Share

3. Pelanggan pertama

Aвтор: Rossy Dildara
last update Последнее обновление: 2025-02-11 12:05:08

Pria itu mengangkat wajahnya, dan tatapan matanya bertemu dengan tatapanku.

Mataku membulat. Wajahnya... sangat tampan. Hidungnya mancung, garis rahangnya tegas. Dia terlihat sangat... mempesona.

Apakah dia seorang artis? Siapa yang tega menyakiti pria setampan ini? Sungguh tega sekali.

"Terima kasih, Nona." Senyum tipisnya, sebuah lengkung halus di bibirnya yang tegas, justru menambah daya tarik wajahnya yang tampan. Dia menerima sapu tanganku, mengusap cepat air mata di pipinya, lalu mengejutkanku—menyimpan sapu tangan itu ke dalam saku jasnya. "Nanti akan kucuci dan kukembalikan, ya, Nona."

Dia berdiri, dan aku baru menyadari betapa tingginya dia. Aku hanya sebatas dadanya saja.

"Kalau begitu, saya permisi, Pak." Aku membungkuk sopan, perasaanku masih bercampur aduk—kagum, sedih, dan sedikit canggung. Segera, aku bergegas masuk ke dalam toilet wanita, membiarkan pria itu sendiri di lorong yang sunyi.

***

Aku menatap pantulanku di cermin sebuah kamar hotel, merasa takjub sekaligus asing. Aku... benar-benar cantik.

Dress mini yang ketat membalut tubuhku, make up tebal menonjolkan fitur wajahku. Seksi dan mempesona, itu kata yang tepat. Tapi dibalik penampilan sempurna ini, aku merasa tidak nyaman. Ini bukan aku. Aku tidak terbiasa berdandan dan berpakaian seperti ini.

Satu jam telah berlalu, kulihat Kimmy berjalan mondar-mandir, dengan gelisah. Wajahnya pucat, khawatir. Kami berdua menunggu orang yang kata Kimmy membeliku, tapi sampai sekarang tak kunjung datang.

"Bagaimana, Kim? Orangnya sudah sampai mana?"

Anehnya, sebagian diriku berharap dia tak jadi datang. Agar aku tak perlu menjual diri hari ini, di kamar mewah ini. Aku belum siap, sungguh. Meskipun sudah terlanjur setuju.

"Nggak tahu, Ra. Janjiannya udah setengah jam yang lalu. Tapi nomornya nggak aktif," jawab Kimmy, matanya tak lepas dari ponsel di tangannya. Kecemasan terpancar jelas. Kemewahan kamar ini tak mampu mengurangi kekhawatirannya.

"Siapa namanya, Kim? Gimana orangnya? Usia berapa kira-kira?"

Penasaran menggerogotiku. Siapakah pelanggan pertamaku ini? Bayangan-bayangan buruk memenuhi kepalaku.

Seorang pria tua, mungkin. Kulit gelap, penampilan kurang menarik, botak, perut buncit… dan yang paling membuatku takut, dia pasti seorang pria hidung belang.

Hanya membayangkannya saja, bulu kudukku sudah merinding. Mual dan jijik. Aku bahkan ragu bisa memuaskannya.

Ya Allah… apa yang harus kulakukan?

"Dylan Matthew namanya, Ra."

Dylan Matthew?

Nama yang terdengar cukup keren, berbeda jauh dari bayangan pria tua dan menjijikkan yang ada di kepalaku.

"Eh, dia udah naik lift, Ra! Ayo, siap-siap!" Kimmy heboh, berlari membuka pintu.

"Siap-siap? Aku sudah siap dari tadi, kok!" Aku bingung dengan instruksinya. Tapi aku berdiri tegak, mencoba menenangkan diri.

"Maksudku, sambut dia dengan senyum terbaikmu. Tunjukkan yang termanis, dan ingat kata-kataku… kepuasan pelanggan adalah prioritas utama!"

"Oke!" Aku mengangguk cepat. Detak jantungku makin tak karuan. Segera, terdengar suara langkah kaki mendekat.

