"Terserahlah. Tapi katakan pada Mas Agus, kalau memang dia mau mengusirku dari rumah dan mengambil sertifikat rumah ... mintalah sendiri, bicara langsung padaku. Jangan melalui Mama, karena aku tidak akan memberikannya!" tegasku hampir berteriak.
Diawal dialah yang membawaku masuk ke dalam rumahnya, dan saat dia ingin aku keluar, harus dia juga yang melakukannya.Sekarang, aku harus secepatnya memikirkan untuk mencari rumah kontrakan. Untunglah ada uang tips dari Pak Dylan, jadi aku tidak terlalu berat untuk memikirkannya."Kenapa memangnya kalau aku yang minta? Apakah ...."Mama Kokom tampaknya belum selesai bicara, tapi aku sudah meninggalkannya. Aku berlari secepat mungkin, supaya dia tidak bisa mengejarku.Aku juga akan meminta pihak rumah sakit untuk melarang Mama Kokom masuk, karena aku dan Qiara butuh ketenangan.***Hari berganti."Bunda ...."Suara Qiara, lembut seperti desiran angin pagi, m"Bunda angkat telepon dulu sebentar ya, Sayang. Nanti kita sarapan bareng," ucapku. Kudengar Qiara menyahut, tapi suaranya samar jadi aku tidak jelas mendengarnya."Hallo, Kim.""Ada di mana kamu?""Rumah sakit.""Nanti sore datang ke salon, ya. Kita ketemuan di sana.""Salon? Mau ngapain, Kim?" Aku bertanya bingung."Semalam kamu 'kan udah libur, jadi malam ini kamu harus kerja. Sudah ada pria yang udah booking kamu malam ini.""Kerja? Tapi Qiara baru aja siuman, Kim." Mana mungkin aku meninggalkan Qiara seorang diri di rumah sakit, sementara aku bersenang-senang dengan seorang pria. Aku juga khawatir Qiara akan menangis mencariku."Baguslah kalau sudah siuman. Tandanya operasinya lancar.""Operasinya memang lancar, tapi Qiara masih butuh perawatan. Dan tidak mungkin aku meninggalkannya sendiri, aku tidak tega. Takut Qiara nangis juga.""Titipkan pada saudaramu saja, Ra. Pasti mereka datang me
"Dia kecelakaan. Sekarang di rumah sakit." Aku terkejut. "Innalillahi ...." "Dia belum meninggal, Ra. Hanya kecelakaan, tabrakan mobil." "Innalillahi bukan hanya untuk orang meninggal, Kim. Aku hanya kaget." "Oh, gitu. Ya sudah, pulang saja sekarang, Ra. Bookingan Pak Jordi diundur sampai dia sembuh. Kita tunggu kabar darinya.""Iya. Ya sudah, aku pulang sekarang. Kamu tunggu aku dulu, ya, jangan tinggalkan Qiara." Qiara... anakku.Sebelum berangkat, aku ingat dia sudah tertidur. Tapi dia sering terbangun minta minum. Aku khawatir kalau dia sendirian dan dia kesulitan untuk mengambil air minum. "Iya, tenang saja. Aku pulang kalau kamu sudah sampai. Naik ojek saja, biar cepat.""Oke." Aku menutup panggilan, membayar tagihan, lalu melangkah keluar restoran. Aplikasi ojek online kubuka, mencari driver yang tersedia. "Nona, kamu mau ke mana?" Suara seseorang yang b
Mentari pagi menyelinap masuk dicelah jendela hotel, menyingkapkan hari baru. Perutku terasa berat, dan saat kulihat, ternyata ada lengan Pak Dylan yang melingkari pinggangku. Dia masih tertidur pulas, suara dengkurannya terdengar samar ditelinga.Senyumku mengembang. Semalam... kenangannya masih terasa begitu nyata. Berbeda dengan awal pertama kita melakukan, karena kali ini dia lah yang memimpin permainan dan sama sekali tak meminta untuk aku di atas. Tiga kali kami merasakan kenikmatan itu. Namun, tubuhku tetap remuk, lemas tak berdaya. "Kamu sudah bangun?" Suara serak dan sedikit parau Pak Dylan membuyarkan lamunanku. "Iya, Pak. Selamat pagi. Bapak tidur nyenyak sekali." "Kamu juga." Sentuhan lembutnya di tanganku, menggenggam erat. "Laura, boleh aku tanya sesuatu?""Katakan saja, Pak.""Seandainya kamu memiliki pasangan... Tapi pasanganmu berselingkuh, apa yang akan kamu lakukan?" Pertanyaannya membuatku mengernyit
