Pria itu mengangkat wajahnya, dan tatapan matanya bertemu dengan tatapanku.
Mataku membulat. Wajahnya... sangat tampan. Hidungnya mancung, garis rahangnya tegas. Dia terlihat sangat... mempesona. Apakah dia seorang artis? Siapa yang tega menyakiti pria setampan ini? Sungguh tega sekali. "Terima kasih, Nona." Senyum tipisnya, sebuah lengkung halus di bibirnya yang tegas, justru menambah daya tarik wajahnya yang tampan. Dia menerima sapu tanganku, mengusap cepat air mata di pipinya, lalu mengejutkanku—menyimpan sapu tangan itu ke dalam saku jasnya. "Nanti akan kucuci dan kukembalikan, ya, Nona." Dia berdiri, dan aku baru menyadari betapa tingginya dia. Aku hanya sebatas dadanya saja. "Kalau begitu, saya permisi, Pak." Aku membungkuk sopan, perasaanku masih bercampur aduk—kagum, sedih, dan sedikit canggung. Segera, aku bergegas masuk ke dalam toilet wanita, membiarkan pria itu sendiri di lorong yang sunyi. *** Aku menatap pantulanku di cermin sebuah kamar hotel, merasa takjub sekaligus asing. Aku... benar-benar cantik. Dress mini yang ketat membalut tubuhku, make up tebal menonjolkan fitur wajahku. Seksi dan mempesona, itu kata yang tepat. Tapi dibalik penampilan sempurna ini, aku merasa tidak nyaman. Ini bukan aku. Aku tidak terbiasa berdandan dan berpakaian seperti ini. Satu jam telah berlalu, kulihat Kimmy berjalan mondar-mandir, dengan gelisah. Wajahnya pucat, khawatir. Kami berdua menunggu orang yang kata Kimmy membeliku, tapi sampai sekarang tak kunjung datang. "Bagaimana, Kim? Orangnya sudah sampai mana?" Anehnya, sebagian diriku berharap dia tak jadi datang. Agar aku tak perlu menjual diri hari ini, di kamar mewah ini. Aku belum siap, sungguh. Meskipun sudah terlanjur setuju. "Nggak tahu, Ra. Janjiannya udah setengah jam yang lalu. Tapi nomornya nggak aktif," jawab Kimmy, matanya tak lepas dari ponsel di tangannya. Kecemasan terpancar jelas. Kemewahan kamar ini tak mampu mengurangi kekhawatirannya. "Siapa namanya, Kim? Gimana orangnya? Usia berapa kira-kira?" Penasaran menggerogotiku. Siapakah pelanggan pertamaku ini? Bayangan-bayangan buruk memenuhi kepalaku. Seorang pria tua, mungkin. Kulit gelap, penampilan kurang menarik, botak, perut buncit… dan yang paling membuatku takut, dia pasti seorang pria hidung belang. Hanya membayangkannya saja, bulu kudukku sudah merinding. Mual dan jijik. Aku bahkan ragu bisa memuaskannya. Ya Allah… apa yang harus kulakukan? "Dylan Matthew namanya, Ra." Dylan Matthew? Nama yang terdengar cukup keren, berbeda jauh dari bayangan pria tua dan menjijikkan yang ada di kepalaku. "Eh, dia udah naik lift, Ra! Ayo, siap-siap!" Kimmy heboh, berlari membuka pintu. "Siap-siap? Aku sudah siap dari tadi, kok!" Aku bingung dengan instruksinya. Tapi aku berdiri tegak, mencoba menenangkan diri. "Maksudku, sambut dia dengan senyum terbaikmu. Tunjukkan yang termanis, dan ingat kata-kataku… kepuasan pelanggan adalah prioritas utama!" "Oke!" Aku mengangguk cepat. Detak jantungku makin tak karuan. Segera, terdengar suara langkah kaki mendekat. "Selamat malam .