Beranda / Romansa / Terpaksa Jual Diri / 5. Dia terlalu besar

Share

5. Dia terlalu besar

Penulis: Rossy Dildara
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-11 12:06:06

Mentari pagi menyinari jendela kamar, sinarnya yang menyilaukan perlahan membangunkan aku dari tidur lelap.

Tubuhku terasa remuk, sakit dan lelah sekali. Semalam... semalam benar-benar melelahkan, tapi juga memuaskan. Aku tersenyum mengingat kejadian semalam. Aku yang menguasai permainan. Tiga kali Pak Dylan mencapai puncak kenikmatan, tiga kali juga dia mengganti k*ndom.

Aku merasa sudah mengeluarkan semua energiku yang sudah lama terpendam, karena sudah lama juga tidak bercinta. Berbeda dengan Pak Dylan, aku justru berhasil keluar empat kali.

Ini sejarah baru dalam hidupku, karena semalam benar-benar terasa nikmat.

Tubuh Pak Dylan... Kulitnya... Hidungnya... Roti sobeknya... Bahkan si Jarwo... Benar-benar membuatku semakin bergairah.

Aku sangat-sangat beruntung, mendapatkan pelanggan pertama yang menawan seperti Pak Dylan.

"Eh, ngomong-ngomong ... ke mana dia?" Aku baru menyadari, bahwa pria tampan itu tak ada di sampingku. Padahal semalam aku ingat jelas dia akhirnya tepar tepat di sampingku.

Pandanganku menyapu ruangan, berhenti pada buket mawar merah dan sebuah amplop tebal di atasnya.

Buket bunga? Semalam tidak ada ini. Rasa penasaran menggerayangi, aku mengambil keduanya dan membuka amplop itu.

Mata membulat. Di dalamnya, segepok uang tunai pecahan seratus ribuan dan selembar kertas terlipat rapi. Aku membuka lipatan kertas itu dan membaca tulisan tangan yang rapi:

[Kamu menang, Nona Laura. Seperti apa yang aku sampaikan semalam, aku akan memberikanmu uang tips. Tolong diterima, ya? Dan sekarang, aku percaya bahwa kamu sudah berpengalaman. si Jarwo sampai kuwalahan, dia muntah berkali-kali. Tapi dia senang, dan berterima kasih padamu.

Salam hangat, Dylan Matthew.]

"Jarwo muntah berkali-kali?" Aku terkekeh geli, membayangkannya. Sepertinya Pak Dylan memang sangat menyukai julukan yang kuberi untuk burung perkasanya itu. Padahal, aku hanya asal menamai saja.

Tapi ... siapa ya, Melisa? Tiba-tiba, aku teringat nama itu. Nama yang disebut-sebut Pak Dylan sambil menangis. Apakah itu pacarnya?

Ah, tapi apa pentingnya untukku? Aku 'kan hanya orang asing, yang semalam menemani tidurnya.

Aku menghitung gepokan uang yang diberikan Pak Dylan. Mataku melebar takjub. Sepuluh juta!

"Banyak sekali, uang tips yang Pak Dylan berikan."

Aku tak menyangka Pak Dylan begitu royal. Sangat berbeda dengan suamiku yang... pelitnya minta ampun. Saat meminta tambahan uang untuk belanja saja, bukannya memberi, dia malah mengomel dan menuduhku boros. Padahal, aku sudah sangat berhemat. Aku bahkan rela makan sekali sehari demi menabung. Rasanya perasaanku seperti teriris-iris setiap kali dia bersikap seperti itu.

*

*

*

Setelah menyelesaikan urusanku dengan Pak Dylan, aku memutuskan pulang sebentar ke rumah sebelum ke rumah sakit.

Dress merah mini yang Kimmy pilih untuk bertemu Pak Dylan jelas tak pantas dikenakan di sana. Semoga Qiara baik-baik saja, aku sangat khawatir dengannya. Aku berharap operasi Qiara berjalan lancar, dan dia sudah merasa lebih sehat sekarang.

Drrrtttt... Drrrtttt... Drrrtt.

Ponselku berdering. Degup jantungku berdebar, aku berharap tidak ada hal buruk yang terjadi. Aku mengangkatnya sebelum melangkah masuk ke rumah sakit. Panggilan dari Kimmy. Pasti ada sesuatu.

"Halo, Kim. Assalamualaikum."

"Walaikum salam. Ada di mana kamu, Ra?"

"Di rumah sakit."

"Sendiri?"

"Iya, ini aku mau nemuin Qiara. Ada apa memangnya?"

"Enggak, aku cuma mau ngasih tau ... kalau Pak Dylan puas denganmu. Syukurlah... aku lega karena kamu menuruti kata-kataku." Suara Kimmy terdengar lega, dia menghela napas.

"Tentu saja aku menurut. Kan aku sekarang anak didikmu."