Keesokan harinya, aku mengajak Melisa ke rumah sakit. Namun, aku belum memberitahunya tujuan sebenarnya."Mas ... kenapa kita ke rumah sakit? Kenapa ke dokter kandungan?" tanyanya bingung, menatapku yang tengah sibuk mengisi formulir pendaftaran. Matanya berbinar, penuh tanda tanya.Aku tersenyum. "Nanti kamu tau kok, Sayang." Rasa gugup dan haru bercampur aduk dalam dada. Aku tak sabar untuk mengetahui hasil pemeriksaannya."Apa kita akan memeriksa kesehatanmu, Mas? Memangnya sudah ada kemajuan, ya?" Melisa bertanya dengan ragu, tatapannya masih dipenuhi tanda tanya."Kita buktikan saja," jawabku, mengangguk mantap, berusaha menyembunyikan kegugupanku. Tekadku bulat untuk menghadapi apapun hasilnya.Beberapa menit kemudian, nama Melisa dipanggil. Kami masuk ke ruang pemeriksaan. Aku langsung meminta dokter melakukan USG. Pemeriksaan itu, seakan berlangsung sangat lama. Detak jantungku berpacu kencang. Apakah benar ada janin di dalam rahim istriku? Apakah aku akan segera
Dari semua kata-kata yang dilontarkannya, kalimat itu yang paling menusuk. Kalimat itu yang menghancurkanku, yang membuatku terpuruk hingga hampir mengakhiri hidupku sendiri.Aku pernah meminum obat tidur dalam jumlah banyak. Aku berpikir itu akan membuatku overdosis lalu mati. Namun nyatanya, itu tidak berefek padaku. Dan setelah aku mencari tau, rupanya obat itu sudah kadaluwarsa. Mungkin itu penyebabnya.Aku juga pernah coba bunuh diri menggunakan tali, tapi tali itu selalu putus oleh sendirinya saat kukalungkan pada leher. Padahal sebelumnya, aku sudah mengecek bahwa tali tambang itu benar-benar kuat dan bisa dipakai.Tahap selanjutnya, aku pernah terjun bebas dari atas jembatan. Tapi kembali aku dihadapkan kegagalan karena celanaku tersangkut dan alhasil itu robek, membuatku malu saat beberapa orang datang menolong.Dan yang terakhir, aku pernah mencoba memotong pergelangan tanganku. Denyut nadi berada di sana, dan kalau sudah putus, otomati
"Kamu boleh memikirkannya nanti. Tapi untuk sekarang ... fokus saja bekerja denganku. Tenang, jika hutangmu lunas... aku akan memberitahunya." Laura mengangguk cepat, lalu menggenggam tangan Mami Nona. "Terima kasih, Kim. Maaf, kalau aku cerewet." "Tidak apa-apa. Aku pulang dulu, ya? Salam untuk Qiara." "Iya. Hati-hati di jalan, Kim." Aku bergeser, bersembunyi di balik tembok. Setelah memastikan Mami Nona pergi, aku menuju kamar Qiara. Laura sudah masuk ke dalam. Tok... tok... "Permisi..." Ketukanku pelan, khawatir membangunkan Qiara. Pasti dia sedang beristirahat. "Iya ...." Pintu terbuka. Laura muncul dari balik sana. "Eh, Pak Dylan? Bapak di sini?" Wajahnya terkejut, tapi pipinya merona. "Aku mau menjenguk Qiara. Boleh, kan?" Aku melirik ranjang. Qiara duduk selonjoran, mengunyah potongan pepaya. "Boleh, Pak. Silakan masuk!" Laura mempersilakan, melebarkan pintu untukku.