…" Suara berat itu… familiar. Aku mendongak. Tubuhnya tinggi dan gagah, hidungnya mancung. Dia… dia seperti pria yang ada di depan toilet! Pria yang menangis dan kuberikan sapu tangan bekas ingusku! Benar, dialah orangnya. Jadi… dia pelanggan pertamaku? "Selamat malam, Pak Dylan. Perkenalkan ... ini Laura, anak baru di rumah bordirku." Kimmy memperkenalkan aku, merangkul bahuku. Aku masih terpaku, mencoba memaksakan senyum terbaik. Semoga dia menyukaiku, meskipun mungkin dia masih ingat betapa kusut dan ‘gembel’ penampilanku saat bertemu pertama kali di toilet. "Salam kenal, Nona Laura. Namaku Dylan." Pria tampan itu mengulurkan tangan. Tanganku gemetar hebat, terasa berat sekali saat menyambut uluran tangannya. "Senang berkenalan dengan Anda, Pak Dylan." Pak Dylan tersenyum tipis, lalu melepaskan jabat tangan kami. Senyumnya… semakin membuat wajahnya mempesona. Dia juga memiliki aura yang begitu kuat untuk memikat. "Ya sudah, kalau begitu aku permisi ya, Pak. Selamat malam, dan semoga Bapak puas. Jangan sungkan untuk menghubungiku, jika Anda membutuhkan sesuatu." "Iya." Jawabannya singkat, namun terdengar ramah. "Ingat kata-kataku ya, Ra," bisik Kimmy, suaranya menekankan setiap kata, sebelum akhirnya pergi, meninggalkanku berdua dengan Pak Dylan. Keheningan tiba-tiba melanda, tenggorokanku kering kerontang. Jantungku berdebar tak beraturan, bahkan sejak perjalanan tadi. Aku mulai berpikir, langkah apa yang harus kulakukan. Mulai dari mana? Langsung membantunya membuka baju? Atau… menciumnya dulu, sebagai pembuka? Pikiran macam apa ini? "Apa kamu haus, Laura?" Pertanyaan Pak Dylan memecah keheningan. Suaranya berat, namun lembut. Ada kehangatan yang tak terduga. "Sedikit, Pak. Bapak sendiri bagaimana? Mau aku pesankan minuman, atau bagaimana?" Aku mencoba basa-basi, meskipun sebenarnya tak tahu caranya memesan minuman di hotel mewah ini. Aku berusaha bersikap ramah, mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja. "Biar aku saja yang pesankan minuman untuk kita." Pak Dylan mendekat, duduk di tepi kasur, lalu mengambil ponselnya di dalam kantong celana. "Mau minum apa kamu?" "Jus mangga saja, Pak." "Baiklah." Dia mengetik pesanan, lalu menatapku. "Apa kamu lapar juga?" "Enggak," jawabku cepat, menggeleng. Tapi… perutku berbunyi, nyaring. Ah, menyebalkan! Ini memalukan sekali. "Kenapa bilang enggak, padahal lapar?" Dia terkekeh pelan. Senyumnya… menyenangkan. Wajahnya terlihat semakin manis. "Maaf," kataku, menunduk, pipiku memerah karena malu. Beberapa menit kemudian, pesanan kami datang. Tak hanya minuman, Pak Dylan juga memesan makanan. Mungkin dia juga belum makan malam. Kami makan malam di sofa di sudut ruangan. Keheningan canggung kembali menyelimuti kami, sampai akhirnya makan malam selesai. Aku kenyang sekali. Ini pertama kalinya aku makan steak! Baru kusadari, aku belum makan apa pun sejak pagi tadi. "Aku permisi ke toilet dulu ya, Pak, mau gosok gigi." Aku berdiri, sedikit ragu. Aku tak yakin ada pasta gigi di kamar mandi. Tapi setidaknya aku bisa berkumur. Aku khawatir mulutku bau setelah makan steak tadi. "Tidak perlu gosok gigi. Kita langsung mulai saja sekarang." Pak Dylan berdiri, lalu kembali duduk di kasur, kedua pahanya sedikit terbuka. "Langsung… mulai?" Aku mengulang kalimat itu dengan harap-harap cemas. "Iya, mulai." Pak Dylan mengangguk, matanya menatapku. Apa yang harus kulakukan? Tubuhku langsung gemetar hebat. Ya Tuhan, apa yang terjadi? Kenapa aku tidak bisa menenangkan diri? Jantungku masih berdebar tak karuan. Aku bingung. Bagaimana cara memuaskan pelanggan? Ini pelanggan pertamaku. Aku tak mau salah langkah, takutnya berakibat fatal. Apakah aku harus langsung menciumnya? Atau… meminta izin dulu?