"Selamat malam .…"

Suara berat itu… familiar. Aku mendongak. Tubuhnya tinggi dan gagah, hidungnya mancung.

Dia… dia seperti pria yang ada di depan toilet! Pria yang menangis dan kuberikan sapu tangan bekas ingusku!

Benar, dialah orangnya. Jadi… dia pelanggan pertamaku?

"Selamat malam, Pak Dylan. Perkenalkan ... ini Laura, anak baru di rumah bordirku."

Kimmy memperkenalkan aku, merangkul bahuku.

Aku masih terpaku, mencoba memaksakan senyum terbaik. Semoga dia menyukaiku, meskipun mungkin dia masih ingat betapa kusut dan ‘gembel’ penampilanku saat bertemu pertama kali di toilet.

"Salam kenal, Nona Laura. Namaku Dylan." Pria tampan itu mengulurkan tangan. Tanganku gemetar hebat, terasa berat sekali saat menyambut uluran tangannya.

"Senang berkenalan dengan Anda, Pak Dylan."

Pak Dylan tersenyum tipis, lalu melepaskan jabat tangan kami. Senyumnya… semakin membuat wajahnya mempesona. Dia juga memiliki aura yang begitu kuat untuk memikat.

"Ya sudah, kalau begitu aku permisi ya, Pak. Selamat malam, dan semoga Bapak puas. Jangan sungkan untuk menghubungiku, jika Anda membutuhkan sesuatu."

"Iya." Jawabannya singkat, namun terdengar ramah.

"Ingat kata-kataku ya, Ra," bisik Kimmy, suaranya menekankan setiap kata, sebelum akhirnya pergi, meninggalkanku berdua dengan Pak Dylan.

Keheningan tiba-tiba melanda, tenggorokanku kering kerontang. Jantungku berdebar tak beraturan, bahkan sejak perjalanan tadi.

Aku mulai berpikir, langkah apa yang harus kulakukan. Mulai dari mana? Langsung membantunya membuka baju? Atau… menciumnya dulu, sebagai pembuka? Pikiran macam apa ini?

"Apa kamu haus, Laura?" Pertanyaan Pak Dylan memecah keheningan. Suaranya berat, namun lembut. Ada kehangatan yang tak terduga.

"Sedikit, Pak. Bapak sendiri bagaimana? Mau aku pesankan minuman, atau bagaimana?" Aku mencoba basa-basi, meskipun sebenarnya tak tahu caranya memesan minuman di hotel mewah ini. Aku berusaha bersikap ramah, mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja.

"Biar aku saja yang pesankan minuman untuk kita." Pak Dylan mendekat, duduk di tepi kasur, lalu mengambil ponselnya di dalam kantong celana. "Mau minum apa kamu?"

"Jus mangga saja, Pak."

"Baiklah." Dia mengetik pesanan, lalu menatapku. "Apa kamu lapar juga?"

"Enggak," jawabku cepat, menggeleng. Tapi… perutku berbunyi, nyaring.

Ah, menyebalkan! Ini memalukan sekali.

"Kenapa bilang enggak, padahal lapar?" Dia terkekeh pelan. Senyumnya… menyenangkan. Wajahnya terlihat semakin manis.

"Maaf," kataku, menunduk, pipiku memerah karena malu.

Beberapa menit kemudian, pesanan kami datang. Tak hanya minuman, Pak Dylan juga memesan makanan. Mungkin dia juga belum makan malam.

Kami makan malam di sofa di sudut ruangan. Keheningan canggung kembali menyelimuti kami, sampai akhirnya makan malam selesai.

Aku kenyang sekali. Ini pertama kalinya aku makan steak! Baru kusadari, aku belum makan apa pun sejak pagi tadi.

"Aku permisi ke toilet dulu ya, Pak, mau gosok gigi." Aku berdiri, sedikit ragu. Aku tak yakin ada pasta gigi di kamar mandi. Tapi setidaknya aku bisa berkumur. Aku khawatir mulutku bau setelah makan steak tadi.

"Tidak perlu gosok gigi. Kita langsung mulai saja sekarang." Pak Dylan berdiri, lalu kembali duduk di kasur, kedua pahanya sedikit terbuka.