(POV Laura)Aku kembali ke kamar Qiara setelah membeli kopi. Selain kopi, aku juga membawa beberapa roti dan biskuit untuk menemani Pak Dylan menikmati kopi. “Assalamualaikum,” bisikku lembut, sembari membuka pintu. “Waalaikumsalam.” Jawab Pak Dylan, menoleh ke arahku. Tubuhku membeku seketika. Jantungku berdebar kencang melihat Qiara tertidur pulas dalam dekapan Pak Dylan. Air mata mengalir tanpa permisi, membasahi kedua pipiku. Aku tak menyangka akan bertemu dengan pria sebaik Pak Dylan. Dia… sungguh berhati malaikat. Dia bahkan baru dua kali bertemu Qiara, namun begitu lembut dan penuh kasih sayang padanya. Sementara Mas Agus, ayah Qiara… Jangankan memeluk Qiara, menatap matanya saja dia enggan. Sejak lahir hingga sekarang, aku hanya ingat sekali dia menggendong Qiara. Itu pun sebelum Qiara didiagnosis menderita penyakit jantung. “Kenapa kamu menangis?” Aku tersentak. Sebuah tangan lembut menyent
Hari berganti."Halo… iya, Mbak?” Aku menjawab panggilan telepon dari Mbak Ikah, salah satu pelanggan yang sering menggunakan jasaku untuk mencuci dan menyetrika pakaiannya. Jantungku berdebar sedikit lebih cepat, mengharap kabar baik.“Kamu ‘kan kemarin-kemarin nanya info rumah kontrakan, ya? Terus sekarang udah ketemu apa belum?”Benar, beberapa hari ini aku memang menanyakan padanya. Mbak Ikah sering keluar rumah karena pekerjaannya, jadi dia pasti punya banyak informasi.“Belum, Mbak. Memangnya Mbak sendiri sudah dapat?”“Kebetulan ada nih yang satu juta sebulan. Tapi ukurannya nggak sebesar rumah. Cuma dua petak doang. Satu ruang untuk tempat tidur dan satunya untuk dapur, kamar mandi ada di dekat dapur, Ra.”“Tempatnya sempit nggak, Mbak? Terus bersih nggak?”Satu juta sebulan… itu terbilang murah daripada rumah lain yang pernah aku kunjungi. Tapi semoga tempatnya layak.“Lumayan, Ra. Tempatnya juga bersih
(POV Author)Sesuai perintah Dylan, Sakti bergegas membawa Rifky ke rumah sakit. Dia langsung menuju ruang UGD, mengikuti petunjuk Dylan bahwa pria itu pingsan di sana.Namun, sebelum sempat bertanya pada perawat, seorang pria berjas datang mendekatinya."Kamu Sakti, kan?" Pria itu menatap Sakti dengan tatapan bertanya. Sakti menoleh, terlihat terkejut. "Kenapa cucuku ada bersamamu?""Eh, Pak Wisnu?" Sakti tak menyangka bertemu mantan mertua Dylan sekaligus ayah Melisa di tempat ini."Aku bertanya, kenapa Rifky ada bersamamu?" Pak Wisnu mengambil alih Rifky yang tertidur pulas dari gendongan Sakti. Wajahnya tampak khawatir."Ini… saya hanya diminta Pak Dylan, Pak." Sakti menjawab gugup."Dylan?" Alis Pak Wisnu bertaut, menyebut nama mantan menantunya itu. Pandangannya menyapu ruangan, mencari keberadaan Dylan. "Di mana Dylan?""Pak Dylan ada di kantor, Pak. Kalau begitu, saya permisi dulu," Sakti hendak berbalik, namun tangannya dicekal Pak Wisnu. Sentuhan itu terasa dingin.W
"Sepertinya dia pup," kata Laura, dia sedikit mengernyitkan hidung, menunjukkan dia juga mencium aroma kurang sedap dari bayi mungil itu. Laura bedong bayi yang tampak basah dan menggembung di bagian bawah."Iya, memang pup. Tadi aku sudah menyuruh Sakti untuk nyebokin. Eh... dia malah kabur dan memberikannya kembali padaku. Si Sakti itu memang selalu saja bikin repot," ujarku, sedikit menghela napas. Aku mengusap wajahku dengan lelah."Sini... biar aku saja yang nyebokin, Pak." Laura dengan sigap mengambil alih bayi itu dari gendonganku. Gerakannya begitu hati-hati dan lembut, seperti sedang menangani sesuatu yang sangat berharga. Dia memeriksa bedong bayi itu dengan teliti, kemudian dengan lembut membukanya. Wajahnya sedikit mengerut saat melihat isi bedong yang cukup banyak. "Tapi… bayi ini bayinya siapa, Pak?" Tatapannya bertanya, penuh rasa ingin tahu yang tercampur dengan sedikit kekhawatiran. Ada sesuatu yang tampak ganjil baginya.Aku terdiam sejen