(POV Author) "Alhamdulillah... akhirnya kamu sudah bebas, Mel." Pak Wisnu memeluk erat putrinya, air mata bahagia bercampur haru membasahi pipinya. Senyumnya merekah, mencerminkan kelegaan yang begitu mendalam setelah hampir enam bulan menjalani hari-hari cemas menunggu pembebasan Melisa. Sebenarnya, hukuman yang harus didapatkan Melisa adalah 10 tahun. Namun, di negeri ini hukuman bisa dibeli, jadi Pak Wisnu menggunakan kekayaannya untuk mengubah putusan pengadilan. Melisa membalas pelukan Papinya, menghirup aroma familiar kemeja Pak Wisnu yang selama ini hanya terbayang dalam mimpinya. Napas lega dihela panjang, mencoba melepaskan beban berat yang selama ini menimpanya. "Iya, Pi," bisiknya, suaranya sedikit serak. "Tapi aku benar-benar tersiksa selama di penjara." Melisa masih terbayang pada tembok-tembok dingin, makanan yang hambar, dan suara jeruji besi. Dia menggigit bibirnya, menahan isakan yang hampir pecah. "Nggak bisa makan enak, belanja, jalan-jalan, dan ke salon. Liha
"Ya sudah kalau memang itu keinginan Mommy." Aku menghela napas panjang.Meskipun kekhawatiran masih ada, tapi aku berusaha untuk percaya. Lagipula Mommy sudah berpengalaman mengurus anak, buktinya aku sendiri bisa tumbuh sebesar ini tanpa bantuan baby sitter."Sekarang pergilah ke kamar, istirahat. Eh tapi... Laura sudah di KB, kan? Mommy khawatir dia hamil lagi. Ya Mommy sih nggak keberatan nambah cucu, malah seneng. Tapi masalahnya... Laura baru melahirkan, kasihan kalau langsung hamil lagi. Nggak baik juga untuk kesehatannya." Wajah Mommy berubah serius, kekhawatirannya terlihat jelas.Aku mengelus pundak Mommy dengan lembut, sentuhan yang penuh kasih sayang dan rasa hormat. "Mommy tenang saja." Ucapku, mencoba menenangkannya. "Laura memang belum KB, tapi aku sudah mempersiapkan untuk memakai kon *dom yang super kuat dan tahan gesekan. Semuanya aman.""Kamu yakin?" Mommy menatapku tak percaya, keraguan terlihat jelas di matanya. "Bukannya dulu kamu dan Laura berhubungan
"Saya terima nikah dan kawinnya Laura Almira binti almarhum Suswanto dengan mas kawin satu set perhiasan tiga puluh gram dibayar tunai!!" Hari ini, bukan hanya hari bahagia biasa, melainkan puncak dari penantian panjang, buah manis dari sebuah kisah cinta yang terjalin penuh liku. Resepsi pernikahan kami berlangsung megah, sebuah perayaan besar yang menghapus bayang-bayang pernikahan siri kami yang disembunyikan dulu. Suasana penuh haru dan sukacita memenuhi ruangan, dipadati oleh keluarga dan sahabat yang turut larut dalam kebahagiaan kami. Ijab kabul kedua ini terasa begitu khidmat, menguatkan ikatan suci kami di hadapan semua orang yang hadir. Dua kali mengucapkan janji suci? Tak masalah. Yang terpenting, semuanya sah dan terasa lengkap, memberikan rasa damai dan tentram di hati. Kebahagiaan terpancar jelas dari wajah Mommy, meski tangannya masih sibuk mengurus Lion. Senyumnya yang tulus, walaupun samar di balik kesibukannya, mencerminkan kebahagiaan yang begitu dalam dan
