Aurelia gugup, suaranya nyaris hilang, tetapi pada akhirnya ia memberanikan diri begitu melihat Tuan Mahesa mengangguk pelan.
“Tolong jangan beri tahu Gian tentang apa yang terjadi hari ini ya, Ayah. Bahkan pertemuan kita sekalipun.”
Ia menahan napas setelah kalimat itu meluncur keluar. Kata-katanya seperti menabrak dinding yang kokoh, lalu bergema kembali di telinganya sendiri. Ada ketakutan yang nyata dalam dirinya—ketakutan kalau permintaan itu dianggap lancang, tidak sopan, atau bahkan menyinggung perasaan sang ayah mertua.
Sejenak Aurelia membayangkan skenario terburuk: Gian mengetahui pertemuan ini. Wajah suaminya akan mengeras, sorot matanya dipenuhi kemarahan, lalu ia menuduh Aurelia menyembunyikan sesuatu. Hanya bayangan itu saja sudah cukup membuat perut Aurelia mual.
Namun, di balik tatapan mata Tuan Mahesa, Aurelia menemukan sesuatu yang tidak ia duga, yakni pengertian.
Pria paruh baya itu menatapnya lekat, lalu menghe
Udara malam Melbourne menyusup lewat celah tirai yang tidak tertutup rapat. Hembusannya dingin, menyusup masuk hingga membuat lampu meja yang redup bergetar halus karena gorden tipis bergoyang. Di luar sana, lampu kota berkelip seperti permata jauh di bawah, tetapi suasana di dalam kamar hotel justru penuh dengan sisa ketegangan yang belum sepenuhnya hilang.“Aku mana tahu kalau kau mengenal Baskara. Salahku lagi?” sentak Aurelia dengan nada tinggi. Suaranya memecah keheningan, bagai belati yang melesat tepat ke dada Gian.Gian menegang. Rahangnya mengeras, otot-otot wajahnya kaku, namun perlahan ekspresinya melunak. Ada kelelahan sekaligus penyesalan yang tampak di matanya. “Maaf,” katanya akhirnya, suara rendah itu terdengar tulus. “Aku tidak bermaksud menyalahkanmu.”Aurelia menghela napas panjang, dadanya naik turun perlahan.
“Kita pergi dari sini atau aku akan membawamu secara paksa.”Kalimat tegas itu membuat Aurelia berdecak, meski jantungnya berdegup kencang. Ia tahu betul, Gian tidak pernah bermain-main dengan ancamannya. Mau tak mau, ia menghela napas panjang, pasrah.“Maaf ya, Bas. Kami pergi dulu,” katanya pada Baskara, suara lirihnya berusaha terdengar tenang.Pria itu hanya mengangguk sambil tersenyum tipis, seolah menikmati setiap ketegangan yang tercipta.Di sinilah Aurelia dan Gian sekarang. Mereka baru saja memasuki salah satu kamar hotel mewah di sekitaran CBD Melbourne. Ruangan modern dengan nuansa hangat, lampu redup, dan balkon menghadap kota yang berkilau. Namun, suasana hati Aurelia jauh dari kata hangat.“Sebentar lagi makanan kita akan datang. Apa kau ingin tambahan lagi?” tanya Gian setelah pintu kamar tertutup rapat.Aurelia menggeleng, duduk di ujung sofa dengan wajah kusut. “Kenapa harus ke sini
Pelukan itu seharusnya mampu menenangkan hati Aurelia. Seharusnya bisa meredakan semua keraguan yang berputar di kepalanya. Namun, kenyataannya berbeda. Tubuhnya memang merasakan hangat, tetapi hatinya justru terasa dingin. Ia terdiam, membeku di dalam dekapan Gian yang begitu erat. Aroma lavender yang ia semprotkan pagi tadi kini memenuhi indera penciuman Gian, seolah mengunci semua kerinduan yang telah lama ia pendam.Namun, justru pada detik itulah Aurelia merasakan sesuatu yang retak. Dengan perlahan, ia mendorong dada Gian hingga jarak di antara mereka tercipta kembali. Matanya berkaca-kaca, bibirnya bergetar menahan kata-kata.“Kenapa… kenapa kau kemari?” tanyanya lirih, tapi penuh getaran.Gian menelan ludah, rahangnya mengeras. Ia ingin menjawab, tetapi lidahnya terasa kelu. Dari tatapan Aurelia dirinya tahu betul bahwa istrinya itu senang, tetapi ada perasaan gelisah yang berusaha ditutupi sekuat mungkin.Aurelia tersenyum geti
Aurelia membeku di tempat. Jantungnya serasa berhenti berdetak ketika matanya menangkap sosok yang sama sekali tak ia sangka akan hadir di acara sebesar Melbourne Fashion ini.Gian. Ya, suaminya sendiri. Tepat di samping Gian, berdiri Devina—kakak kandungnya.Seketika tubuh Aurelia kaku. Tak sanggup ia menyembunyikan keterkejutannya. Kehadiran dua orang yang sangat dekat dengannya itu dalam satu waktu, satu ruang, membuat kepalanya berputar. Kenapa mereka bisa ada di sini? Pertanyaan itu menyesakkan dadanya.Sementara itu, Gian sama terkejutnya. Ia tak pernah membayangkan kalau Aurelia akan hadir di pertemuan bisnis semacam ini. Bukankah istrinya itu sedang sibuk mengikuti program persiapan belajar bahasa Inggris di kota ini? Begitu pikirnya. Namun kini, kenyataan di depan mata membuat kepalanya semakin berat. Terlebih k
“Bas, aku gugup,” cicit Aurelia, suaranya nyaris bergetar, seperti tangis yang tertahan di tenggorokan.Baskara, yang berdiri di sampingnya dengan tubuh tegap, hanya terkekeh kecil. Ada ketenangan dalam sorot matanya—tatapan teduh yang seolah mampu menyalurkan rasa percaya diri. Ia lalu meraih tangan Aurelia, menggenggamnya erat, lembut, sekaligus meneguhkan. “I trust you,” ujarnya pelan, penuh keyakinan. “Ingatlah, ini akan jadi momen berharga dalam hidupmu.”Aurelia memberengut, pipinya merona merah, campuran antara malu dan tegang. Ia menunduk sedikit, seakan berusaha menyembunyikan wajahnya. “Jangan bilang begitu,” rengeknya. “Kalau nanti aku hanya mempermalukanmu, bagaimana?”Baskara mengangkat bahu dengan enteng, senyumnya tipis tapi penuh wibawa. “Biarkan saja. Semua orang ada masanya. Semua masa ada orangnya. Tidak sela
Nyonya Lestari terdiam sebentar. Otaknya berpikir cepat, mencari celah untuk membantah, tetapi rasanya sulit. Anak laki-lakinya itu berdiri dengan tatapan begitu penuh harapan, seolah tidak ada satu pun kata yang bisa mengusik keyakinannya."Apa kau yakin?" tanyanya akhirnya, suaranya nyaris hanya bisikan.Gian mengangguk mantap. Sorot matanya tidak goyah sedikit pun. Ada dingin yang menusuk, tapi juga keyakinan membara di baliknya.Ibunya itu mengernyit, menimbang lagi. "Apa tidak sebaiknya kau bicarakan dulu dengan Aurelia? Apalagi tentang hubunganmu dengan—""Aku yakin, Bu." Gian memotong tanpa keraguan. Nada suaranya tegas, seolah tak memberi ruang untuk sang ibu menambahkan apapun. "Dia pernah bilang agar aku tidak menemuinya. Aku tidak melanggar itu. Aku ke sana memang karena ada urusan pekerjaan. Dan soal Devina..."