Dipaksa menggantikan sang kakak sebagai mempelai wanita, Aurelia harus menikahi Gian Alvaro, pria asing yang dikenal dingin, kejam, dan... impoten. Pernikahan itu bukan karena cinta, melainkan demi menyelamatkan keluarganya dari kehancuran. Dalam hitungan hari, ia mengucap janji suci pada pria yang tak pernah ia kenal, di tengah sorot mata penuh penolakan dan pesta tanpa kebahagiaan. Namun, waktu perlahan mengubah segalanya. Di balik kebekuan sang suami, tersembunyi luka yang dalam. Dan di antara jarak serta keterasingan, tumbuh perasaan yang tak bisa dibendung. Tapi benarkah cinta bisa lahir dari paksaan? Atau hanya membawa keduanya menuju jurang kehancuran? Cover by @tiadesign_ #LombaMenulisGoodnovel #tibatibamenjadimilikmuGN #GoodnovelIndonesia #GoodNovel
Lihat lebih banyakKeheningan menggantung di dalam mobil seperti kabut tebal yang enggan sirna. Aurelia menatap lurus ke depan, menahan napas yang terasa sesak di dada. Ia tahu, ia harus menahan diri. Harus menyabarkan diri. Kata-kata barusan dari ibu mertuanya masih membekas, mengaduk-aduk perasaannya seperti ombak yang menghantam karang tanpa jeda.Aurelia menunduk, mengalihkan pandangan dari pantulan wajahnya di jendela. Ada sekilas gurat sedih yang tak bisa ia sembunyikan, walau hanya untuk dirinya sendiri. Mobil melaju perlahan melewati pepohonan rindang yang daunnya tampak menguning sebagian. Hari hampir gelap, dan sinar matahari terakhir menyorot jendela, membuat semuanya tampak suram.Beberapa menit berlalu tanpa suara. Lalu, tepat saat mobil memasuki kawasan apartemen, suara Nyonya Lestari kembali terdengar."Bagaimanapun juga, kau adalah istri Gian sekarang. Aku bisa apa selain menerimamu, hmm?"Kalimat itu jatuh seperti embun yang menetes di padang pasir. Tak sej
"Aku sudah pesankan menu favoritmu. Aurelia juga pesan yang sama," kata Kirana sambil tersenyum begitu Gian muncul di hadapan mereka.Gian mengangguk singkat, “Terima kasih.” Ia lalu menunduk sopan, mencium punggung tangan ibunya. “Apa kabar, Bu?”“Ibu baik. Senang bisa melihatmu,” jawab Nyonya Lestari sambil tersenyum kecil.Setelah itu, Gian menoleh pada Aurelia dan mengecup pipi kanannya. Hangat, namun terasa lebih seperti formalitas ketimbang sapaan kasih yang biasa.“Sudah lama nunggu?”Aurelia menggeleng. “Baru sebentar.”Gian lalu menarik kursi dan duduk tepat di sebelah istrinya. Makan siang pun dimulai. Menu makanan mulai berdatangan satu demi satu, diantar pelayan dengan cekatan.Namun, suasana tetap terasa aneh. Meskipun aroma makanan menggoda dan suasana restoran mendukung, tetap ada kekakuan yang tak bisa disembunyikan.Gian tahu itu. Dia sadar penuh akan
Aurelia berdiri terpaku. Matanya tak lepas dari pemandangan kecil namun menyesakkan itu—Kirana menggandeng lengan Nyonya Lestari dengan ringan, akrab, dan tanpa beban.Mereka tampak seperti ibu dan anak yang tengah bersantai bersama. Tidak ada keraguan di langkah mereka, tidak ada jeda di antara percakapan yang tampak nyaman.Dan di sanalah Aurelia, berdiri sendirian, merasa seperti orang luar yang tidak diundang ke kehidupannya sendiri.Aurelia menegakkan bahu, mencoba menyusun kembali senyum ramah yang mulai luntur. Ia menelan ludah, lalu menatap Kirana dengan sorot mata datar. Tak ingin menunjukkan bahwa hatinya sedang berkecamuk.“Lia, aku dan Kirana tadi memang janjian,” ucap Nyonya Lestari akhirnya, seperti menjawab pertanyaan yang belum sempat Aurelia lontarkan. “Ada beberapa hal yang perlu dibicarakan soal perusahaan Gian. Kirana banyak membantu.”“Oh…” Aurelia mengangguk, berusaha menyembuny