"Hutang itu bukan hutang baru, Mas. Tapi hutang lama, pas dulu Qiara sakit." Suaranya bergetar, mengisyaratkan sebuah cerita yang berat dan menyedihkan. "Memangnya belum lunas?" Aku mengerutkan dahi. Kupikir hutang Laura hanya pada Kimmy dan pihak bank saja. Dan waktu itu aku sendiri yang melunasi hutang ke Kimmy, dengan cara memberikan nominal yang lebih besar saat membeli Laura. Aku tak menyangka masih ada hutang lain yang belum terselesaikan. "Kalau hutang sama Kimmy sudah lunas, sama pihak bank juga sedikit lagi. Tapi karena aku harus bayar hutang yang lain ... jadi aku lupa bayar sisanya di bank, dan alhasil hutang itu jadi berbunga." Laura menjelaskan, suaranya masih bergetar. "Kan bisa pakai uangku yang di rekening, kenapa kamu nggak pakai itu?" Aku bertanya, kebingungan dengan alasannya. "Aku nggak enak, Mas." Laura menggeleng, matanya berkaca-kaca. "Aku sudah pakai uang itu untuk kebutuhanku sehari-hari dengan Qiara, masa aku pakai lagi untuk kebutuhan hutangku." Penjelasa
"Lho... kok aku?"Keheranan dan sedikit kekesalan masih terasa dalam suaraku. Pekerjaan kantorku sudah menumpuk, mengingat aku banyak ambil libur untuk menemani Laura dari mulai hamil sampai melahirkan. Karena aku sendiri ingin menjadi suami suami.Sekarang, belum lagi persiapan pernikahan kami yang menuntut waktu dan tenaga ekstra. Aku tak mungkin mampu mengurusi pekerjaan Mommy juga. Usulannya benar-benar di luar dugaanku, sebuah beban tambahan yang tak terbayangkan."Karyawan kamu 'kan banyak yang sudah berpengalaman. Mommy minta satulah, Lan, buat dijadikan asisten pribadi Mommy. Jadi dia yang akan handle pekerjaan Mommy." Suara Mommy terdengar lebih ringan, sebuah penjelasan yang meredakan kekhawatiranku. Sebuah solusi yang tak pernah terpikirkan sebelumnya."Oohhh ...." Rasa lega membanjiri dadaku. Aku menghela napas panjang. Kupikir Mommy memintaku sendiri yang harus turun tangan, mengambil alih sebagian pekerjaannya di tengah kesibukan yang sudah menggunung."Kamu ng
"Nggak perlu pikirkan masalah tes DNA, Ra. Tante sudah percaya kalau Lion itu benar-benar anaknya Dylan.""E-eh... serius, Tante?" Laura terperanjat, begitu juga aku. Seulas senyum lega langsung merekah di wajahnya. Syukurlah, lega rasanya mendengar keputusan Mommy."Serius, Ra," ujar Mommy, senyumnya hangat. "Sekarang nggak perlu pikirkan itu. Fokus saja pada kesehatanmu.""Iya, Tante." Laura mengangguk, matanya berkaca-kaca, haru terpancar jelas. "Terima kasih.""Harusnya Tante yang berterima kasih padamu." Mommy mendekat, duduk di ranjang, menggenggam tangan Laura erat. "Terima kasih telah melahirkan cucu pertama Tante, terima kasih juga telah menerima Dylan. Dia banyak kekurangannya." Pandangannya kemudian tertuju padaku, penuh makna."Aku juga banyak kekurangan kok, Tante." jawabku, suara sedikit bergetar karena terharu.***"Ayah! Ayah! Lihat ini!!"Seruan Qiara menggembirakan suasana kamar rawat