Pagi itu, jam dinding di ruang makan baru saja menunjuk angka tujuh lewat lima menit. Aroma roti panggang dan susu hangat memenuhi udara, namun keadaan itu terasa hampa bagi Aurelia. Ia bangun lebih awal dari biasanya, bukan karena tidur nyenyak, melainkan karena pikirannya yang terlalu bising untuk bisa beristirahat.
Di meja makan, ia duduk tegak, menyendok roti dengan gerakan pelan. Wajahnya terlihat tenang, tapi sikap dingin yang tersisa dari malam sebelumnya masih jelas terasa. Gian memperhatikan diam-diam—ada jarak tipis yang tidak seharusnya ada di antara mereka.
Nyonya Lestari, yang sejak tadi duduk di seberang, menatap keduanya secara bergantian. Matanya tajam, seolah hendak mengupas setiap lapisan pikiran menantunya.
"Di luar sana sedang tidak baik-baik saja," ucapnya kemudian, nadanya dingin tapi tegas. "Lebih baik kalian jangan keluar."
Aurelia meletakkan sendoknya, lalu menggeleng pelan. "Maaf, tapi aku ada kelas penting pagi ini. Dosenn
Pagi itu, udara di halaman belakang terasa lebih sejuk dari biasanya. Embun masih melekat di dedaunan, berkilau terkena cahaya mentari yang baru naik. Aroma mawar yang mekar memenuhi udara, lembut namun menusuk hati Aurelia yang berdiri di sana. Ia menatap taman dengan tatapan kosong, berusaha menenangkan pikirannya yang sejak semalam dipenuhi bayangan waktu keberangkatannya yang semakin dekat.Di dalam dada, ada desir perasaan yang tak bisa ia hentikan—antara lega karena sebentar lagi bisa menjauh dari luka, dan takut karena artinya ia benar-benar meninggalkan semua yang pernah ia cintai di rumah itu.“Lia,” sebuah suara lembut memanggil dari arah teras.Aurelia menoleh. Nyonya Lestari berdiri di sana. Tidak lagi dengan sorot tajam yang selama ini begitu sering menusuk hatinya. Wajahnya tampak lebih lembut, keriput di sudut mata menandakan penyesalan dan kerinduan yang tak bisa disembunyikan. Senyum kecil wanita itu membuat Aurelia sejenak ter
“Aku tidak benci, tapi aku hanya kecewa…”Suara Aurelia terdengar lirih, namun tajam. Kata-katanya jatuh seperti butiran es yang membekukan udara di dalam mobil. Matanya lurus menatap jalan, enggan sedikit pun menoleh ke arah Gian yang duduk di kursi pengemudi. Jalanan menjelang sore itu cukup ramai—klakson bersahutan, motor saling serobot, dan hiruk-pikuk manusia yang terburu waktu. Tetapi semua itu seakan hanya menjadi latar samar. Yang benar-benar mencekam adalah keheningan di antara mereka.“Aku kecewa karena kau tidak mempercayaiku,” lanjut Aurelia, kali ini nadanya bergetar. Bibirnya menahan sesuatu yang lebih besar dari sekadar kata-kata, seolah ada tangis yang mendesak untuk pecah namun terus dipaksa kembali ke dalam. “Padahal dari awal aku sudah katakan, aku ingin kita saling terbuka. Kalau sejak dulu kau ragu padaku, buat apa kita bertahan, Gian?”Gian menarik napas panjang. Jari-jarinya mencengkeram set
