“Short course-nya kemungkinan besar di Australia. Cuma aku belum tahu di bagian mananya,” ucap Aurelia dengan sorot mata berbinar. Ada semacam cahaya baru yang terpancar dari dirinya, seolah mimpi yang dulu hanya dipendam kini mendekati nyata. “Aku akan menetap di sana hanya tiga bulan … mungkin?” lanjutnya, sedikit ragu tapi juga penuh harapan.
Nyonya Lestari terdiam. Bibirnya sempat bergerak hendak berkata sesuatu, namun tak ada suara keluar. Bagi perempuan itu, mendengar Aurelia bicara dengan penuh semangat seperti ini membuat hatinya bergetar. Ia baru sadar, selama ini terlalu sibuk mengukur Aurelia dengan standar dirinya, hingga lupa bahwa menantunya ini punya mimpi dan jalan hidup sendiri.
Gian sudah berada di kamar sejak tadi. Pikiran lelaki itu kusut, terlalu banyak yang bergelayut dalam benaknya. Sementara di ruang tamu, percakapan Aurelia dengan kedua mertuanya terus berlanjut.
“Ayah akan dukung apa pun yang membuat
Langkah kaki Aurelia yang menghilang di balik gate seakan meninggalkan jejak berat di dada Gian. Punggungnya yang terakhir kali terlihat, rambut panjang yang sempat tergerai sebentar sebelum benar-benar lenyap ditelan kerumunan, membuat Gian terpaku. Ia berdiri tanpa suara, hanya napasnya yang terdengar berat.Bandara terasa bising oleh pengumuman keberangkatan dan langkah-langkah terburu-buru penumpang lain, tapi di telinganya hanya ada satu gema: kepergian Aurelia.Gian sungguh ingin berlari, ingin memanggilnya kembali. Namun, dia harus menahan diri. Tidak. Itu egois. Aurelia berhak menjalani pilihannya, berhak meraih mimpinya.Namun, dalam hati Gian berbisik pelan, Aku harus jadi lelaki yang pantas menjemputnya kembali. Jika memang waktu yang dibutuhkan, aku akan bersabar. Jika memang perbaikan diri yang diminta, aku akan berubah.Senyum tipis muncul, bukan karena bahagia, melainkan tekad yang sudah menancap di dalam hati.Dalam perjala
Gian akhirnya melanjutkan kalimatnya. Suaranya dalam, bergetar tapi tegas.“…jangan pernah anggap aku menyerah. Aku akan berjuang untuk mendapatkan kembali hatimu, meski butuh waktu seumur hidup.”Nada suaranya seakan merayap menembus dinding hati Aurelia, yang sejak awal sudah ia bangun begitu kokoh agar tak mudah runtuh. Pagi itu, keheningan di ruang tamu dipenuhi detak jam dinding yang terasa lebih nyaring dari biasanya.Aurelia menelan ludah. Ia tidak tahu harus membalas apa. Bibirnya sempat bergerak, tapi tak ada kata keluar. Mata Gian memancarkan ketulusan yang sulit diabaikan, tatapan yang tak lagi sombong atau penuh gengsi, melainkan rapuh, hampir seperti seorang pria yang kehilangan arah bila Aurelia benar-benar pergi.Namun Aurelia tak ingin larut. Ia hanya menarik napas panjang, mencoba menenangkan gelombang dalam dirinya. “Jangan berkata begitu, Gian. Aku… aku tidak tahu apa yang
