"Kenapa kamu melamun? Cepat buka pakaianmu!" Suara Pak Dylan terdengar tajam, seperti menahan amarah.
Aku baru tersadar aku melamun, mengabaikannya. Wajah Pak Dylan sampai memerah dan tegang, terlihat jelas dia sudah kehilangan kesabaran. Ya ampun, tolong maafkan aku! Cukup. Berhenti berpikir, berhenti menunda. Aku harus bertindak. Tangan sudah gemetar, aku mencoba membuka kancing dress-ku. Langkahku berat saat mendekatinya. "Kenapa kamu lama sekali?" Tiba-tiba, dia menarik pinggangku, kasar. Aku tersentak, bokongku jatuh di salah satu pahanya. "Bahkan untuk membuka kancing saja kamu lama, Laura. Padahal Mami Nona bilang kamu berpengalaman. Apakah dia berbohong padaku?" Dia membantuku menyelesaikan membuka dress, hingga aku hanya mengenakan pakaian dalam. "Si… siapa Mami Nona, Pak?" tanyaku canggung. Merasa malu melihat tubuhku kini. "Perempuan tadi yang bersamamu. Memangnya kamu tidak tau namanya?" "Ooh… Tapi nama dia Kimmy, Pak." "Terserah namanya siapa. Tapi aku mengenalnya sebagai Mami Nona. Dan sekarang… tunjukkan pengalamanmu seperti apa yang dia bilang. Kalau tidak, aku akan membatalkan acara kita malam ini dan meminta uangku kembali!" Suaranya dingin, ancaman nyata tersirat di setiap katanya. Dari nada bicaranya, dia jelas menantangku. Setelah melihat tubuhku yang hampir telanjang, dia ingin uangnya kembali? Enak saja. Aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Itu tentu merugikanku. Kita buktikan siapa yang lebih unggul. Aku atau dia? Dia tak tahu saja, kalau dari dulu, aku yang jauh lebih ahli di ranjang daripada suamiku sendiri. Dan untuk malam ini, aku akan menganggap dia suamiku agar bisa leluasa memuaskannya. Sebuah rencana licik terpatri di benakku. Dengan senyum penuh arti, aku menangkup wajahnya, jari-jariku membelai kulitnya yang halus. "Apa Bapak sudah siap? Bagaimana dengan k*ndomnya?" suaraku sengaja dibuat mendayu-dayu, untuk menggodanya. "Kimmy bilang pelanggan wajib pakai k*ndom, kecuali… saat tidak menyatu. Bapak mengerti 'kan maksudku?" Kalau hamil sepertinya kemungkinan kecil, karena aku masih suntik KB. Tapi yang aku khawatir di sini adalah—penyakit HIV. Aku takut tertular, karena aku sendiri yakin bahwa dia sering berganti pasangan. "Tentu saja aku tau. Dia sudah memberitahuku dari awal." Pak Dylan merogoh saku jasnya, mengeluarkan kotak k*ndom berisi 12 pcs berwarna biru. Suaranya terdengar percaya diri. "Kita lihat ... berapa k*ndom yang bisa kuhabiskan malam ini? Aku jamin, tidak akan lebih dari satu," tambahnya menantang. "Apa Bapak meremehkanku?" Aku mengedipkan mata genit, sentuhan jariku berpindah ke lehernya, sedikit mengelus. Aku bisa merasakan jantungnya berdebar. "Tentu saja. Aku tidak yakin kamu bisa memuaskanku." Dia tersenyum miring, rasanya aku menjadi gemas melihat bibirnya yang seperti itu. "Kita buktikan saja, ya, Pak. Dan aku tidak akan mau berhenti sebelum Bapak memohon padaku." Aku menekankan kata-kata itu, membiarkan ambisi menguasai diriku. "Baiklah, ayo. Jika kamu menang, aku akan memberimu uang tips." Dia mulai meraba bibirku, tatapannya penuh dengan hasrat yang terpendam. Aku tersenyum puas. Sebenarnya aku tidak berharap mendapatkan uang tips. Tapi jika dia ingin memberikan padaku, aku tentu saja tak akan menolaknya. Tanpa basa-basi, aku langsung mencium bibirnya. Rasanya manis. Lalu, lidahku menjelajahi mulutnya dengan penuh gairah. Tangan-tanganku tak tinggal diam, meraba dadanya, lalu dengan gerakan cepat dan percaya diri, aku melepaskan jasnya. Permainan telah dimulai. * * "Aaaww!!!" Aku memekik pelan, mata membulat karena terkejut. Tubuh kami telah menyatu, dan sebuah rasa sakit yang tak terduga menusukku. Aneh. Aku bukan gadis lagi, bahkan pernah melahirkan. Tapi mengapa terasa sesakit ini? Seperti malam pertamaku. Aku tak berani menggerakkan pinggul. "Kenapa berhenti? Ada apa?" Pak Dylan bertanya, bingung. Suaranya