Kantin kampus saat itu ramai, seperti biasa di jam makan siang. Suara sendok beradu dengan piring, obrolan mahasiswa yang bersahutan, dan aroma berbagai macam makanan khas kantin berpadu jadi satu. Di pojok ruangan, Aurelia duduk bersama dua sahabatnya, Wulan dan Doni. Mereka baru saja memesan makanan dan kini tengah menikmati obrolan santai yang ternyata beralih jadi topik serius.“Kata Bu Wiwid aku butuh skor IELTS setidaknya 8,5. Sekarang skorku masih di angka 7.”Aurelia meletakkan sendoknya, matanya berkilat penuh tekad.“Terus bagaimana?” tanya Wulan, menghentikan gerakan tangannya yang tadinya hendak menyendok nasi goreng.Aurelia menghela napas singkat, lalu menatap sahabat-sahabatnya itu bergantian. “The faster, the better. Aku bisa belajar di sana sekalian. Jadi sebelum mulai short course-ny
“Short course-nya kemungkinan besar di Australia. Cuma aku belum tahu di bagian mananya,” ucap Aurelia dengan sorot mata berbinar. Ada semacam cahaya baru yang terpancar dari dirinya, seolah mimpi yang dulu hanya dipendam kini mendekati nyata. “Aku akan menetap di sana hanya tiga bulan … mungkin?” lanjutnya, sedikit ragu tapi juga penuh harapan.Nyonya Lestari terdiam. Bibirnya sempat bergerak hendak berkata sesuatu, namun tak ada suara keluar. Bagi perempuan itu, mendengar Aurelia bicara dengan penuh semangat seperti ini membuat hatinya bergetar. Ia baru sadar, selama ini terlalu sibuk mengukur Aurelia dengan standar dirinya, hingga lupa bahwa menantunya ini punya mimpi dan jalan hidup sendiri.Gian sudah berada di kamar sejak tadi. Pikiran lelaki itu kusut, terlalu banyak yang bergelayut dalam benaknya. Sementara di ruang tamu, percakapan Aurelia dengan kedua mertuanya terus berlanjut.“Ayah akan dukung apa pun yang membuat
Kata-kata yang meluncur dari bibir Aurelia—disusul nasihat penuh ketegasan sekaligus dukungan dari ayahnya sendiri—menusuk lebih dalam daripada luka apa pun yang pernah ia rasakan sepanjang hidupnya. Jantungnya berdegup kencang, namun tubuhnya kaku membeku. Ia berdiri di ambang pintu, menyaksikan sang istri duduk dengan tatapan yang tak lagi sama. Ada cahaya samar di mata Aurelia, seolah ia menemukan secercah jalan baru—jalan yang tak lagi melibatkan dirinya.Gian menelan ludah yang getir. Tangannya mengepal begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Wajahnya memucat. Ada dorongan kuat untuk berbalik, pura-pura tak pernah mendengar ucapan itu. Namun naluri hatinya menolak. Aurelia adalah rumahnya, jangkar yang selama ini menahan dirinya agar tidak tenggelam. Bagaimana mungkin ia bisa diam saja ketika rumah itu hendak menjauh, meninggalkannya sendirian?Dengan langkah berat, ia mendo
Langit sore berangsur gelap, membawa hawa dingin yang kian menusuk. Lampu kamar menyala temaram, cahaya kuning redup itu membiaskan bayangan panjang di dinding. Dalam keheningan yang hampir mencekik, kata-kata Aurelia masih bergaung di udara, seperti gema yang tak mau hilang.“Aku ingin kita berpisah saja.”Ucapan yang terlontar beberapa saat lalu itu jatuh bagai palu godam, menghantam tepat di dada Gian. Ia terdiam, tubuhnya terpaku, jantungnya berdentum tak beraturan tapi anehnya terasa beku. Tatapannya lurus ke arah istrinya yang duduk di tepi ranjang. Wajah Aurelia datar, matanya kosong, seolah bukan lagi wanita yang dulu selalu tersenyum lembut menatapnya.Sunyi menyelubungi kamar. Hanya suara jam dinding yang terdengar, berdetak perlahan, seperti menghitung waktu menuju kehancuran.Beberapa saat kemudian, Gian menarik napas panjang. Suaranya rendah, dalam, namun sarat dengan tekad yang tak tergoyahkan.“Aku…