MasukDipaksa menggantikan sang kakak sebagai mempelai wanita, Aurelia harus menikahi Gian Alvaro, pria asing yang dikenal dingin, kejam, dan... impoten. Pernikahan itu bukan karena cinta, melainkan demi menyelamatkan keluarganya dari kehancuran. Dalam hitungan hari, ia mengucap janji suci pada pria yang tak pernah ia kenal, di tengah sorot mata penuh penolakan dan pesta tanpa kebahagiaan. Namun, waktu perlahan mengubah segalanya. Di balik kebekuan sang suami, tersembunyi luka yang dalam. Dan di antara jarak serta keterasingan, tumbuh perasaan yang tak bisa dibendung. Tapi benarkah cinta bisa lahir dari paksaan? Atau hanya membawa keduanya menuju jurang kehancuran? Cover by @tiadesign_ #LombaMenulisGoodnovel #tibatibamenjadimilikmuGN #GoodnovelIndonesia #GoodNovel
Lihat lebih banyak"Kau harus menggantikan kakakmu untuk menikah dengan Tuan Gian."
Kalimat itu meluncur dari mulut sang ayah dengan dingin yang menusuk tulang. Seolah-olah ia baru saja meminta untuk membeli garam ke warung, bukan… menyerahkan hidup putrinya pada seorang pria asing.
Aurelia baru saja menginjakkan kaki di anak tangga terakhir saat kata-kata itu menghantamnya. Jantungnya mencelos. Ia menatap ayah dan ibu yang duduk di ruang tamu dengan ekspresi lebih pucat dari dinding rumah. Di meja, setumpuk undangan pernikahan berserakan seperti sisa-sisa medan perang. Nama sang kakak dan calon suaminya sudah tercetak jelas di sana.
"Apa maksud Ayah?" suaranya nyaris tak terdengar, seperti bisikan dalam kabut mimpi buruk yang menolak berakhir.
Bu Mirna, yang wajahnya terlihat lebih tua sepuluh tahun hanya dalam semalam, menyeka air mata dengan tisu kusut. Ia tak sanggup menatap putrinya. "Kakakmu menelepon dari Jepang dan mengatakan tidak bisa menikah."
Aurelia melangkah maju, tak percaya. “Kak Devina… bilang begitu? Kenapa?”
Ayah mengangguk, rahangnya mengeras, lalu menyahut, “Tidak tahu, dan tidak ada waktu lagi untuk tetap memaksa kakakmu. Jadi, kau harus menggantikannya.”
“Kenapa harus aku? Aku bahkan tidak mengenal pria itu,” bisik Aurelia, nyaris tidak menyadari bahwa tubuhnya mulai gemetar.
Ayah menatapnya, matanya tajam seperti penghakiman. “Karena hanya kau yang tersisa. Kita tidak punya waktu, Lia. Keluarga Tuan Gian marah besar. Mereka menuntut ganti rugi dua kali lipat dari seluruh biaya pernikahan. Kalau kita tidak bertindak… habislah semuanya.”
“Tabungan, rumah, toko ayahmu… semua akan lenyap,” tambah Ibu dengan suara lemah. “Dan bukan hanya itu. Nama baik keluarga kita akan hancur. Jadi satu-satunya cara adalah kau yang harus menggantikan Devina.”
Aurelia tertawa getir. Bukan karena lucu, tapi karena betapa konyolnya dunia yang ia tinggali. “Jadi karena satu orang melarikan diri, orang lainnya harus dikorbankan? Kenapa sejak dulu selalu aku yang harus jadi tumbal kalian?”
“Aurelia, jangan dramatis. Ini bukan soal kau atau Devina. Ini soal keluarga,” ucap ayahnya itu lagi.
“Dramatis??” suara Aurelia meninggi. “Aku disuruh menikah dengan pria asing dan Ayah bilang aku dramatis?”
Ibu menggenggam tangannya erat. “Kau gadis baik, Lia. Kami percaya kau bisa menjalani ini. Lagipula Tuan Gian tidak menolak. Itu artinya dia siap menerimamu.”
“Tapi aku yang tidak siap menerima dia!” bentaknya, kali ini air mata menetes begitu saja. “Aku bukan alat tukar! Aku bukan… tumbal!”
Ayah berdiri, tubuhnya menegas. “Cukup. Kita sudah membicarakan ini. Kau akan menikah minggu depan.”
Tak ada ruang untuk diskusi. Tak ada yang peduli pada jawabannya. Aurelia merasa seperti pion dalam permainan catur besar—dikorbankan demi raja dan ratu yang ingin menang. Tidak lebih dari sekadar angka statistik dalam rapor keluarga.
***
Malam itu, Aurelia berbaring menyamping di ranjangnya, membelakangi jendela yang terbuka sedikit. Angin malam masuk pelan, menggoyangkan tirai tipis seperti bisikan hantu. Matanya menatap layar ponsel yang kosong, tidak ada balasan, tidak ada panggilan.
