"Nggak perlu pikirkan masalah tes DNA, Ra. Tante sudah percaya kalau Lion itu benar-benar anaknya Dylan."
"E-eh... serius, Tante?" Laura terperanjat, begitu juga aku. Seulas senyum lega langsung merekah di wajahnya. Syukurlah, lega rasanya mendengar keputusan Mommy."Serius, Ra," ujar Mommy, senyumnya hangat. "Sekarang nggak perlu pikirkan itu. Fokus saja pada kesehatanmu.""Iya, Tante." Laura mengangguk, matanya berkaca-kaca, haru terpancar jelas. "Terima kasih.""Harusnya Tante yang berterima kasih padamu." Mommy mendekat, duduk di ranjang, menggenggam tangan Laura erat. "Terima kasih telah melahirkan cucu pertama Tante, terima kasih juga telah menerima Dylan. Dia banyak kekurangannya." Pandangannya kemudian tertuju padaku, penuh makna."Aku juga banyak kekurangan kok, Tante." jawabku, suara sedikit bergetar karena terharu.***"Ayah! Ayah! Lihat ini!!"Seruan Qiara menggembirakan suasana kamar rawat"Lho... kok aku?"Keheranan dan sedikit kekesalan masih terasa dalam suaraku. Pekerjaan kantorku sudah menumpuk, mengingat aku banyak ambil libur untuk menemani Laura dari mulai hamil sampai melahirkan. Karena aku sendiri ingin menjadi suami suami.Sekarang, belum lagi persiapan pernikahan kami yang menuntut waktu dan tenaga ekstra. Aku tak mungkin mampu mengurusi pekerjaan Mommy juga. Usulannya benar-benar di luar dugaanku, sebuah beban tambahan yang tak terbayangkan."Karyawan kamu 'kan banyak yang sudah berpengalaman. Mommy minta satulah, Lan, buat dijadikan asisten pribadi Mommy. Jadi dia yang akan handle pekerjaan Mommy." Suara Mommy terdengar lebih ringan, sebuah penjelasan yang meredakan kekhawatiranku. Sebuah solusi yang tak pernah terpikirkan sebelumnya."Oohhh ...." Rasa lega membanjiri dadaku. Aku menghela napas panjang. Kupikir Mommy memintaku sendiri yang harus turun tangan, mengambil alih sebagian pekerjaannya di tengah kesibukan yang sudah menggunung."Kamu ng
"Nggak perlu pikirkan masalah tes DNA, Ra. Tante sudah percaya kalau Lion itu benar-benar anaknya Dylan.""E-eh... serius, Tante?" Laura terperanjat, begitu juga aku. Seulas senyum lega langsung merekah di wajahnya. Syukurlah, lega rasanya mendengar keputusan Mommy."Serius, Ra," ujar Mommy, senyumnya hangat. "Sekarang nggak perlu pikirkan itu. Fokus saja pada kesehatanmu.""Iya, Tante." Laura mengangguk, matanya berkaca-kaca, haru terpancar jelas. "Terima kasih.""Harusnya Tante yang berterima kasih padamu." Mommy mendekat, duduk di ranjang, menggenggam tangan Laura erat. "Terima kasih telah melahirkan cucu pertama Tante, terima kasih juga telah menerima Dylan. Dia banyak kekurangannya." Pandangannya kemudian tertuju padaku, penuh makna."Aku juga banyak kekurangan kok, Tante." jawabku, suara sedikit bergetar karena terharu.***"Ayah! Ayah! Lihat ini!!"Seruan Qiara menggembirakan suasana kamar rawat
