Aurelia duduk di kursi kelas pascasarjana dengan ekspresi misuh-misuh tak jelas. Wajahnya murung, sesekali mengetuk-ngetukkan pulpen ke meja seolah ingin meledak tapi tak tahu harus ke mana.Beruntung ia tetap mampu menyampaikan presentasi kelompok dengan baik. Di depan kelas, suaranya lantang dan jelas, setiap argumen disampaikan dengan struktur yang rapi. Ketika selesai, tepuk tangan teman-temannya mengiringi langkah kembalinya ke kursi.Namun setelah duduk kembali, wajahnya kembali berubah."Kenapa lagi sih pengantin baru ini? Aku jadi takut nikah kalau gitu," canda Doni sambil tertawa kecil.Aurelia hanya mendesah, membuka wadah minumnya pelan. “Aku lagi bingung, Don. Nanti malam itu... ulang tahun Kirana.”Wulan yang semula sedang video call dengan anak balitanya, ikut menyahut sambil menoleh.“Kirana? Maksudmu cewek yang dulu bareng suamimu di kantor itu?”Aurelia mengangguk pelan.“Dan dia n
"Aku tidak mau kau berpikiran yang macam-macam."Itu adalah kalimat ambigu kedua yang dilontarkan oleh suami tampannya. Jelas membuat dahi Aurelia semakin mengerut dalam."Password ponselku," ucap Gian akhirnya. Tak lupa mengecup singkat pipi Aurelia setelahnya, lalu menyerahkan ponsel yang ada di saku celana tadi pada sang istri.Aurelia terkekeh lalu meletakkan bokong di kursi tempat biasa Gian duduk di ruang kerjanya itu. Ia mengetik dengan yakin. Tapi layar hanya bergetar lembut, disertai notifikasi: "PIN salah.""Kenapa tidak bisa?" tanyanya dengan penuh selidik. "Sudah kucoba dua kali malah.""Bukan tanggal pernikahan kita, Sayang. Tapi tanggal di mana kita berdua menyatu." Gian menjawab sembari menaik-turunkan kedua alisnya secara berbarengan dengan senyuman yang amat menggoda.Aurelia tertawa kecil lalu memalingkan wajahnya, pura-pura tak tertarik. Tapi jelas rona merah menjalar ke pipinya.Sekarang setelah semua jelas, malah Aurelia yang kelimbungan. Jari telunjuknya mengetuk
Keheningan menggantung di dalam mobil seperti kabut tebal yang enggan sirna. Aurelia menatap lurus ke depan, menahan napas yang terasa sesak di dada. Ia tahu, ia harus menahan diri. Harus menyabarkan diri. Kata-kata barusan dari ibu mertuanya masih membekas, mengaduk-aduk perasaannya seperti ombak yang menghantam karang tanpa jeda.Aurelia menunduk, mengalihkan pandangan dari pantulan wajahnya di jendela. Ada sekilas gurat sedih yang tak bisa ia sembunyikan, walau hanya untuk dirinya sendiri. Mobil melaju perlahan melewati pepohonan rindang yang daunnya tampak menguning sebagian. Hari hampir gelap, dan sinar matahari terakhir menyorot jendela, membuat semuanya tampak suram.Beberapa menit berlalu tanpa suara. Lalu, tepat saat mobil memasuki kawasan apartemen, suara Nyonya Lestari kembali terdengar."Bagaimanapun juga, kau adalah istri Gian sekarang. Aku bisa apa selain menerimamu, hmm?"Kalimat itu jatuh seperti embun yang menetes di padang pasir. Tak sej
"Aku sudah pesankan menu favoritmu. Aurelia juga pesan yang sama," kata Kirana sambil tersenyum begitu Gian muncul di hadapan mereka.Gian mengangguk singkat, “Terima kasih.” Ia lalu menunduk sopan, mencium punggung tangan ibunya. “Apa kabar, Bu?”“Ibu baik. Senang bisa melihatmu,” jawab Nyonya Lestari sambil tersenyum kecil.Setelah itu, Gian menoleh pada Aurelia dan mengecup pipi kanannya. Hangat, namun terasa lebih seperti formalitas ketimbang sapaan kasih yang biasa.“Sudah lama nunggu?”Aurelia menggeleng. “Baru sebentar.”Gian lalu menarik kursi dan duduk tepat di sebelah istrinya. Makan siang pun dimulai. Menu makanan mulai berdatangan satu demi satu, diantar pelayan dengan cekatan.Namun, suasana tetap terasa aneh. Meskipun aroma makanan menggoda dan suasana restoran mendukung, tetap ada kekakuan yang tak bisa disembunyikan.Gian tahu itu. Dia sadar penuh akan
Aurelia berdiri terpaku. Matanya tak lepas dari pemandangan kecil namun menyesakkan itu—Kirana menggandeng lengan Nyonya Lestari dengan ringan, akrab, dan tanpa beban.Mereka tampak seperti ibu dan anak yang tengah bersantai bersama. Tidak ada keraguan di langkah mereka, tidak ada jeda di antara percakapan yang tampak nyaman.Dan di sanalah Aurelia, berdiri sendirian, merasa seperti orang luar yang tidak diundang ke kehidupannya sendiri.Aurelia menegakkan bahu, mencoba menyusun kembali senyum ramah yang mulai luntur. Ia menelan ludah, lalu menatap Kirana dengan sorot mata datar. Tak ingin menunjukkan bahwa hatinya sedang berkecamuk.“Lia, aku dan Kirana tadi memang janjian,” ucap Nyonya Lestari akhirnya, seperti menjawab pertanyaan yang belum sempat Aurelia lontarkan. “Ada beberapa hal yang perlu dibicarakan soal perusahaan Gian. Kirana banyak membantu.”“Oh…” Aurelia mengangguk, berusaha menyembuny
“Lupakan saja.”Itu yang dikatakan oleh Aurelia malam itu, dengan suara yang berusaha tegar. “Maaf kalau aku mungkin melewati batas. Pikiranku tadi mulai aneh. Sudahlah.”Aurelia lekas memejamkan mata, seolah ingin menyudahi percakapan sebelum hatinya benar-benar runtuh. Namun, ia sadar akan pergerakan pelan dari Gian. Suaminya itu membalikkan badan, hingga kini mereka saling berhadapan. Tak ada kata-kata, hanya kecupan ringan yang hangat di keningnya.Pagi berikutnya, udara sedikit lebih cerah. Sisa-sisa hujan semalam membekas di dedaunan, tapi langit tampak bersih. Di kampus, Aurelia mencoba membenahi pikirannya. Ia menyambut hari dengan semangat baru, bertekad menyibukkan diri.Di kantin, ia duduk bersama Wulan dan Doni, dua sahabatnya yang selalu punya cara membuat segalanya terasa lebih ringan—atau minimal, lebih absurd.“Aku harus gimana lagi ya buat cari waktu luang,” ucap Aurelia sambil menusuk-nusuk boba dengan sedotan. “Biar otak ini nggak sempat mikir yang aneh-aneh.”“Lah,