"Langsung… mulai?" Aku mengulang kalimat itu dengan harap-harap cemas.

"Iya, mulai." Pak Dylan mengangguk, matanya menatapku.

Apa yang harus kulakukan?

Tubuhku langsung gemetar hebat. Ya Tuhan, apa yang terjadi? Kenapa aku tidak bisa menenangkan diri? Jantungku masih berdebar tak karuan.

Aku bingung. Bagaimana cara memuaskan pelanggan? Ini pelanggan pertamaku. Aku tak mau salah langkah, takutnya berakibat fatal.

Apakah aku harus langsung menciumnya? Atau… meminta izin dulu?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terpaksa Jual Diri   66. Dept colector

    "Lho... kok aku?"Keheranan dan sedikit kekesalan masih terasa dalam suaraku. Pekerjaan kantorku sudah menumpuk, mengingat aku banyak ambil libur untuk menemani Laura dari mulai hamil sampai melahirkan. Karena aku sendiri ingin menjadi suami suami.Sekarang, belum lagi persiapan pernikahan kami yang menuntut waktu dan tenaga ekstra. Aku tak mungkin mampu mengurusi pekerjaan Mommy juga. Usulannya benar-benar di luar dugaanku, sebuah beban tambahan yang tak terbayangkan."Karyawan kamu 'kan banyak yang sudah berpengalaman. Mommy minta satulah, Lan, buat dijadikan asisten pribadi Mommy. Jadi dia yang akan handle pekerjaan Mommy." Suara Mommy terdengar lebih ringan, sebuah penjelasan yang meredakan kekhawatiranku. Sebuah solusi yang tak pernah terpikirkan sebelumnya."Oohhh ...." Rasa lega membanjiri dadaku. Aku menghela napas panjang. Kupikir Mommy memintaku sendiri yang harus turun tangan, mengambil alih sebagian pekerjaannya di tengah kesibukan yang sudah menggunung."Kamu ng

  • Terpaksa Jual Diri   65. Lion jauh lebih penting

    "Nggak perlu pikirkan masalah tes DNA, Ra. Tante sudah percaya kalau Lion itu benar-benar anaknya Dylan.""E-eh... serius, Tante?" Laura terperanjat, begitu juga aku. Seulas senyum lega langsung merekah di wajahnya. Syukurlah, lega rasanya mendengar keputusan Mommy."Serius, Ra," ujar Mommy, senyumnya hangat. "Sekarang nggak perlu pikirkan itu. Fokus saja pada kesehatanmu.""Iya, Tante." Laura mengangguk, matanya berkaca-kaca, haru terpancar jelas. "Terima kasih.""Harusnya Tante yang berterima kasih padamu." Mommy mendekat, duduk di ranjang, menggenggam tangan Laura erat. "Terima kasih telah melahirkan cucu pertama Tante, terima kasih juga telah menerima Dylan. Dia banyak kekurangannya." Pandangannya kemudian tertuju padaku, penuh makna."Aku juga banyak kekurangan kok, Tante." jawabku, suara sedikit bergetar karena terharu.***"Ayah! Ayah! Lihat ini!!"Seruan Qiara menggembirakan suasana kamar rawat

  • Terpaksa Jual Diri   64. Setelah 40 hari

    Agus seolah tak memiliki kekuatan untuk menahan dorongan Mommy. Tubuhnya limbung dan langsung jatuh ke lantai. Padahal, dorongan Mommy menurutku tidak terlalu keras. Kelihatannya Agus memang sedang sangat lemah."Kau ini mantan suaminya Laura, kan? Untuk apa kau datang ke sini dan ingin menemuinya? Kau sudah memiliki kehidupan baru, jadi berhentilah mengganggu Laura!" Mommy berteriak, matanya melotot tajam, suaranya penuh amarah. Jelas sekali dia juga tidak senang dengan kehadiran Agus."Ibu ini siapa? Pakai acara melarang-larangku? Aku dan Laura akan rujuk, dia akan menjadi istriku kem—" Ucapan Agus yang menjijikkan itu terhenti.Sebelum dia bisa menyelesaikan kalimatnya, aku sudah lebih dulu mere mas mulutnya dengan kuat. Dengan cepat, kutarik tangannya untuk membantunya berdiri, lalu menyeretnya keluar dari rumah sakit."Mmmmpppttt!!" Agus berusaha berontak, tapi sia-sia. Jangankan dengan tubuhnya yang sekarang kurus kering, dulu saat t

  • Terpaksa Jual Diri   63. Dia anakku, bukan anakmu!