"Bagus deh kalau kamu sadar. Ya sudah, sana gih temui Qiara. Dia pasti kangen sama kamu."

"Iya, Kim."

Panggilan terputus. Aku bergegas masuk ke dalam rumah sakit dan berhenti di depan resepsionis. Di sana ada dua orang wanita yang berjaga.

"Selamat pagi, Bu, ada yang bisa saya bantu?" sapa salah seorang resepsionis dengan senyum ramah, rambutnya terikat rapi. Suasana ruangan terasa tenang, hanya diiringi suara langkah kaki pelan dan bisikan-bisikan lembut.

"Pagi juga, Bu. Saya ingin menanyakan kondisi pasien anak bernama Qiara Almira, umur empat tahun. Dia menjalani operasi jantung kemarin." Bayangan wajah mungil Qiara, pucat dan lemah, terbayang jelas.

"Sebentar, Bu. Saya cari dulu." Wanita itu menatap layar monitor komputernya dengan saksama. Beberapa menit kemudian, dia memberikan informasi, "Kamar perawatan khusus anak, lantai tiga, nomor C6, Bu."

"Terima kasih, Bu." Aku bergumam, rasa cemas masih mencengkeram dadaku.

"Sama-sama."

Aku bergegas menuju kamar Qiara, setiap langkah terasa begitu lambat. Bau disinfektan yang khas memenuhi hidungku.

Sesampainya di sana, seorang dokter tengah memeriksa Qiara yang terbaring dengan mata terpejam. Hidung dan mulutnya terpasang ventilator oksigen.

Wajah Qiara pucat, namun terlihat tenang. Tubuhnya tampak semakin kurus, aku tidak tega melihatnya. Air mata perlahan membasahi pipiku.

Sabar ya, Nak.

Setelah operasi ini… Bunda yakin kamu akan sembuh dan tubuhmu akan kembali berisi. Do'a Bunda selalu menyertaimu, Nak. Bunda ingin kamu sehat.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Terpaksa Jual Diri   70. END

    (POV Author) "Alhamdulillah... akhirnya kamu sudah bebas, Mel." Pak Wisnu memeluk erat putrinya, air mata bahagia bercampur haru membasahi pipinya. Senyumnya merekah, mencerminkan kelegaan yang begitu mendalam setelah hampir enam bulan menjalani hari-hari cemas menunggu pembebasan Melisa. Sebenarnya, hukuman yang harus didapatkan Melisa adalah 10 tahun. Namun, di negeri ini hukuman bisa dibeli, jadi Pak Wisnu menggunakan kekayaannya untuk mengubah putusan pengadilan. Melisa membalas pelukan Papinya, menghirup aroma familiar kemeja Pak Wisnu yang selama ini hanya terbayang dalam mimpinya. Napas lega dihela panjang, mencoba melepaskan beban berat yang selama ini menimpanya. "Iya, Pi," bisiknya, suaranya sedikit serak. "Tapi aku benar-benar tersiksa selama di penjara." Melisa masih terbayang pada tembok-tembok dingin, makanan yang hambar, dan suara jeruji besi. Dia menggigit bibirnya, menahan isakan yang hampir pecah. "Nggak bisa makan enak, belanja, jalan-jalan, dan ke salon. Liha

  • Terpaksa Jual Diri   69. Aku kangen

    "Ya sudah kalau memang itu keinginan Mommy." Aku menghela napas panjang.Meskipun kekhawatiran masih ada, tapi aku berusaha untuk percaya. Lagipula Mommy sudah berpengalaman mengurus anak, buktinya aku sendiri bisa tumbuh sebesar ini tanpa bantuan baby sitter."Sekarang pergilah ke kamar, istirahat. Eh tapi... Laura sudah di KB, kan? Mommy khawatir dia hamil lagi. Ya Mommy sih nggak keberatan nambah cucu, malah seneng. Tapi masalahnya... Laura baru melahirkan, kasihan kalau langsung hamil lagi. Nggak baik juga untuk kesehatannya." Wajah Mommy berubah serius, kekhawatirannya terlihat jelas.Aku mengelus pundak Mommy dengan lembut, sentuhan yang penuh kasih sayang dan rasa hormat. "Mommy tenang saja." Ucapku, mencoba menenangkannya. "Laura memang belum KB, tapi aku sudah mempersiapkan untuk memakai kon *dom yang super kuat dan tahan gesekan. Semuanya aman.""Kamu yakin?" Mommy menatapku tak percaya, keraguan terlihat jelas di matanya. "Bukannya dulu kamu dan Laura berhubungan