(POV Dylan)"Hah? Kau bilang apa barusan? Kau suruh aku mengambil lagi Melisa?" Aku menatapnya tak percaya. Setelah semua yang sudah dia dan Melisa perbuat, dia seenaknya bilang begitu?Cih! Tidak sudi! Untuk apa aku kembali pada wanita yang tak pernah bersyukur seperti Melisa? Lebih baik aku bersama Laura."Rupanya kau sudah tau sekarang, kalau Melisa itu istri yang durhaka. Tapi memang kalian ini cocok, karena kau juga suami durhaka, Gus," ujarku, kemudian tertawa mengejeknya. Wajahnya memerah menahan amarah, aku senang berhasil memancingnya."Kurang ajar... beraninya kau!!" Agus mengangkat kepalan tangannya, siap menghajarku. Namun, gerakannya terhenti saat seorang dokter keluar dari ruang UGD.Agus langsung berdiri, menatap dokter dengan wajah cemas."Bagaimana keadaan Mamaku, Dok? Dia baik-baik saja, kan?" Suaranya bergetar, ketakutan terpancar dari sorot matanya."Ibu Kokom mengalami gegar otak akib
Tentang pesta pernikahan itu, sebetulnya dari dulu aku ada niat untuk membuatnya. Namun, uangku selalu terpakai oleh kebutuhannya yang tidak penting itu.Selain itu, sifat dan kepribadian Melisa yang bertolak belakang dengan Laura membuatku berpikir ulang. Untuk apa aku kembali menghamburkan uang untuk mengadakan pesta, lebih baik aku melepaskannya saja."Kamu memberikan aku anak yang cacat! Aku tidak sudi punya anak cacat dan punya suami seperti kamu yang mengirimkan benih anak cacat!" Kata-kata itu keluar dari mulutnya, tajam seperti belati yang menusuk jantungku."Hei, jaga bicaramu, Melisa!!" Aku berteriak, amarah meledak tak tertahankan. Sejak kapan dia jadi selancang ini?Tangan terangkat, ingin menampar mulutnya, tapi sebelum itu terjadi, dia mendorongku dengan kuat. Tubuhku terhempas ke lantai, benturan keras membuat kepalaku berdenyut hebat.Aku tertegun. Tak menyangka Melisa memiliki tenaga yang besar, dan mengapa kelak
"Bukan nggak rela, Pak. Tapi mainan itu 'kan nggak salah, meskipun yang memberikannya punya salah. Jadi nggak perlu dibuang," jawab Laura, menatapku dengan serius. Tatapannya menunjukkan keyakinan yang kuat pada pendiriannya."Tapi buat apa disimpan kalau Qiara sendiri nggak mau memainkannya? Kan sama saja mubazir... mending dibuang," kataku, suaraku terdengar sedikit kesal. Aku masih merasa tak puas dengan penjelasannya. Rasanya ada sesuatu yang mengganjal di hatiku."Untuk sekarang biarkan saja, Pak. Bisa saja suatu hari nanti dia menanyakan mainan itu," kata Laura lembut, pandangannya tertuju pada Qiara yang masih asyik menonton. Ada ketulusan dan kasih sayang yang terpancar dari matanya.Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. "Tapi kamu nggak ada niat buat kembali sama Agus 'kan, Yang?"Aku memberanikan diri untuk mengatakannya. Sekarang, kita akan menjadi satu keluarga. Tak ada lagi yang perlu disembunyikan. Aku perlu kepastian.Laura tersenyum, se
