Rania jatuh ke lantai, tampak lemah. Setelah itu pria yang melakukan ini berbalik dan berlari cukup kencang menuju sebuah lubang besar di salah satu bagian ruangan besar itu. Artin tidak akan membiarkannya pergi seperti itu. Artin dengan cepat melompat mencoba mengejar, hanya untuk dihentikan ketika Rohan memanggilnya dengan cukup keras. "Biarkan aku mengejarnya, tolong selamatkan Rania!" Hanya dalam waktu sesingkat itu, wajah Rohan yang dipenuhi amarah langsung melesat melewati Artin. Kemudian melompat beberapa kali untuk memperpendek jarak dengan pria itu. Sepersekian detik kemudian, 2 orang itu tidak lagi terlihat di depan mata Artin. Artin berlari ke arah Rania yang jatuh ke lantai. Elora sudah duduk berlutut di sampin
Rohan terpaksa menghentikan semburan apinya, lehernya terkunci rapat hingga sulit bernapas. Jari-jari pria di depannya mencengkeram leher Rohan dengan erat, yang sekilas terlihat sangat lemah. Rohan meraih tangan pria itu, mencoba melepaskan cengkeramannya, tetapi dia tidak memiliki kekuatan untuk melakukannya. Kemudian mencoba untuk melemparkan beberapa tinju, tetapi kembali hanya terasa seperti pukulan lemah. Penglihatan Rohan perlahan menjadi gelap, kematian terlihat jelas di hadapannya. "Ha ha ha! Seperti ini saja?” Tubuh pria di hadapan Rohan itu kini tampak perlahan pulih dan kembali ke bentuk semula, meski masih ada luka bakar di sekujur tubuhnya yang membuatnya tampak seperti mayat hidup tanpa kulit dengan lapisan
Artin tidak menahan sedikitpun setiap pukulan yang dia lakukan, mengarah membabi buta pada tubuh pria yang terjatuh di depannya. Kaki, perut, dada, wajah, berulang kali hingga setelahnya tampak hanya segumpal daging yang hancur dengan bercak darah yang menciprat ke segala arah, memenuhi wajah dan tubuh Artin dengan tumbah darah dari target kemarahannya. Setelahnya, segumpal daging hancur yang ada di depan Artin rontok dan jatuh ke tanah dalam bentuk abu yang setelahnya lenyap tertiup angin. Selesai sudah, pertarungan yang dia lakukan selesai sudah. Menyisakan kemarahan di hati Artin yang masih menggebu dan memberontak hendak keluar dari tubuhnya. Artin jatuh ke tanah, menahan dengan lututnya dan Palu Keadilan yang berdiri disampingnya. Napasnya berhembus berulang
Mata Artin terbuka kembali. Kondisi tubuhnya kini telah membaik. Memang dari sisi fisik, dia tidak mendapatkan luka sedikitpun, tapi dari sisi mental, Artin merasa sangat lelah bahkan status di Sistem tidak bisa menggambarkannya. Andai saja ada Status bernama Kewarasan. Beberapa waktu lalu, nilai kewarasan Artin pasti sudah berada di titik nol. Beberapa guratan cahaya masuk melalui tirai di sudut ruangan, cukup hangat untuk jatuh membentuk garis di wajah Artin, memalingkan wajahnya sejenak untuk menghindari silaunya matahari. “Pagi, atau sore?” Menyadari bahwa hari sudah siang, Artin buru-buru bangun dari tidurnya. Karena kelelahan, Artin membuatnya lupa waktu dan tertidur cukup lama. Laila, Laila, Artin harus memastikan kondisi Laila, lalu bergegas keluar kamar,
Artin memeriksa status terbarunya. Levelnya telah naik sedikit sejak Artin terakhir kali memeriksanya. Artin telah mendapatkan peningkatkan kekuatan pada kakinya, memungkinkan dia untuk berlari, melompat dan menendang lebih keras dengan kekuatan yang dia dapatkan dari Bima. Setelah itu, Artin juga mendapatkan kekuatan yang tidak masuk akal dari pria yang datang untuk menyerang studio Elora sebelumnya. Tambahan 50% dalam Kekuatan yang membuat serangan dan kemampuannya untuk mengangkat beban berat meningkat dengan peningkatan yang cukup besar. Artin juga mendapat efek lain dari kemampuan itu, yaitu peningkatan 100% pada HP yang dimilikinya. Peningkatan sebesar ini hanya dengan membunuh dua orang. Seberapa kuat seorang Pemain jika dia fokus membunuh pemain lain daripada monster? Sampai saat ini, Artin merasa tidak heran
Mereka tidak punya cukup waktu untuk bersantai, tetapi itu tidak menghentikan Artin untuk mengunjungi Verona. Keduanya kemudian mengunjungi rumah sakit tempat Verona dirawat, kembali mengenakan topi dan kacamata hitam agar tidak terlalu mencolok dan menyembunyikan identitas mereka. Orang-orang yang melihat mereka terus memandangi dengan curiga dan kemudian menggantinya dengan tatapan kagum. Mungkin tidak ada yang tidak peduli dengan penampilan Artin, tapi tidak mudah bagi Laila untuk menyembunyikan identitasnya. Penganutnya dapat dengan mudah mengenali Laila hanya dari posturnya, yang juga dapat menyimpulkan pria yang berjalan bersamanya. Artin masih bisa mendengar pujian dan hinaan, meskipun lirih, membuatnya sedikit kesal, dan berharap bisa sedikit menguji Keahlian barunya pada orang-orang itu.
Artin duduk di tempat tertinggi di rumah Laila malam itu. Di tempat kecil seperti menara pengawas, Artin bisa dengan mudah melihat dan mengawasi sekeliling rumah yang luas Dan megah itu. Artin setengah bersandar di kursi kayu kecil. Beberapa kali ia meminum secangkir kopi yang telah disiapkannya. Waktu menunjukkan tepat tengah malam. Artin meletakkan cangkir kopinya di atas meja kecil ketika dia merasakan sinyal yang dikirim oleh Fang. Artin berdiri dari tempatnya duduk, menyipitkan mata ke lokasi di mana Fang berjaga. Meski dari kejauhan, dan kondisi malam hari hanya diterangi cahaya bulan, Artin bisa melihat sosok beberapa orang berjalan, mendekat, dan beberapa di antaranya terlihat membawa senjata. ‘Fang, kemari!’ Fang
Suasana malam yang awalnya sunyi tiba-tiba menjadi riuh, burung-burung yang hinggap di dahan pohon hutan beterbangan liar diiringi suara jeritan Lexi yang memecahkan gendang telinga Artin. Dan, pemuda dengan rambut yang menutupi sebagian wajahnya mengangkat tangannya. Setelah itu, Rerumputan di sekitarnya bergerak liar, tampak hidup, memanjang dan merambat ke seluruh tubuh Artin dengan sangat cepat. Sepersekian detik, tubuh Artin tertutup sepenuhnya oleh akar rerumputan, sangat kuat menguncinya. Artin merasa sulit untuk bergerak dan mengenali kondisi di sekelilingnya, namun tidak cukup lengah untuk tidak merasakan tebasan kapak raksasa yang hendak mengenai lehernya. Dengan susah payah Artin menarik dirinya dan berbalik ke samping ketika kapak besar itu berada tepat di depannya. Waktu seakan berhenti, Artin membuka mulutnya dan mencoba menangkap m