  • Terpaksa Jual Diri   68. Rencana bulan madu

    "Saya terima nikah dan kawinnya Laura Almira binti almarhum Suswanto dengan mas kawin satu set perhiasan tiga puluh gram dibayar tunai!!" Hari ini, bukan hanya hari bahagia biasa, melainkan puncak dari penantian panjang, buah manis dari sebuah kisah cinta yang terjalin penuh liku. Resepsi pernikahan kami berlangsung megah, sebuah perayaan besar yang menghapus bayang-bayang pernikahan siri kami yang disembunyikan dulu. Suasana penuh haru dan sukacita memenuhi ruangan, dipadati oleh keluarga dan sahabat yang turut larut dalam kebahagiaan kami. Ijab kabul kedua ini terasa begitu khidmat, menguatkan ikatan suci kami di hadapan semua orang yang hadir. Dua kali mengucapkan janji suci? Tak masalah. Yang terpenting, semuanya sah dan terasa lengkap, memberikan rasa damai dan tentram di hati. Kebahagiaan terpancar jelas dari wajah Mommy, meski tangannya masih sibuk mengurus Lion. Senyumnya yang tulus, walaupun samar di balik kesibukannya, mencerminkan kebahagiaan yang begitu dalam dan

  • Terpaksa Jual Diri   67. Selalu cantik

    "Hutang itu bukan hutang baru, Mas. Tapi hutang lama, pas dulu Qiara sakit." Suaranya bergetar, mengisyaratkan sebuah cerita yang berat dan menyedihkan. "Memangnya belum lunas?" Aku mengerutkan dahi. Kupikir hutang Laura hanya pada Kimmy dan pihak bank saja. Dan waktu itu aku sendiri yang melunasi hutang ke Kimmy, dengan cara memberikan nominal yang lebih besar saat membeli Laura. Aku tak menyangka masih ada hutang lain yang belum terselesaikan. "Kalau hutang sama Kimmy sudah lunas, sama pihak bank juga sedikit lagi. Tapi karena aku harus bayar hutang yang lain ... jadi aku lupa bayar sisanya di bank, dan alhasil hutang itu jadi berbunga." Laura menjelaskan, suaranya masih bergetar. "Kan bisa pakai uangku yang di rekening, kenapa kamu nggak pakai itu?" Aku bertanya, kebingungan dengan alasannya. "Aku nggak enak, Mas." Laura menggeleng, matanya berkaca-kaca. "Aku sudah pakai uang itu untuk kebutuhanku sehari-hari dengan Qiara, masa aku pakai lagi untuk kebutuhan hutangku." Penjelasa

  • Terpaksa Jual Diri   66. Dept colector

    "Lho... kok aku?"Keheranan dan sedikit kekesalan masih terasa dalam suaraku. Pekerjaan kantorku sudah menumpuk, mengingat aku banyak ambil libur untuk menemani Laura dari mulai hamil sampai melahirkan. Karena aku sendiri ingin menjadi suami suami.Sekarang, belum lagi persiapan pernikahan kami yang menuntut waktu dan tenaga ekstra. Aku tak mungkin mampu mengurusi pekerjaan Mommy juga. Usulannya benar-benar di luar dugaanku, sebuah beban tambahan yang tak terbayangkan."Karyawan kamu 'kan banyak yang sudah berpengalaman. Mommy minta satulah, Lan, buat dijadikan asisten pribadi Mommy. Jadi dia yang akan handle pekerjaan Mommy." Suara Mommy terdengar lebih ringan, sebuah penjelasan yang meredakan kekhawatiranku. Sebuah solusi yang tak pernah terpikirkan sebelumnya."Oohhh ...." Rasa lega membanjiri dadaku. Aku menghela napas panjang. Kupikir Mommy memintaku sendiri yang harus turun tangan, mengambil alih sebagian pekerjaannya di tengah kesibukan yang sudah menggunung."Kamu ng

  • Terpaksa Jual Diri   65. Lion jauh lebih penting

    "Nggak perlu pikirkan masalah tes DNA, Ra. Tante sudah percaya kalau Lion itu benar-benar anaknya Dylan.""E-eh... serius, Tante?" Laura terperanjat, begitu juga aku. Seulas senyum lega langsung merekah di wajahnya. Syukurlah, lega rasanya mendengar keputusan Mommy."Serius, Ra," ujar Mommy, senyumnya hangat. "Sekarang nggak perlu pikirkan itu. Fokus saja pada kesehatanmu.""Iya, Tante." Laura mengangguk, matanya berkaca-kaca, haru terpancar jelas. "Terima kasih.""Harusnya Tante yang berterima kasih padamu." Mommy mendekat, duduk di ranjang, menggenggam tangan Laura erat. "Terima kasih telah melahirkan cucu pertama Tante, terima kasih juga telah menerima Dylan. Dia banyak kekurangannya." Pandangannya kemudian tertuju padaku, penuh makna."Aku juga banyak kekurangan kok, Tante." jawabku, suara sedikit bergetar karena terharu.***"Ayah! Ayah! Lihat ini!!"Seruan Qiara menggembirakan suasana kamar rawat

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status