terdengar khawatir. "Aku perlu menyesuaikan diri, Pak," kataku, mencoba tersenyum nakal. "Si Jarwo... dia terlalu besar untukku." Aku mencium bibirnya singkat, sentuhan lembut yang mencoba menenangkan rasa sakit. Pak Dylan tertawa, suara tawanya bergema di ruangan. Aku tak tahu apa yang membuatnya tertawa. "Kamu menamainya siapa tadi? Jarwo?" tanyanya, masih terkekeh. "Iya, Pak. Kenapa memangnya?" "Apa tidak ada nama yang lebih keren? Kenapa harus Jarwo?" Aku tersenyum tipis, lalu menjawab asal. "Karena dia berbulu lebat, Pak." Pak Dylan terkesiap, menepuk dahinya pelan. "Astaga!" Tawanya kembali pecah, kali ini lebih lepas, sampai air mata menetes di sudut matanya. "Ternyata kamu lucu juga, ya, orangnya. Padahal tadi kamu kelihatan pendiam dan malu-malu." Pipiku memerah."Sudah ah, Pak, jangan ketawa mulu. Ini mau dilanjutkan atau tidak? Sudah masuk, masa Bapak nyerah?" "Lanjut dong," jawabnya, suaranya penuh semangat. "Ayok sekarang goyang. Katanya kamu udah pengalaman." Aku menurut. Gerakan tubuhku perlahan mengikuti irama, menyesuaikan diri dengan ukurannya yang besar. Rasa sakit perlahan berkurang, tergantikan oleh sensasi yang berbeda. * * "Ahhh ... Ahhh ... Ahhh ...." Tak kusangka, desahannya yang paling keras menggema di ruangan ber-AC ini. Pak Dylan begitu antusias menanggapi setiap sentuhanku, tubuhnya bergetar mengikuti ritme yang kami ciptakan. Aku berharap dia puas. Aku tak sabar menyaksikan puncak kepuasannya, melihat pelepasan yang akan segera datang. "Melisa... lihatlah... aku masih bisa... masih ada wanita yang mau tidur denganku, Melisa ...," bisiknya, suara tercekat oleh napas yang memburu. Matanya terpejam rapat, tapi bibirnya masih bergerak, mengucapkan nama itu berulang kali. Setetes, dua tetes, bulir bening mengalir di pipinya. Air mata. Dia menangis? Tapi kenapa? Apakah ini semua karena Melisa? Tapi... Siapakah Melisa?(POV Author) "Alhamdulillah... akhirnya kamu sudah bebas, Mel." Pak Wisnu memeluk erat putrinya, air mata bahagia bercampur haru membasahi pipinya. Senyumnya merekah, mencerminkan kelegaan yang begitu mendalam setelah hampir enam bulan menjalani hari-hari cemas menunggu pembebasan Melisa. Sebenarnya, hukuman yang harus didapatkan Melisa adalah 10 tahun. Namun, di negeri ini hukuman bisa dibeli, jadi Pak Wisnu menggunakan kekayaannya untuk mengubah putusan pengadilan. Melisa membalas pelukan Papinya, menghirup aroma familiar kemeja Pak Wisnu yang selama ini hanya terbayang dalam mimpinya. Napas lega dihela panjang, mencoba melepaskan beban berat yang selama ini menimpanya. "Iya, Pi," bisiknya, suaranya sedikit serak. "Tapi aku benar-benar tersiksa selama di penjara." Melisa masih terbayang pada tembok-tembok dingin, makanan yang hambar, dan suara jeruji besi. Dia menggigit bibirnya, menahan isakan yang hampir pecah. "Nggak bisa makan enak, belanja, jalan-jalan, dan ke salon. Liha
"Ya sudah kalau memang itu keinginan Mommy." Aku menghela napas panjang.Meskipun kekhawatiran masih ada, tapi aku berusaha untuk percaya. Lagipula Mommy sudah berpengalaman mengurus anak, buktinya aku sendiri bisa tumbuh sebesar ini tanpa bantuan baby sitter."Sekarang pergilah ke kamar, istirahat. Eh tapi... Laura sudah di KB, kan? Mommy khawatir dia hamil lagi. Ya Mommy sih nggak keberatan nambah cucu, malah seneng. Tapi masalahnya... Laura baru melahirkan, kasihan kalau langsung hamil lagi. Nggak baik juga untuk kesehatannya." Wajah Mommy berubah serius, kekhawatirannya terlihat jelas.Aku mengelus pundak Mommy dengan lembut, sentuhan yang penuh kasih sayang dan rasa hormat. "Mommy tenang saja." Ucapku, mencoba menenangkannya. "Laura memang belum KB, tapi aku sudah mempersiapkan untuk memakai kon *dom yang super kuat dan tahan gesekan. Semuanya aman.""Kamu yakin?" Mommy menatapku tak percaya, keraguan terlihat jelas di matanya. "Bukannya dulu kamu dan Laura berhubungan