    "Pak Dylan mohon keluarlah dulu. Bayi Anda akan dimandikan, nanti setelah itu Anda boleh mengadzaninya," ucap Dokter Anita, namun kekhawatiran membayangiku."Terus istri saya bagaimana, Dok?" tanyaku, suara sedikit gemetar. Laura, wanitaku yang luar biasa, yang baru saja berjuang melahirkan buah hati kita... Aku khawatir melihatnya begitu lelah."Istri Anda biar saya obati, biarkan dia beristirahat juga. Nanti Anda bisa menemuinya di ruang perawatan.""Baiklah, Dok. Saya titip istri dan anak saya, ya?" Kalimat itu terucap dengan penuh harap, seolah seluruh tanggung jawabku kuserahkan pada keahlian sang dokter."Siap, Pak."Aku tersenyum, sebuah senyuman yang masih bercampur rasa haru dan lega. Lalu, dengan hati berat, perlahan melepaskan genggaman tangan Laura. Wanitaku itu masih tersenyum, sebuah senyum yang begitu lelah namun penuh cinta. Saat aku meninggalkan ruangan, rasanya seperti meninggalkan sebagian jiwaku di sana."Bagaimana kondisi Laura dan anak kalian, Pak?" Suar

  • Terpaksa Jual Diri   62. Bayi laki-laki

    "Aaaaaahhhh... Aahhh... Aahhh ...." Desahan itu lolos dari bibirku, napas memburu, tubuh bergetar. Setelah berbulan-bulan menahan rindu yang membara, akhirnya malam ini tiba. Malam yang kurasakan begitu intens, kulitku terasa berdesir saat sentuhan Laura menyentuhku.Rasanya... persis seperti malam pertama kali kita bercinta. Kehangatan yang sama, gairah yang sama, kenikmatan yang sama, bahkan mungkin lebih dalam lagi.Setiap sentuhan, setiap desahan, setiap gerakan, semuanya begitu sempurna.Apakah penyatuan ini hanya puas dalam satu ronde? Aku pikir tidak.Aku masih haus, masih ingin lebih merasakan hangatnya tubuhnya, merasakan debaran jantungnya yang berirama dengan debaran jantungku.Namun, melihat perut Laura yang membuncit, mengendong buah hati kita... aku tak tega memaksanya. Aku takut dia kelelahan, takut sesuatu terjadi padanya atau pada bayi kita.Masih ada esok hari. Untuk malam ini, satu ronde saja dulu. Aku akan menikmati setiap detiknya, menyimpan kenangan in

  • Terpaksa Jual Diri   61. Kamu capek nggak?

    (POV Dylan)"Selamat ya, Laura, aku ikut bahagia melihatmu bahagia. Semoga pernikahanmu langgeng sampai maut memisahkan," ucap Mami Nona, seraya memeluk tubuh Laura. Terlihat jelas aura kebahagiaan terukir diwajahnya."Aminnn... Terima kasih, Kim," jawab Laura tersenyum.Setelah itu Mami Nona menjabat tanganku dan memberikan selamat juga. "Selamat ya, Pak. Jaga terus Laura dan Qiara, buatlah mereka selalu bahagia.""Tentu Mami Nona," jawabku, menganggukkan kepala."Panggil saja Kimmy, Pak. Nggak perlu ada embel-embel Mami lagi.""Baiklah kalau begitu.""Kalian ada niat pergi bulan madu nggak? Kalau ada... pergi saja, biar nanti aku yang jagain Qiara." Kimmy mengusap puncak rambut Qiara dengan lembut.Laura langsung menatap ke arahku, seolah meminta pendapat.Bicara tentang bulan madu, tentu saja itulah hal yang ingin aku lakukan setelah berhasil menikahinya. Tapi, aku perlu memikirkan ke depannya, takut nantinya kepergianku dengan Laura mengundang kecurigaan Mommy. Mengingat dia serin