"Cantik... Apa kamu masih ingat di mana rumahmu?"Aku bertanya lirih pada Qiara, suara mesin mobil menjadi latar belakang percakapan kami. Matahari sore mulai tenggelam, memancarkan cahaya jingga yang menyinari wajahnya yang terlihat begitu ceria.Bayangan Agus kembali menghantui pikiranku. Mengetahui alamat rumahnya akan memudahkan untukku membuat perhitungan. Dan mungkin, Qiara bisa mengingat jalan menuju rumahnya."Lumah??" Qiara menatapku bingung. "Iya. Rumah Ayahmu, Cantik. Rumah Ayah Agus," jelasku lebih detail, supaya dia paham maksudku."Oh, di jalan Cempaka Putih, Om. Tapi... Qiala nggak mau ke sana! Qiala nggak mau ketemu Ayah Agus. Qiala benci sama Ayah!" Qiara menggeleng keras. Panik tergambar jelas di wajahnya, air mata mengancam untuk jatuh. Penolakannya bukan sekadar menolak, melainkan sebuah penolakan yang dipenuhi rasa benci yang dalam."Kita nggak ke sana kok," kataku, suaraku lebih lembut lagi. Aku mengusa
(POV Dylan) Sore ini, sengaja kuputuskan pulang lebih awal. Ada janji dengan dokter kandungan—sekaligus teman kuliahku dulu. Selain ingin memeriksakan kesehatan, eh maksudku, memeriksa kondisi Jarwo, banyak hal yang ingin kutanyakan padanya. Namun, langkah kakiku seketika terhenti parkirani. Suara Sakti, memecah lamunan. "Pak, apa Bapak mau pulang sekarang?" tanyanya "Iya," jawabku singkat. "Sudah nggak ada meeting lagi hari ini, jadi aku mau langsung pulang saja." Dia perlahan mengulurkan sebuah plastik berwarna merah tua kepadaku. "Saya titip ini untuk Laura, ya, Pak?" pintanya. "Apa ini?" Tanganku menerima plastik itu. Ternyata isinya adalah bika ambon. Kenapa Sakti membelikan makanan ini kepada Laura, dan apa maksudnya? Apa dia sengaja ingin mengambil perhatian calon istriku? Jika benar, dia sangat kurang ajar. "Bika ambon ini kesukaan Laura, Pak. Saya sengaja beli untuk hari ulang tahunnya," kata Sakti, tersenyum penuh arti. "Ulang tahun?" Mataku membulat tak perc
"Cukup!!" jeritku. Amarah meledak tak tertahankan.Bagaimana mungkin pria tak bermoral itu, dengan segala kebejatannya, berani menghujat calon suamiku, pria berhati malaikat yang aku cintai? Sungguh tidak tahu diri sekali Mas Agus ini."Bapak dan Ibu siapa, ya?" Suara satpam rumah mendekat. Dia datang dengan tergopoh-gopoh, wajahnya menunjukkan kejutan. Sebelumnya, dia memang tak ada di gerbang, mungkin tadi ke kamar mandi."Kami suami dan mertuanya Laura, Pak," jawab Mas Agus, suaranya santai dan lancang, tak menunjukkan sedikitpun penyesalan."Mantan suami dan mantan mertua, maksudnya, Pak!" Aku menegaskan, suara getar kupaksa tetap tegas. "Usir mereka dari sini, Pak. Aku mau masuk," kataku, lalu berbalik dan melangkah cepat menuju gerbang, meninggalkan mereka terpaku.Mas Agus sempat mencoba mencegah, namun satpam dengan sigap mendorong pintu gerbang hingga terbanting keras, menghentikan langkahnya. Aku merasakan suatu ra
"Laura! Qiara!" Seruan Mas Agus dari balik pintu mobil yang baru saja berhenti mengagetkanku. Kejutan itu berlipat ganda saat aku melihat Mama Kokom turun di sampingnya. Sinar matahari siang yang terik tiba-tiba terasa redup, digantikan oleh bayang-bayang masa lalu yang kelam. Mas Agus melangkah mendekat, namun Qiara langsung berlari masuk rumah sambil membawa es krim di tangannya, menghilang di balik pintu. Sebegitu kuatnya benci Qiara pada ayahnya, sampai-sampai dia tak mau bertemu. Tangan Mas Agus terulur, seolah ingin menyentuh perutku. Sebuah senyuman mengembang di bibirnya. "Bagaimana kabarmu, Laura? Apa kamu, Qiara dan calon anak kita baik-baik saja?" tanyanya, suaranya canggung namun tersirat harapan. Aku mundur selangkah, menghindari sentuhannya. Aroma parfumnya yang dulu pernah kusukai kini terasa menyengat. "Aku baik. Tapi, kenapa kalian ada di sini? Dan bagaimana kalian tau alamat rumah Pak Dylan?" tanyaku, nada suaraku sedikit meninggi. Melihat mereka di sini seperti