"Saya terima nikah dan kawinnya Laura Almira binti almarhum Suswanto dengan mas kawin satu set perhiasan tiga puluh gram dibayar tunai!!" Hari ini, bukan hanya hari bahagia biasa, melainkan puncak dari penantian panjang, buah manis dari sebuah kisah cinta yang terjalin penuh liku. Resepsi pernikahan kami berlangsung megah, sebuah perayaan besar yang menghapus bayang-bayang pernikahan siri kami yang disembunyikan dulu. Suasana penuh haru dan sukacita memenuhi ruangan, dipadati oleh keluarga dan sahabat yang turut larut dalam kebahagiaan kami. Ijab kabul kedua ini terasa begitu khidmat, menguatkan ikatan suci kami di hadapan semua orang yang hadir. Dua kali mengucapkan janji suci? Tak masalah. Yang terpenting, semuanya sah dan terasa lengkap, memberikan rasa damai dan tentram di hati. Kebahagiaan terpancar jelas dari wajah Mommy, meski tangannya masih sibuk mengurus Lion. Senyumnya yang tulus, walaupun samar di balik kesibukannya, mencerminkan kebahagiaan yang begitu dalam dan
"Hutang itu bukan hutang baru, Mas. Tapi hutang lama, pas dulu Qiara sakit." Suaranya bergetar, mengisyaratkan sebuah cerita yang berat dan menyedihkan. "Memangnya belum lunas?" Aku mengerutkan dahi. Kupikir hutang Laura hanya pada Kimmy dan pihak bank saja. Dan waktu itu aku sendiri yang melunasi hutang ke Kimmy, dengan cara memberikan nominal yang lebih besar saat membeli Laura. Aku tak menyangka masih ada hutang lain yang belum terselesaikan. "Kalau hutang sama Kimmy sudah lunas, sama pihak bank juga sedikit lagi. Tapi karena aku harus bayar hutang yang lain ... jadi aku lupa bayar sisanya di bank, dan alhasil hutang itu jadi berbunga." Laura menjelaskan, suaranya masih bergetar. "Kan bisa pakai uangku yang di rekening, kenapa kamu nggak pakai itu?" Aku bertanya, kebingungan dengan alasannya. "Aku nggak enak, Mas." Laura menggeleng, matanya berkaca-kaca. "Aku sudah pakai uang itu untuk kebutuhanku sehari-hari dengan Qiara, masa aku pakai lagi untuk kebutuhan hutangku." Penjelasa
"Lho... kok aku?"Keheranan dan sedikit kekesalan masih terasa dalam suaraku. Pekerjaan kantorku sudah menumpuk, mengingat aku banyak ambil libur untuk menemani Laura dari mulai hamil sampai melahirkan. Karena aku sendiri ingin menjadi suami suami.Sekarang, belum lagi persiapan pernikahan kami yang menuntut waktu dan tenaga ekstra. Aku tak mungkin mampu mengurusi pekerjaan Mommy juga. Usulannya benar-benar di luar dugaanku, sebuah beban tambahan yang tak terbayangkan."Karyawan kamu 'kan banyak yang sudah berpengalaman. Mommy minta satulah, Lan, buat dijadikan asisten pribadi Mommy. Jadi dia yang akan handle pekerjaan Mommy." Suara Mommy terdengar lebih ringan, sebuah penjelasan yang meredakan kekhawatiranku. Sebuah solusi yang tak pernah terpikirkan sebelumnya."Oohhh ...." Rasa lega membanjiri dadaku. Aku menghela napas panjang. Kupikir Mommy memintaku sendiri yang harus turun tangan, mengambil alih sebagian pekerjaannya di tengah kesibukan yang sudah menggunung."Kamu ng
"Nggak perlu pikirkan masalah tes DNA, Ra. Tante sudah percaya kalau Lion itu benar-benar anaknya Dylan.""E-eh... serius, Tante?" Laura terperanjat, begitu juga aku. Seulas senyum lega langsung merekah di wajahnya. Syukurlah, lega rasanya mendengar keputusan Mommy."Serius, Ra," ujar Mommy, senyumnya hangat. "Sekarang nggak perlu pikirkan itu. Fokus saja pada kesehatanmu.""Iya, Tante." Laura mengangguk, matanya berkaca-kaca, haru terpancar jelas. "Terima kasih.""Harusnya Tante yang berterima kasih padamu." Mommy mendekat, duduk di ranjang, menggenggam tangan Laura erat. "Terima kasih telah melahirkan cucu pertama Tante, terima kasih juga telah menerima Dylan. Dia banyak kekurangannya." Pandangannya kemudian tertuju padaku, penuh makna."Aku juga banyak kekurangan kok, Tante." jawabku, suara sedikit bergetar karena terharu.***"Ayah! Ayah! Lihat ini!!"Seruan Qiara menggembirakan suasana kamar rawat