditembus.
Keheningan itu menusuk, hanya terdengar detik jam yang bergerak pelan. Keira merasa dirinya terperangkap, seakan dinding rumah itu ikut menutup rapat rahasia yang tak ingin terungkap. Nafasnya pendek, dada sesak.
“Apa semua ini memang sudah ditentukan sejak awal?” gumamnya lirih, nyaris tak terdengar.
Nero tidak menjawab, tapi gerak bahunya menegang. Ada sesuatu dalam sikapnya antara ingin berkata, tapi memilih diam. Dan diamnya itulah yang lebih menyakitkan bagi Keira.
Ia menoleh ke jendela. Cahaya matahari pagi menyorot tirai, tapi yang dirasakannya hanyalah gelap. Seandainya ibunya masih ada, mungkin ia bisa mendapat jawaban. Tapi kini, ia hanya punya dirinya sendiri, dan suami yang entah berdiri di sisi yang sama atau sebaliknya.
“Kalau memang kita hanya korban,” lanjut Keira dengan suara bergetar, “kenapa aku merasa kau menikmati permainan ini?”
Tatapan Nero beralih padanya, dalam dan tak terbaca. Senyum tipis yang muncul di sudut bibirnya justru membuat Keira semakin tersiksa. Itu bukan senyum bahagia, melainkan senyum orang yang sudah terlalu lama menyimpan luka.
“Kau akan tahu pada waktunya,” jawabnya singkat, lalu ia mengambil jas yang tergantung di kursi. Gerakannya tenang, nyaris terlalu biasa, seolah percakapan barusan tak pernah terjadi.
Keira menatap punggungnya saat Nero melangkah pergi. Suara pintu berderit, kemudian menutup pelan, meninggalkannya sendirian.
Saat itulah ia sadar, perjalanan yang sedang dijalaninya jauh lebih rumit daripada sekadar mempertahankan sebuah pernikahan. Ia bukan hanya istri, tapi juga saksi dari pertarungan dua masa lalu yang menuntut balas. Dan entah bagaimana, ia tahu dirinya harus menemukan kebenaran itu sebelum kebenaran yang justru menghancurkannya terlebih dahulu.
Keira duduk di ruang kerjanya yang sepi. Lampu meja menyinari setumpuk laporan keuangan, tapi matanya tak benar-benar membaca angka-angka itu. Sejak pagi, pikirannya kacau. Nero meninggalkan rumah tanpa banyak bicara, sementara kata-katanya semalam masih menusuk seperti duri.Ia mengusap wajah lelahnya, mencoba fokus. Namun suara pintu diketuk pelan membuatnya mendongak.“Masuk,” katanya.Shena muncul dengan senyum hangat yang biasa, membawa nampan kecil berisi teh jahe kesukaan Keira. “Kamu kelihatan pucat. Minum ini dulu, biar agak tenang.”Keira menatap sahabatnya itu. Ada rasa lega melihat wajah familiar, tapi entah kenapa, kali ini ia tidak bisa sepenuhnya merasa nyaman. Ia menerima gelas itu, menyesap sedikit, lalu bertanya, “Shen… kamu percaya sama Nero?”Shena sedikit terkejut, namun cepat menutupi ekspresinya dengan senyum tipis. “Kenapa tiba-tiba tanya begitu?”Keira menunduk. “Aku hanya… bingung. Semakin banyak yang aku tahu, semakin sulit membedakan siapa kawan, siapa lawa
Keira menatap berkas di tangannya. Map tipis itu tergeletak di atas ranjang, lembaran-lembarannya berantakan. Data dan salinan email di dalamnya jelas menuliskan satu nama: Nero.Seharusnya malam ini ia bisa tidur nyenyak, tapi kepalanya justru dipenuhi ribuan pertanyaan. Nero pernah melindunginya, bahkan beberapa kali menyelamatkan nyawanya. Lalu kenapa namanya tercatat dalam dokumen sabotase?Ia bangkit, berjalan mondar-mandir, lalu berhenti di depan cermin. Rambutnya kusut, matanya sembab. Bayangan yang menatap balik bukan lagi pewaris keluarga Valen yang disegani, melainkan seorang perempuan yang dilanda keraguan pada suaminya sendiri.Kalimat ibunya tiba-tiba terngiang: “Kalau kamu ingin tahu siapa teman atau musuhmu, lihat siapa yang diam saat kamu dijatuhkan.”Dengan tangan gemetar, Keira membuka kotak kayu berukir nama Amara di gudang bawah. Di dalamnya, sebuah buku harian tua. Halaman demi halaman ia baca, sampai pada kalimat yang membuatnya membeku:"Aku tahu Marina akan kem
