Suara tamparan itu memecah keheningan ruangan. Bahkan jarum jam pun seolah berhenti berdetak. Gian bergeming. Kepalanya menoleh pelan akibat dorongan tangan sang ibu, namun sorot matanya tetap teguh—dingin dan nyala.Aurelia menutup mulutnya, tubuhnya gemetar menyaksikan langsung sebuah batas yang akhirnya dilanggar: Nyonya Lestari menampar anak kandungnya sendiri.Wajah Gian perlahan kembali menatap ibunya. Rahangnya mengeras, tapi ekspresinya tak berubah. Tidak marah. Tidak murka. Hanya... kecewa. Dalam dan memuakkan."Jangan bandingkan istriku dengan masa lalu yang bahkan Ibu sendiri tak sanggup hadapi," katanya tenang, namun dengan tekanan yang membuat napas di dada Aurelia tercekat.Nyonya Lestari membeku. Untuk sesaat, kekuasaan yang biasa mengelilingi tubuhnya, seolah runtuh.
“Ibu sudah di depan.”Kalimat itu diucapkan Gian dengan nada datar, namun efeknya menghantam jantung Aurelia seperti palu godam. Ia memandang suaminya dengan wajah panik, sementara tangan gemetarnya refleks mencengkeram sisi meja dapur.“Sekarang?” bisiknya dengan suara tercekat.Gian memutar malas bola matanya, seperti sudah tahu akan seperti apa percakapan berikutnya, lalu menyudahi panggilan tadi tanpa menanggapi lebih lanjut.“Ya,” katanya tenang, sebelum melangkah menuju pintu utama.Aurelia nyaris terpeleset saat mengikuti dari belakang. Ia belum siap. Tidak untuk ini. Tidak untuk menghadapi sang mertua dalam kondisi dirinya yang baru saja pulih dari gosip liar dan pengakuan publik tentang status pernikahannya.
“Bohong!”“Aku serius. Aku memang masih ada kegiatan di sini,” kata Gian santai, sambil meremas lembut kemasan susu kotak kosong dan memasukkannya ke kantong plastik di dashboard.Aurelia memutar wajah. “Kegiatan apalagi? Jangan bilang—”“Workshop,” potong Gian.Aurelia mengerutkan dahi. “Di jurusan mana? Semester berapa?”“Ekonomi. Semester akhir. Sarjana,” jawabnya pelan. “Aku jadi pemateri.”“…HAH?!”Gian menoleh. “Kenapa teriak?”“Ya ampun, kau tuh...” Aurelia memejamkan mata sejenak, lalu menatap Gian seolah ingin memukul udara di sekitarnya. “Kenapa kau nggak bilang dari tadi?”“Karena kau keburu sok galak duluan.”Aurelia menghela napas panjang. “Jadi, semua orang bakalan lihat dirimu di atas panggung. Mereka makin yakin aku—”&
“Jangan diam saja! Cepat jawab, Aurelia Seraphine Alinda!!” Suara Pak Luhut membuat Aurelia meringis ngeri. Terlebih kumis tebal pria usia 50 tahunan itu tampak bergerak naik turun. Mirip sekali dengan suami pedangdut Inul Daratista rupanya. Hingga kemudian dia menarik napas lalu berbicara dengan suara yang amat pelan.“Pak… maksudnya apa?” suaranya nyaris hilang, nyaris pecah. Ada luka dalam nada bicaranya—luka yang ditusuk sebelum diberi kesempatan untuk menjelaskan.Pak Luhut membuka map tugas dan melemparkannya ke atas meja. “Saya tanya baik-baik, Aurelia. Benarkah gosip yang beredar?”“Gosip apa, Pak?”“Kau tahu persis. Tidak perlu berpura-pura. Dalam sehari ini saja, saya dapat lebih dari lima laporan tak resmi tentangmu.”Aurelia menahan napas. “Kalau yang Bapak maksud soal... rumor sugar ba
“Kau masih bertanya setelah apa yang aku lakukan padaku?”Nada suara Gian melesat seperti cambuk. Tatapannya menusuk, dan senyum miring di wajahnya terlihat hambar, bahkan menyakitkan. Ia menatap Aurelia dengan sorot mata yang tak bisa dibaca, antara kecewa, lelah, dan... kesal.“Benar-benar, kau ini.” Suara tawanya lirih, hambar, penuh letih. Lalu tanpa menunggu respons dari istrinya, Gian berbalik dan berjalan cepat menuju kamar mandi.Aurelia tetap berdiri di ambang pintu, memeluk dirinya sendiri. Bibirnya mengerucut, matanya berkaca-kaca. Untuk sesaat, ia menatap tempat Gian berdiri tadi, lalu menarik napas panjang. Ia tahu, malam ini tidak akan ada kehangatan. Tidak juga pengertian.Keesokan paginya, matahari baru menyentuh tepian langit saat Aurelia membuka mata. Badannya masih terasa letih, tapi pikirannya sudah dipenuhi dengan satu tujuan: meminta maaf.Dia merasa bersalah. Cara bicaranya tadi malam—terlalu emo
“Don, kok dibiarin sih! Si Lia bakalan diculik sama Om-Om!!”Suara itu berasal dari salah satu teman Aurelia yang masih tertawa-tawa sambil memeluk botol soda dan menatap ke arah sudut ruang dansa, tempat Aurelia tengah diseret menjauh oleh seorang pria berwajah dingin.Doni yang sedari tadi mengawasi dengan gelisah langsung bangkit dari sofa panjang. Dia tahu persis siapa pria itu—dan bukan, dia bukan Om-Om aneh seperti yang dikira teman-temannya.Itu adalah seorang Gian Alvaro Mahesa, suami sah Aurelia. Mana mungkin dia menghalangi?“Don, kok diam aja sih??”Doni akhirnya bimbang ingin menjelaskan bagaimana. Terlebih saat Gian tampak mulai memanggul aurelia seperti karung beras. Hal itu membuat para temannya syok.Salah satu dari mereka menyeletuk, "Jangan bilang kalau Si Lia itu emang sugar baby.""Bisa jadi!" sahut yang lain. "Si Lia kan sering diantar jemput pake mobil. Terus dia bayar uang kuliah full. Cincinnya aja mehong.""Jangan sok tahu! jangan julid deh!" kata Doni menenga