Agus seolah tak memiliki kekuatan untuk menahan dorongan Mommy. Tubuhnya limbung dan langsung jatuh ke lantai. Padahal, dorongan Mommy menurutku tidak terlalu keras. Kelihatannya Agus memang sedang sangat lemah."Kau ini mantan suaminya Laura, kan? Untuk apa kau datang ke sini dan ingin menemuinya? Kau sudah memiliki kehidupan baru, jadi berhentilah mengganggu Laura!" Mommy berteriak, matanya melotot tajam, suaranya penuh amarah. Jelas sekali dia juga tidak senang dengan kehadiran Agus."Ibu ini siapa? Pakai acara melarang-larangku? Aku dan Laura akan rujuk, dia akan menjadi istriku kem—" Ucapan Agus yang menjijikkan itu terhenti.Sebelum dia bisa menyelesaikan kalimatnya, aku sudah lebih dulu mere mas mulutnya dengan kuat. Dengan cepat, kutarik tangannya untuk membantunya berdiri, lalu menyeretnya keluar dari rumah sakit."Mmmmpppttt!!" Agus berusaha berontak, tapi sia-sia. Jangankan dengan tubuhnya yang sekarang kurus kering, dulu saat t
"Pak Dylan mohon keluarlah dulu. Bayi Anda akan dimandikan, nanti setelah itu Anda boleh mengadzaninya," ucap Dokter Anita, namun kekhawatiran membayangiku."Terus istri saya bagaimana, Dok?" tanyaku, suara sedikit gemetar. Laura, wanitaku yang luar biasa, yang baru saja berjuang melahirkan buah hati kita... Aku khawatir melihatnya begitu lelah."Istri Anda biar saya obati, biarkan dia beristirahat juga. Nanti Anda bisa menemuinya di ruang perawatan.""Baiklah, Dok. Saya titip istri dan anak saya, ya?" Kalimat itu terucap dengan penuh harap, seolah seluruh tanggung jawabku kuserahkan pada keahlian sang dokter."Siap, Pak."Aku tersenyum, sebuah senyuman yang masih bercampur rasa haru dan lega. Lalu, dengan hati berat, perlahan melepaskan genggaman tangan Laura. Wanitaku itu masih tersenyum, sebuah senyum yang begitu lelah namun penuh cinta. Saat aku meninggalkan ruangan, rasanya seperti meninggalkan sebagian jiwaku di sana."Bagaimana kondisi Laura dan anak kalian, Pak?" Suar
"Aaaaaahhhh... Aahhh... Aahhh ...." Desahan itu lolos dari bibirku, napas memburu, tubuh bergetar. Setelah berbulan-bulan menahan rindu yang membara, akhirnya malam ini tiba. Malam yang kurasakan begitu intens, kulitku terasa berdesir saat sentuhan Laura menyentuhku.Rasanya... persis seperti malam pertama kali kita bercinta. Kehangatan yang sama, gairah yang sama, kenikmatan yang sama, bahkan mungkin lebih dalam lagi.Setiap sentuhan, setiap desahan, setiap gerakan, semuanya begitu sempurna.Apakah penyatuan ini hanya puas dalam satu ronde? Aku pikir tidak.Aku masih haus, masih ingin lebih merasakan hangatnya tubuhnya, merasakan debaran jantungnya yang berirama dengan debaran jantungku.Namun, melihat perut Laura yang membuncit, mengendong buah hati kita... aku tak tega memaksanya. Aku takut dia kelelahan, takut sesuatu terjadi padanya atau pada bayi kita.Masih ada esok hari. Untuk malam ini, satu ronde saja dulu. Aku akan menikmati setiap detiknya, menyimpan kenangan in
(POV Dylan)"Selamat ya, Laura, aku ikut bahagia melihatmu bahagia. Semoga pernikahanmu langgeng sampai maut memisahkan," ucap Mami Nona, seraya memeluk tubuh Laura. Terlihat jelas aura kebahagiaan terukir diwajahnya."Aminnn... Terima kasih, Kim," jawab Laura tersenyum.Setelah itu Mami Nona menjabat tanganku dan memberikan selamat juga. "Selamat ya, Pak. Jaga terus Laura dan Qiara, buatlah mereka selalu bahagia.""Tentu Mami Nona," jawabku, menganggukkan kepala."Panggil saja Kimmy, Pak. Nggak perlu ada embel-embel Mami lagi.""Baiklah kalau begitu.""Kalian ada niat pergi bulan madu nggak? Kalau ada... pergi saja, biar nanti aku yang jagain Qiara." Kimmy mengusap puncak rambut Qiara dengan lembut.Laura langsung menatap ke arahku, seolah meminta pendapat.Bicara tentang bulan madu, tentu saja itulah hal yang ingin aku lakukan setelah berhasil menikahinya. Tapi, aku perlu memikirkan ke depannya, takut nantinya kepergianku dengan Laura mengundang kecurigaan Mommy. Mengingat dia serin