  • Terpaksa Jual Diri   60. Ayah balu

    "Bagaimana, Gas? Ada perkembangan?" tanya Dylan, di ruang konsultasi yang sunyi.Dokter Bagas, teman sekaligus dokter spesialis kandungan yang dipercayainya, menatap layar komputer dengan ekspresi yang sulit diartikan. Dia sedang mengecek hasil dari pemeriksaannya."Alhamdulillah... ada perkembangan, Lan," ujar Dokter Bagas akhirnya, suaranya pelan, penuh pertimbangan. "Meskipun masih sedikit, jumlah sp*ermamu meningkat 2% dibandingkan pemeriksaan terakhir. Itu kabar baik, walau masih jauh dari angka ideal."Dokter Bagas menatap mata Dylan, berusaha menyampaikan informasi tersebut dengan hati-hati, menghindari harapan yang terlalu tinggi.Dylan menggigit bibir bawahnya, menahan gejolak emosi yang berkecamuk di dalam dirinya. "Berarti… masih ada kemungkinan aku bisa menghamili perempuan, ya, Gas?"Dokter Bagas mengangguk pelan. "Ada, Lan. Masih ada kemungkinan, meskipun peluangnya sangat kecil."Dylan menarik napas dalam-dalam

  • Terpaksa Jual Diri   59. Cucu pertamaku

    "Kemarin aku bertemu Agus. Aku pergi ke rumahnya, awalnya hanya ingin memberinya pelajaran… agar dia tidak lagi mengganggu kamu dan Qiara, Sayang," kata Dylan, suaranya berat.Mereka berdua berada di ruang keluarga yang hangat. Laura telah menyiapkan secangkir kopi untuk Dylan, berharap dapat membuat Dylan bercerita dengan tenang."Lalu, kanapa anak Mas Agus ikut terlibat?" tanya Laura lembut, namun ada kekhawatiran yang tersirat dalam suaranya.Dylan menghela napas panjang. "Ceritanya panjang, Yang.""Cukup inti saja, Pak," pinta Laura, suaranya terdengar sedikit mendesak."Begini… saat aku sampai di rumah Agus, dia justru pergi bersama ibunya dan anaknya. Mereka menuju rumah sakit. Agus membawa ibunya ke UGD karena katanya ibunya terbentur dinding, dahinya juga bersimbah darah. Tapi setelah diperiksa dokter… ibunya ternyata nggak tertolong."Mata Laura membulat sempurna, air matanya mengancam jatuh. Meskipun Bu Kokom bukan me

  • Terpaksa Jual Diri   58. Sejak kapan kalian berteman?

    Hari berganti.Mentari pagi masih malu-malu menampakkan diri, namun perut Laura sudah berontak. "Aduh… pagi-pagi begini kok aku kepingin banget makan rujak, ya?" gumamnya.Laura melangkah pelan keluar rumah, matanya menyapu jalanan, berharap menemukan pedagang rujak keliling. Namun, mustahil ada penjual rujak sepagi ini.Tiba-tiba, sebuah mobil polisi berhenti di depan gerbang rumah. Dua pria berseragam polisi turun dan mendekat. Dahi Laura berkerut."Selamat pagi, Nona. Apakah ini rumah Saudara Dylan?" tanya salah seorang polisi, tatapannya tajam."Saudara Dylan?" Laura tertegun."Maaf, Pak... rumah ini rumahnya Pak Dylan, bukan rumah saudaranya. Aku sendiri nggak kenal dengan saudaranya Pak Dylan. Tapi kalau Mommynya aku kenal."Tampaknya Laura menyalahartikan maksud dari polisi itu.Kedua polisi langsung saling berpandangan, kemudian kembali menatap Laura. "Maksud kami, Pak Dylan, Nona. Benarkah ini rumahnya?""Oohh ... benar, Pak." Laura mengangguk cepat "Tapi, ada keperluan

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status