“Lupakan saja.”Itu yang dikatakan oleh Aurelia malam itu, dengan suara yang berusaha tegar. “Maaf kalau aku mungkin melewati batas. Pikiranku tadi mulai aneh. Sudahlah.”Aurelia lekas memejamkan mata, seolah ingin menyudahi percakapan sebelum hatinya benar-benar runtuh. Namun, ia sadar akan pergerakan pelan dari Gian. Suaminya itu membalikkan badan, hingga kini mereka saling berhadapan. Tak ada kata-kata, hanya kecupan ringan yang hangat di keningnya.Pagi berikutnya, udara sedikit lebih cerah. Sisa-sisa hujan semalam membekas di dedaunan, tapi langit tampak bersih. Di kampus, Aurelia mencoba membenahi pikirannya. Ia menyambut hari dengan semangat baru, bertekad menyibukkan diri.Di kantin, ia duduk bersama Wulan dan Doni, dua sahabatnya yang selalu punya cara membuat segalanya terasa lebih ringan—atau minimal, lebih absurd.“Aku harus gimana lagi ya buat cari waktu luang,” ucap Aurelia sambil menusuk-nusuk boba dengan sedotan. “Biar otak ini nggak sempat mikir yang aneh-aneh.”“Lah,
Hujan turun pelan saat Aurelia keluar dari kelas terakhir sore itu. Langit mendung menggantung berat di atas kampus, seolah ikut merasakan berat di dadanya. Payung merah muda yang ia bawa tak mampu menutupi kegelisahan yang membayang sejak pagi.Langkahnya pelan. Sepatu flat-nya menyentuh genangan air tipis, meninggalkan jejak yang samar di jalan setapak menuju parkiran. Gian sudah berjanji akan menjemput—dan seperti biasanya, pria itu menepati ucapannya. Mobil hitam milik Gian sudah menunggu di ujung jalan, terparkir rapi.Aurelia menarik napas dalam. Ia melangkah masuk, membuka pintu dan duduk tanpa suara. Di dalam mobil, kehangatan menyambutnya. Namun bukan dari Gian, melainkan dari penghangat otomatis.“Hujannya deras di arah barat. Tadi aku hampir putar balik,” ujar Gian sambil menyandarkan tangan di setir, berusaha mencairkan suasana.Aurelia hanya mengangguk. Tidak menjawab.Semenjak insiden lipstik tadi pagi, pikirannya terus dipenuhi pertanyaan. Tentang Kirana. Tentang Gian.
Gian mengerang frustrasi. Ia langsung menangkap tangan Aurelia yang sejak tadi berkelana terlalu jauh. Dalam hitungan detik, tubuhnya langsung berbalik, tak lagi dalam posisi berbaring.Sementara Aurelia yang tidak siap dengan perubahan itu memekik ringan, tubuhnya terhempas dan jatuh dari punggung Gian. Namun, sebelum benar-benar terjerembab ke kasur, lengan kuat Gian sudah menahan tubuhnya, membuat posisinya kini di atas tubuh sang suami yang sudah terlentang."Kenapa?" tanya Aurelia, pura-pura polos dengan napas sedikit tersengal.Namun, Gian tidak menjawab. Matanya tajam memandangi wajah istrinya. Tangannya perlahan naik, menyusuri pipi Aurelia. Telunjuk dan ibu jarinya menyapu bibir istrinya pelan, seolah sedang menakar berapa besar godaan yang tadi dilancarkan wanita itu."Kau mau menggodaku ya, hmm?" bisik Gian rendah, suaranya serak dan dalam.Aurelia terkekeh pelan. Bibirnya membentuk senyum penuh tantangan. Dan malam itu... menjadi malam
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen