Makassar menyambut Gian dengan udara panas yang menggigit, berpadu aroma asin laut yang terbawa angin. Dari balik jendela mobil sewaan, ia memperhatikan deretan pohon kelapa di pinggir jalan yang bergoyang pelan. Langit membentang biru pucat, hanya diwarnai gumpalan awan tipis.
Di kursi samping, Kirana tampak tenggelam dalam kesibukan. Jari-jarinya menari di atas layar tablet, menandai agenda dan menyisipkan catatan kecil di beberapa jadwal.
“Jam dua siang kita harus ke lokasi proyek. Presentasi untuk dewan direksi dimajukan,” ujarnya cepat, nada suaranya datar dan profesional, tanpa menoleh sedikit pun.
Gian melirik singkat, lalu mengangguk. “Pastikan semua data sudah siap.”
Kirana tersenyum tipis, senyum yang hanya sekilas menghiasi wajahnya. “Sudah, Pak. Bahkan saya tambahkan analisis cadangan, s
Makassar menyambut Gian dengan udara panas yang menggigit, berpadu aroma asin laut yang terbawa angin. Dari balik jendela mobil sewaan, ia memperhatikan deretan pohon kelapa di pinggir jalan yang bergoyang pelan. Langit membentang biru pucat, hanya diwarnai gumpalan awan tipis.Di kursi samping, Kirana tampak tenggelam dalam kesibukan. Jari-jarinya menari di atas layar tablet, menandai agenda dan menyisipkan catatan kecil di beberapa jadwal.“Jam dua siang kita harus ke lokasi proyek. Presentasi untuk dewan direksi dimajukan,” ujarnya cepat, nada suaranya datar dan profesional, tanpa menoleh sedikit pun.Gian melirik singkat, lalu mengangguk. “Pastikan semua data sudah siap.”Kirana tersenyum tipis, senyum yang hanya sekilas menghiasi wajahnya. “Sudah, Pak. Bahkan saya tambahkan analisis cadangan, s
Pagi itu, sinar matahari menembus lembut celah gorden kamar pasien, menebarkan cahaya hangat ke dalam ruangan yang sejak kemarin terasa dingin dan steril. Bau antiseptik masih kental memenuhi udara, namun entah mengapa, suasana pagi ini berbeda—lebih ramah, seolah membawa kabar baik yang belum terucap.Aurelia duduk di kursi kecil di sisi ranjang, tubuhnya condong sedikit ke depan. Tatapannya tak lepas dari Caca, yang mulai menggeliat pelan dari tidur lelapnya. Rambut anak itu berantakan seperti helai kapas yang tertiup angin, pipinya merona merah muda, dan matanya masih separuh terpejam.“Pagi, Sayang,” ucap Aurelia dengan suara lirih, senyum tipis mengembang di bibirnya.Caca mengucek mata, lalu matanya tertuju pada meja kecil di sebelah tempat tidur. Di sana, duduk manis sebuah boneka kelinci berwarna putih gading, seolah menunggu tepat saat gadis kecil itu membuka mata.Tanpa pikir panjang, Caca bangun setengah duduk dan meraih bonek
“Pulang? Sekarang?” Nada suara Aurelia terdengar jelas memprotes. Alisnya terangkat, matanya menyipit sedikit. “Baru saja Caca mulai ceria lagi, dan sekarang Anda mau pergi?”Tuan Baskara berdiri tegap di ambang pintu, wajahnya sulit terbaca—perpaduan antara keraguan dan sesuatu yang tak ingin ia ungkapkan. “Saya tidak akan lama,” ucapnya singkat, seolah ingin meredam gejolak yang mulai terlihat di mata Aurelia.Aurelia menghela napas, lalu mendengkus pelan. “Saya harap benar begitu. Jangan sampai Caca bangun besok dan mendapati Papanya menghilang lagi.” Tatapannya melirik ke arah ranjang, tempat Caca duduk bersandar pada tumpukan bantal, memandang mereka dengan mata lebar penuh rasa ingin tahu. “Lihat? Dia bahkan belum puas bercerita hari ini.”Anak itu tersenyum tipis, mencoba mencairkan ketegangan.
Cahaya lampu redup di kamar rawat VIP masih menyisakan bayangan lembut di dinding ketika ketukan pelan terdengar dari arah pintu. Aurelia mengerjap pelan, mengusap wajahnya yang masih berat oleh kantuk. Awalnya ia mengira itu perawat yang hendak memeriksa Caca, tapi begitu pintu terbuka, bukan wajah perawat yang ia lihat.Sosok pria tegap dengan rambut sedikit beruban berdiri di ambang, mengenakan kemeja rapi namun kusut di bagian lengan.“Anda?” suara Aurelia terdengar setengah terkejut, setengah tak percaya.Pria itu menatapnya, lalu menoleh sekilas pada Caca yang tidur pulas.“Sedang Anda apa di sini?” ucapnya mengulang pertanyaan yang sama. Suranya begitu pelan, seolah tak ingin mengusik.Aurelia mendengkus kecil, mendorong pintu agar terbuka lebih lebar. “Tentu saja menjaga Caca. Masih bertanya pula??”“Hmm.”“Masuklah, dan tolong jangan berisik.” Suaranya rendah tapi te
Sore itu, setelah melepas Gian menuju bandara, Aurelia langsung melangkah ke kamar tidurnya. Koper Gian yang semula ada di sudut ruangan kini tak ada lagi, seolah menatapnya sebagai pengingat bahwa beberapa hari ke depan ia akan sendirian. Namun, pikirannya tak terpaku pada Makassar—melainkan pada panggilan video yang baru saja masuk.Layar ponsel di tangannya menampilkan wajah mungil Caca. Tangan anak itu masih terpasang selang infus, namun matanya yang bulat berkilat senang.“Iya, Sayang,” ujar Aurelia sambil tersenyum lembut. “Kakak bakalan nginep di rumah sakit. Menemanimu dong.”Caca mengangguk kecil, lalu tertawa lirih. “Kalau Kakak di sini, aku enggak bakalan takut. Pasti seru. Soalnya kalau sama si Mbok enggak seru. Tidunya ngorok mulu sih.”Kalimat sederhana itu menghangatkan ha
Aurelia tidak langsung merespons. Tangannya masih memegang pisau, namun gerakannya terhenti di tengah potongan seledri. Ujung mata pisau memantulkan cahaya siang yang jatuh dari jendela dapur, seperti garis tipis perak di antara mereka. Tatapan Nyonya Lestari menembus, dingin namun mantap, seolah ingin menguliti lapisan terluar hati Aurelia hingga tak tersisa.Dapur itu sunyi. Bahkan suara pendingin ruangan terdengar terlalu nyaring di telinga Aurelia. Hanya detik jam dinding yang memecah keheningan, mengukur waktu dalam hentakan-hentakan yang seakan memaksa mereka untuk memilih kata dengan cermat.Aurelia menarik napas dalam, menahan udara di paru-parunya sejenak sebelum mengembuskannya pelan. “Menyerah pada apa, Bu?” tanyanya, suaranya terdengar tenang—hanya nada datar, tanpa getar. Tapi di balik itu, ada kilatan waspada yang tak bisa disembunyikan.Nyonya Lestari menurunkan cangkir teh dari bibirnya. Gerakannya anggun, nyaris lambat, seolah