“Bu…” Gian menarik napas. “Memangnya Kenapa? Kenapa Ibu tanya begitu?”
“Ibu dengar Devina datang ke kantormu. Saat makan siang,” jawab ibunya dengan tenang.
Gian mengerjap. Jadi kabar itu sudah sampai ke telinga sang ibu. Ia memijat pangkal hidung, mengingat kembali tatap mata Devina di ruangannya—tenang, yakin, dan kalimat yang disuarakan tanpa berputar: Ceraikan Aurelia. Ia menolak di tempat.
“Ya, dia datang,” ucap Gian akhirnya. “Tanpa janji. Membawa rantang, menawarkan makan siang. Kami hanya bicara sebentar.”
“Sebentar?” Nyonya Lestari mengangkat alis. “Lalu … apa dia meminta sesuatu?”
Gian menahan desah. “Dia ingin aku menceraika
“Maaf ya, Sayang. Ada masalah urgent. Nanti aku hubungi kembali.”Pesan singkat itu akhirnya terkirim juga. Gian memandang layar ponselnya beberapa detik lebih lama dari biasanya, seolah sedang berharap Aurelia tetap mengerti meski ia tahu, entah untuk yang keberapa kali, ia menunda waktu untuk sang istri. Jempolnya sempat ragu sebelum menekan tombol kirim, tetapi realitas di depannya tidak memberinya pilihan lain.Dengan tarikan napas panjang, Gian memasukkan ponselnya ke saku jas. Dunia nyata menuntut kehadirannya, bahkan saat ia ingin sekali memilih Aurelia di seberang samudra.Begitu langkahnya mendekati pintu utama, suara riuh mulai terdengar. Sorotan lampu kamera, percikan blitz, dan teriakan dari awak media memecah kesunyian rumah dinas yang biasanya teduh. “Pak Gian! Betul Anda bertemu Chef Devina tadi siang?!”“Apakah b
“Bu…” Gian menarik napas. “Memangnya Kenapa? Kenapa Ibu tanya begitu?”“Ibu dengar Devina datang ke kantormu. Saat makan siang,” jawab ibunya dengan tenang.Gian mengerjap. Jadi kabar itu sudah sampai ke telinga sang ibu. Ia memijat pangkal hidung, mengingat kembali tatap mata Devina di ruangannya—tenang, yakin, dan kalimat yang disuarakan tanpa berputar: Ceraikan Aurelia. Ia menolak di tempat.“Ya, dia datang,” ucap Gian akhirnya. “Tanpa janji. Membawa rantang, menawarkan makan siang. Kami hanya bicara sebentar.”“Sebentar?” Nyonya Lestari mengangkat alis. “Lalu … apa dia meminta sesuatu?”Gian menahan desah. “Dia ingin aku menceraika
Aurelia mengangguk sebagai isyarat bahwa ia menerima tawaran Baskara. Keputusan itu diiringi detak jantung yang terasa berdentum lebih keras daripada biasanya.Ia meneguhkan hatinya, mengingatkan diri bahwa pria ini bukan orang asing sepenuhnya. Ia adalah ayah dari Caca—murid les privatnya. Jadi, bukankah wajar jika ia percaya? Bukankah ada benang penghubung yang membuat hubungan mereka sedikit lebih aman?Namun, ketika mereka keluar dari restoran, sebuah kejutan kecil menyambutnya. Aurelia semula mengira Baskara sendiri yang akan mengemudi. Ternyata ia salah besar. Sebuah mobil hitam elegan sudah menunggu di depan pintu, dan seorang sopir berdiri sigap, membukakan pintu untuk mereka.Aurelia agak kikuk. Ia masuk ke dalam mobil, duduk di samping Baskara. Aroma kulit sintetis yang mahal memenuhi ruang sempit itu. Tanpa banyak bicara, Baskara segera mengeluarkan gawainya. Jemarinya bergerak lincah di atas layar ponsel, dan dalam sekejap ia sudah terlibat dal
Aurelia sontak berdiri dari kursi, tubuhnya terasa panas meski angin dingin dari ventilasi restoran berembus lembut. Wajahnya memerah, antara marah dan malu, matanya membelalak menatap pria di hadapannya.“Maaf, tapi aku sudah menikah. Dan aku rasa tidak pantas mendengar ucapan seperti itu,” katanya dengan suara bergetar namun tegas.Beberapa orang di meja sekitar sempat melirik ke arah mereka, membuat Aurelia semakin risih. Ia menunduk sebentar, lalu menarik napas panjang untuk menenangkan diri.Sementara Baskara justru terkekeh kecil, wajahnya tenang, seolah menikmati reaksi Aurelia. “Hei, jangan salah paham. Maksudku bukan ke arah itu. Aku hanya bercanda,” ujarnya sambil mengangkat tangan seolah menyerah. “Kata ‘menarik’ yang kumaksud bukan soal pribadi… tapi karena aku baru terpikir, kau mungkin cocok jadi asistenku untuk sementara waktu.”Aurelia mengerutkan kening. “Asisten?” ulangny
Tidak. Dia tak berani melihat ke arah tadi. Aurelia menutup matanya rapat-rapat, tubuhnya gemetar hebat seolah ingin lenyap dari dunia.Suaranya mulai terisak, lirih namun jelas, “No! Don’t hurt me, please!!”Hening sepersekian detik. Detak jantungnya memekakkan telinga, lebih keras daripada riuh lalu lintas di sekitarnya. Hingga kemudian—“Tenanglah. Aku tidak akan menyakitimu.”“Tidak!!” sentak Aurelia yang sudah berhasil melepaskan tangannya dengan cepat. Sesaat kemudian dia menyadari sesuatu. Yang tadi itu …Aurelia spontan membuka kelopak matanya lebar-lebar. Sungguh tak masuk akal, tapi suara itu jelas sekali. Bukan hanya karena bernada tenang, melainkan karena… orang tadi bisa berbahasa Indonesia? Begitulah yang ada di pikirannya.“Bu Aurelia. Ini aku.”Kepalanya berputar cepat, matanya fokus pada sosok pria dengan wajah tegas dan senyum yang ter
Aurelia duduk sendirian di sebuah kafe kecil di sudut Lygon Street. Aroma kopi hangat bercampur dengan wangi roti panggang menyelimuti ruang itu. Dari balik kaca besar di sampingnya, ia bisa melihat orang-orang berlalu-lalang dengan ritme hidup khas kota besar—cepat, penuh tujuan, dan nyaris tanpa jeda.Ia menggenggam ponselnya, menatap layar yang masih menampilkan percakapan terakhir dengan Sophia. Aurelia sudah mengetik kalimat itu berulang kali: Turut berduka cita, Sophia. Semoga nenekmu tenang di sana. Namun, ia tetap merasa kata-katanya kurang. Ada sesuatu yang ingin ia sampaikan lebih dalam, tapi tak tahu bagaimana caranya. Akhirnya, ia menekan tombol kirim juga, lalu bersandar pada kursinya dengan helaan napas panjang.“Semoga Sophia kuat,” gumamnya lirih, sebelum menyeduh sisa cappuccino yang mulai mendingin.