Pagi itu, udara di halaman belakang terasa lebih sejuk dari biasanya. Embun masih melekat di dedaunan, berkilau terkena cahaya mentari yang baru naik. Aroma mawar yang mekar memenuhi udara, lembut namun menusuk hati Aurelia yang berdiri di sana. Ia menatap taman dengan tatapan kosong, berusaha menenangkan pikirannya yang sejak semalam dipenuhi bayangan waktu keberangkatannya yang semakin dekat.Di dalam dada, ada desir perasaan yang tak bisa ia hentikan—antara lega karena sebentar lagi bisa menjauh dari luka, dan takut karena artinya ia benar-benar meninggalkan semua yang pernah ia cintai di rumah itu.“Lia,” sebuah suara lembut memanggil dari arah teras.Aurelia menoleh. Nyonya Lestari berdiri di sana. Tidak lagi dengan sorot tajam yang selama ini begitu sering menusuk hatinya. Wajahnya tampak lebih lembut, keriput di sudut mata menandakan penyesalan dan kerinduan yang tak bisa disembunyikan. Senyum kecil wanita itu membuat Aurelia sejenak ter
“Aku tidak benci, tapi aku hanya kecewa…”Suara Aurelia terdengar lirih, namun tajam. Kata-katanya jatuh seperti butiran es yang membekukan udara di dalam mobil. Matanya lurus menatap jalan, enggan sedikit pun menoleh ke arah Gian yang duduk di kursi pengemudi. Jalanan menjelang sore itu cukup ramai—klakson bersahutan, motor saling serobot, dan hiruk-pikuk manusia yang terburu waktu. Tetapi semua itu seakan hanya menjadi latar samar. Yang benar-benar mencekam adalah keheningan di antara mereka.“Aku kecewa karena kau tidak mempercayaiku,” lanjut Aurelia, kali ini nadanya bergetar. Bibirnya menahan sesuatu yang lebih besar dari sekadar kata-kata, seolah ada tangis yang mendesak untuk pecah namun terus dipaksa kembali ke dalam. “Padahal dari awal aku sudah katakan, aku ingin kita saling terbuka. Kalau sejak dulu kau ragu padaku, buat apa kita bertahan, Gian?”Gian menarik napas panjang. Jari-jarinya mencengkeram set
Kantin kampus saat itu ramai, seperti biasa di jam makan siang. Suara sendok beradu dengan piring, obrolan mahasiswa yang bersahutan, dan aroma berbagai macam makanan khas kantin berpadu jadi satu. Di pojok ruangan, Aurelia duduk bersama dua sahabatnya, Wulan dan Doni. Mereka baru saja memesan makanan dan kini tengah menikmati obrolan santai yang ternyata beralih jadi topik serius.“Kata Bu Wiwid aku butuh skor IELTS setidaknya 8,5. Sekarang skorku masih di angka 7.”Aurelia meletakkan sendoknya, matanya berkilat penuh tekad.“Terus bagaimana?” tanya Wulan, menghentikan gerakan tangannya yang tadinya hendak menyendok nasi goreng.Aurelia menghela napas singkat, lalu menatap sahabat-sahabatnya itu bergantian. “The faster, the better. Aku bisa belajar di sana sekalian. Jadi sebelum mulai short course-ny
“Short course-nya kemungkinan besar di Australia. Cuma aku belum tahu di bagian mananya,” ucap Aurelia dengan sorot mata berbinar. Ada semacam cahaya baru yang terpancar dari dirinya, seolah mimpi yang dulu hanya dipendam kini mendekati nyata. “Aku akan menetap di sana hanya tiga bulan … mungkin?” lanjutnya, sedikit ragu tapi juga penuh harapan.Nyonya Lestari terdiam. Bibirnya sempat bergerak hendak berkata sesuatu, namun tak ada suara keluar. Bagi perempuan itu, mendengar Aurelia bicara dengan penuh semangat seperti ini membuat hatinya bergetar. Ia baru sadar, selama ini terlalu sibuk mengukur Aurelia dengan standar dirinya, hingga lupa bahwa menantunya ini punya mimpi dan jalan hidup sendiri.Gian sudah berada di kamar sejak tadi. Pikiran lelaki itu kusut, terlalu banyak yang bergelayut dalam benaknya. Sementara di ruang tamu, percakapan Aurelia dengan kedua mertuanya terus berlanjut.“Ayah akan dukung apa pun yang membuat