Beberapa pesan terakhir kepada Devina masih terbuka:
[Kak, tolong jawab. Aku mohon, jangan lakukan ini ke aku. Aku nggak ngerti kenapa Kakak kabur, tapi ini gila… Ayah nyuruh aku gantiin Kakak nikah sama pria yang aku bahkan nggak kenal.]
Aurelia memejamkan mata. Tapi tiba-tiba, ponselnya bergetar pelan.
Panggilan masuk dari kakaknya.
Dengan tangan gemetar, Aurelia menggeser layar. “Hallo?”
“Lia…” suara Devina terdengar pelan dan serak. Seperti seseorang yang menahan tangis terlalu lama.
“Kenapa, Kak?” suara Aurelia langsung pecah. “Kenapa Kakak pergi? Kenapa Kakak tinggalin semua ini ke aku?”
“Aku minta maaf…” bisik Devina. “Aku tahu kau pasti marah. Aku tahu aku pengecut…”
“Kakak nggak tahu apa-apa!” seru Aurelia, suara meninggi. “Ayah suruh aku nikah minggu depan! Tanpa tanya, tanpa pilihan. Aku bukan Kakak, Kak. Aku nggak bisa—”
“Lia…” potong Devina, suaranya mulai bergetar. “Aku benar-benar minta maaf. Aku nggak tahu harus gimana. Aku… aku nggak sanggup.”
“Kenapa?” desak Aurelia. “Apa sesulit itu? Setidaknya Kakak harus jelasin sesuatu! Jangan cuma kabur dan biarin aku ditumbalin terus-terusan demi keluarga! Ini nggak adil, Kak!”
Devina terdiam sejenak. Di ujung sana hanya terdengar napasnya yang berat, seperti mencoba menahan sesuatu yang terlalu besar.
Beberapa detik kemudian, dengan suara hampir berbisik, akhirnya ia berkata:
“Kak, tolong, sekali ini saja berhenti untuk jadiin aku tumbal kalian,” pinta Aurelia lagi setelah beberapa saat tidak kunjung mendapat sahutan dari kakaknya.
“Maaf, Lia, tapi kali ini aku benar-benar nggak bisa. Jadi, tolong Lia. Ini demi keluarga kita,” kata Devina di seberang.
Aurelia tertawa getir, lalu berkata, “Nggak ada keluarga yang merenggut hidup anggota keluarganya, Kak!”
Devina terdiam, tidak bisa menjawab ucapan adiknya.
“Lia, tapi dia keluarga kaya, kau pasti bisa bahagia kalau menikah dengannya,” kata Davina akhirnya.
“Kalau begitu kenapa bukan Kakak saja yang menikah dengannya? Kakak sudah mengenalnya, sudah tahu dia orangnya seperti apa, kenapa malah membatalkannya?!” gerutu Aurelia.
Saat ini, untuk menangis saja Aurelia tidak bisa. Perasaannya sudah campur aduk, sampai bingung harus mengekspresikan yang mana dulu. Selama ini, jalan hidupnya telah banyak direnggut keluarganya sendiri, dipaksa berkorban demi keluarga, sementara untuk dirinya sendiri harus banyak mengalah.
“Kakak nggak bisa menikah dengan Tuan Gian, Lia,” jawab Devina yang membuat Aurelia semakin muak.
“Iya kenapa nggak bisa, Kak? Apa alasannya?!” sahut Aurelia dengan suara semakin keras. Ia tak bisa menahan emosinya lagi.
“Karena Tuan Gian pria mengerikan, kasar, berhati dingin, dan yang paling penting … dia impoten.”
Klik.
Telepon tiba-tiba terputus.
Aurelia menatap layar ponsel yang kembali gelap, tangannya masih menggenggam erat seperti tak percaya.
Kalimat terakhir dari kakaknya terus terngiang di kepalanya, membuatnya semakin tak karuan.
Aurelia merasa, hidupnya benar-benar gila. Tiba-tiba dipaksa menikah dengan pria asing, dan ternyata pria itu kejam?
Bahkan, impoten?
Ini gila!