Hari-hari setelah makan malam itu berubah jadi sunyi yang berbeda. Rumah yang mereka tinggali tak lagi hanya sepi, tapi dipenuhi ketegangan yang menggantung di udara. Keira tak bisa tidur dengan tenang. Tatapan ayahnya, suara Nero, dan kenangan ibunya datang silih berganti dalam mimpi yang tak pernah utuh. Ia menjalani rutinitas sebagai komisaris muda seperti biasa, tapi segalanya terasa hampa. Wajah-wajah di ruang rapat tampak seperti bayangan. Ia hadir, tapi jiwanya tak ikut bersama.Sore itu, ia memberanikan diri membuka kembali ruang kerja ayahnya. Sudah lama ruangan itu terkunci, tapi ia menyimpan kunci cadangannya. Begitu pintu terbuka, debu tipis dan aroma kayu tua menyambutnya. Di dalam lemari arsip, ia menemukan satu map berlabel Kemitraan Adhitya Group 2009. Saat membukanya, jantungnya seakan terhenti. Sebuah foto tua menunjukkan ayahnya berdiri berdampingan dengan seorang wanita bergaun hitam elegan. Senyum wanita itu tajam, begitu percaya diri. Di bawah foto tertulis nama
Pagi itu Keira bersiap dengan gelisah, firasatnya mengatakan pertemuan yang diminta ayahnya bukan hal biasa. Di sebuah restoran mewah, ia dan Nero mendapati Ervan Valen sudah menunggu dalam keadaan lemah dengan selang infus, namun tetap menyimpan sorot mata dingin penuh kendali. “Jadi, kalian sudah resmi suami istri.” suara Ervan terdengar pelan namun tegas. “Aku senang kalian datang,” kata ayahnya pelan, suaranya terdengar serak tapi tegas. “Aku ingin lihat langsung, seperti apa kalian hidup bersama.” “Kami baik-baik saja,” jawab Nero tenang.Keira mengerling ke arahnya. Ia tidak yakin dengan definisi baik-baik saja yang dimaksud Nero. Tapi ia tidak membantah. Ia memilih diam dan membiarkan ayahnya melanjutkan. “Ada hal yang perlu kalian tahu,” kata Ervan. “Tentang masa lalu.” Keira menggenggam jemarinya sendiri. Ini. Ini yang selama ini ia tunggu sekaligus ia takutkan. “Ayah Nero dulu pernah jadi rekan bisnis ayah. Tapi ibunya…”Ervan terdiam sejenak, seolah berpikir apakah ia
Keira membuka matanya perlahan. Kamar yang baru ia tempati masih terasa asing, meski tertata rapi dan mewah. Cahaya pagi menyusup malu-malu dari sela tirai, mengusir sisa gelap. Ia menoleh ke sisi ranjang. Kosong. Rapi. Dingin. Seakan tak pernah ada seseorang yang tidur di sana semalam.Seketika hatinya terasa hampa. Keira menatap langit-langit beberapa detik sebelum akhirnya bangkit, kaki menyentuh lantai kayu dingin. Perasaan itu terus menghantuinya lebih mirip penyewa kamar hotel daripada seorang istri.Langkahnya membawanya ke dapur. Aroma kopi menyeruak, pekat dan pahit. Di sana berdiri sosok asing yang kini sah menjadi suaminya. Nero, dengan kemeja santai, mengaduk cangkir tanpa ekspresi. “Pagi,” ucap Keira hati-hati. Nero menoleh singkat. “Pagi.” Hanya satu kata. Datar. Tanpa senyum. Suara yang sopan, tapi dingin seperti tembok marmer.Keira diam. Matanya mengikuti gerakan tangannya yang tenang saat meletakkan sendok di atas meja. “Kamu biasa buat kopi sendiri?” tanyanya, be
“Keira, ayah ingin kamu menikah minggu depan.”“Apa?” suaranya bergetar, tak percaya.Ia menatap ibunya yang berdiri kaku di depan jendela besar. Wanita itu berbalik perlahan, wajahnya tenang seperti biasa, tetapi matanya menyimpan badai yang hanya bisa dikenali oleh orang yang tumbuh dari rahimnya.“Ini keputusan ayahmu. Dan kamu tahu keadaan perusahaan. Jika kita tak bertindak sekarang, seluruh keluarga akan jatuh dan kamu akan kehilangan segalanya, Nak.”Segalanya. Kata itu menggema dalam kepalanya. Segalanya yang tidak pernah ia minta. Perusahaan yang diwariskan dengan darah dan kebohongan. Gelar komisaris muda yang disematkan bukan karena kemampuan, tapi karena garis keturunan. Keira menggigit bibirnya, mencoba menahan tanya dan marah yang berselimut satu: siapa pria itu?“Siapa dia?” bisiknya akhirnya.“Namanya Nero Adhitya.”Keira tidak pernah mendengar nama itu. Atau mungkin ia pernah, tapi otaknya menolak mengaitkannya dengan realita yang tengah dipaksakan padanya sekarang. I