"Bagaimana, Gas? Ada perkembangan?" tanya Dylan, di ruang konsultasi yang sunyi.Dokter Bagas, teman sekaligus dokter spesialis kandungan yang dipercayainya, menatap layar komputer dengan ekspresi yang sulit diartikan. Dia sedang mengecek hasil dari pemeriksaannya."Alhamdulillah... ada perkembangan, Lan," ujar Dokter Bagas akhirnya, suaranya pelan, penuh pertimbangan. "Meskipun masih sedikit, jumlah sp*ermamu meningkat 2% dibandingkan pemeriksaan terakhir. Itu kabar baik, walau masih jauh dari angka ideal."Dokter Bagas menatap mata Dylan, berusaha menyampaikan informasi tersebut dengan hati-hati, menghindari harapan yang terlalu tinggi.Dylan menggigit bibir bawahnya, menahan gejolak emosi yang berkecamuk di dalam dirinya. "Berarti… masih ada kemungkinan aku bisa menghamili perempuan, ya, Gas?"Dokter Bagas mengangguk pelan. "Ada, Lan. Masih ada kemungkinan, meskipun peluangnya sangat kecil."Dylan menarik napas dalam-dalam
"Kemarin aku bertemu Agus. Aku pergi ke rumahnya, awalnya hanya ingin memberinya pelajaran… agar dia tidak lagi mengganggu kamu dan Qiara, Sayang," kata Dylan, suaranya berat.Mereka berdua berada di ruang keluarga yang hangat. Laura telah menyiapkan secangkir kopi untuk Dylan, berharap dapat membuat Dylan bercerita dengan tenang."Lalu, kanapa anak Mas Agus ikut terlibat?" tanya Laura lembut, namun ada kekhawatiran yang tersirat dalam suaranya.Dylan menghela napas panjang. "Ceritanya panjang, Yang.""Cukup inti saja, Pak," pinta Laura, suaranya terdengar sedikit mendesak."Begini… saat aku sampai di rumah Agus, dia justru pergi bersama ibunya dan anaknya. Mereka menuju rumah sakit. Agus membawa ibunya ke UGD karena katanya ibunya terbentur dinding, dahinya juga bersimbah darah. Tapi setelah diperiksa dokter… ibunya ternyata nggak tertolong."Mata Laura membulat sempurna, air matanya mengancam jatuh. Meskipun Bu Kokom bukan me
Hari berganti.Mentari pagi masih malu-malu menampakkan diri, namun perut Laura sudah berontak. "Aduh… pagi-pagi begini kok aku kepingin banget makan rujak, ya?" gumamnya.Laura melangkah pelan keluar rumah, matanya menyapu jalanan, berharap menemukan pedagang rujak keliling. Namun, mustahil ada penjual rujak sepagi ini.Tiba-tiba, sebuah mobil polisi berhenti di depan gerbang rumah. Dua pria berseragam polisi turun dan mendekat. Dahi Laura berkerut."Selamat pagi, Nona. Apakah ini rumah Saudara Dylan?" tanya salah seorang polisi, tatapannya tajam."Saudara Dylan?" Laura tertegun."Maaf, Pak... rumah ini rumahnya Pak Dylan, bukan rumah saudaranya. Aku sendiri nggak kenal dengan saudaranya Pak Dylan. Tapi kalau Mommynya aku kenal."Tampaknya Laura menyalahartikan maksud dari polisi itu.Kedua polisi langsung saling berpandangan, kemudian kembali menatap Laura. "Maksud kami, Pak Dylan, Nona. Benarkah ini rumahnya?""Oohh ... benar, Pak." Laura mengangguk cepat "Tapi, ada keperluan