"Tidak! Ini naga milik Kakak! Genta mengambil milik Kakak!""Tidak! Milikku! Aku yang mengambilnya lebih dulu!" Teriakan nyaring khas anak-anak berusia pra-sekolah mengisi ruang keluarga yang dipenuhi cahaya senja. Aurelia, yang tengah duduk di sofa dengan laptop di pangkuan, tersenyum geli. Rasa lelah seharian mengajar dan melakukan riset seolah terhapus oleh kegaduhan yang hangat ini. Di karpet berbulu tebal, Anya dengan kuncir dua yang sudah agak berantakan berusaha sekuat tenaga menarik boneka naga hijau dari adiknya, Genta Alvaro Mahesa yang masih berusia dua tahunan. Bocah dengan wajah gembul dan pipi basah itu melawan dengan gigih, suaranya tercekat menahan tangis."Anya, Genta! Berbagi ya," tegur Aurelia lembut."Tetapi Genta tidak mau, Ma! Genta curang!" protes Anya, nyaris terisak.Aurelia menghela n
Gian yang tak sabaran dengan jawaban Aurelia lekas menghampiri istrinya itu.Mempelai wanita: Malika Wibisono, Ph.D.Mempelai pria: Dr. Daniel Pradipta. (Direktur Utama Rumah Sakit Hasan Solihin Bandung). Aurelia ternganga. Gian, yang sudah membungkuk untuk mengambil, ikut membaca nama itu dan mengangkat alisnya tinggi-tinggi."Profesor Malika?" seru Gian, terkejut. "Dosen pembimbingmu yang galak itu? Menikah?"Nyonya Lestari segera mendekat. "Siapa? Dosenmu? Ya ampun! Ini namanya takdir. Dia menemukan jodoh di usia matang. Siapa nama suaminya? Direktur rumah sakit? Bagus sekali, Lia! Kau harus datang!"Bu Mirna hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum. "Syukurlah kalau Profesor itu bahagia. Semua orang berhak bahagia." Aurelia tertaw
Kediaman keluarga Mahesa ramai bukan kepalang. Sebulan setelah kelahiran Anya, acara tasyakuran digelar dengan meriah. Nyonya Lestari, tentu saja, tidak bisa menahan diri. Meski awalnya dijanjikan sederhana, nyatanya taman belakang disulap dengan dekorasi bunga pastel, puluhan tamu kolega dan kerabat hadir, dan aroma kambing guling serta puluhan menu katering lainnya menguar di udara. Di kamar tamu utama, yang disulap menjadi markas ibu dan bayi, suasananya jauh lebih tenang. Aurelia duduk di tepi ranjang, lelah namun bahagia, mengamati putrinya yang tertidur pulas di dalam boks bayi kayu yang dihias kelambu. Anya terbungkus bedong merah muda lembut, tampak tak terganggu oleh keriuhan di luar."Dia benar-benar cucu Oma," bisik Nyonya Lestari yang baru saja masuk. Ia menatap Anya dengan bangga. "Lihat, tidur saja anteng. Tahu kalau lagi a
"Gian! Yang ini... yang ini beda!" Teriakan tertahan Aurelia di tengah malam buta itu menyentak Gian dari tidurnya. Ia langsung terduduk, jantungnya berdebar kencang. "Beda? Beda bagaimana? Apa sakitnya berlebihan?”Aurelia mencengkeram sprei, wajahnya pucat pasi di bawah cahaya lampu tidur. "Bukan... ini... Aduh!" Ia terdiam, mengatur napasnya persis seperti yang ia latih. "Bukan kram... ini... gelombang. Dan barusan... aku merasa ada yang 'pecah'."Gian melompat dari tempat tidur. "Pecah? Air ketuban? Oke! Oke! Tas!" Dalam lima menit, rumah yang hening itu berubah menjadi pusat komando yang panik namun teratur. Gian menyambar tas rumah sakit yang sudah dua minggu siaga di sudut kamar, membantu Aurelia mengenakan jubah paling nyaman, dan menuntunnya ke lift."Jaraknya berapa?" tanya Gian, berusaha terdengar te
Profesor Malika menatap lurus ke kamera. "Dewan penguji telah memutuskan bahwa tesis Anda yang berjudul 'Resiliensi Psikologis pada Perempuan yang Mengalami Kehilangan Janin Saat Hamil' dinyatakan... LULUS dengan revisi minor."Waktu seolah berhenti. Aurelia mengerjap, otaknya mencoba memproses kata "LULUS". Lalu, sebuah pekikan tertahan datang dari belakangnya. Gian melompat dari kursinya, menerjang Aurelia, dan memeluknya erat dari samping, mengangkat kursi kerjanya sedikit dari lantai."KAU BERHASIL, LIA! BERHASIL!" seru Gian, menciumi pelipis istrinya berkali-kali."Gian... aku tidak bisa napas..." tawa Aurelia pecah bercampur air mata. Ia akhirnya berhasil. Ia merosot dalam pelukan Gian, membiarkan semua ketegangan selama seminggu terakhir, bahkan setahun terakhir meleleh begitu saja.Di layar, para profesor tersenyum simpul, maklum melihat ledakan kebahagiaan itu."Sela
Aurelia tidak menjawab. Matanya terpaku pada layar ponsel, membaca sebaris subjek email yang membuat darah seolah surut dari wajahnya. Jantungnya yang tadi terasa ringan, kini berdebar kencang dengan ritme yang salah."Lia?" Gian menyentuh bahunya, mengintip layar ponsel di tangan istrinya."Ya Tuhan," bisik Aurelia. Gian merebut ponsel itu dengan lembut. Ia membaca isinya dengan cepat. Komite akademik telah meninjau draf final yang Aurelia kirimkan dua minggu dan mereka telah menetapkan keputusan yang akan menjadi saat yang menegangkan bagi sang istri tercinta."Selasa... pekan depan?" Suara Aurelia bergetar. Ia menatap kamar bayi yang baru setengah jadi itu. Ranjang bayi, dinding krem, mobile bintang-bintang. Semua terasa seperti mimpi yang jauh."Hei," Gian memegang kedua bahu Aurelia, memaksanya berbalik












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen