Home / Romansa / Terpaksa Jual Diri / 6. Tidak pandai bersyukur

Share

6. Tidak pandai bersyukur

Author: Rossy Dildara
last update Last Updated: 2025-02-11 12:06:51

"Bu Laura, ya?" Dokter itu menyapaku dengan ramah saat aku mendekat. Aku mengangguk, tersenyum simpul.

"Iya, Dok. Maaf mengganggu Dokter."

"Tidak apa-apa, Bu. Saya sudah selesai." Dia tersenyum hangat. "Oh ya, Ibu kemana semalam? Kami sempat mencari Ibu dan rumah sakit juga mencoba menghubungi, namun nomor Ibu tidak aktif."

Dokter mencariku? Sampai menelepon segala. Ya ampun, semalam ponselku kehabisan baterai. Wajar jika nomorku tidak aktif. Rasa bersalah menusukku.

"Maafkan aku. Semalam aku ada urusan mendadak, Dok. Tapi memang ada apa ya, Dok? Kenapa Dokter sampai mencariku?" Suaraku bergetar, khawatir akan ada kabar buruk. Aku menggigit bibir, gugup menunggu jawaban dokter.

"Saya hanya ingin memberitahukan kalau operasinya sudah selesai, dan alhamdulillah lancar, Bu." Kata-kata dokter itu seperti musik terindah di telingaku. Air mata haru membasahi pipiku, rasa syukur tak terhingga memenuhi dadaku.

Berat beban yang selama ini kupikul seakan sedikit berkurang. Aku memejamkan mata sejenak, merasakan syukur yang begitu dalam.

"Syukurlah, Dok .…" Aku menghela napas panjang, mengusap air mata yang masih mengalir di pipi. "Terima kasih, Dok. Terima kasih banyak."

"Sama-sama, tapi tolong jangan bangunkan Qiara dulu, ya, Bu. Tunggu dia bangun sendiri, karena itu efek dari obat pasca operasi."

"Baik, Dok." Aku mengangguk paham, masih terhanyut dalam rasa syukur.

"Selama proses pemulihan, Qiara dirawat di rumah sakit dulu ya, Bu. Nanti saya akan memberikan Ibu catatan, apa saja yang tidak boleh dimakan oleh Qiara. Hal itu bertujuan supaya tidak menghambat proses pemulihan."

"Baik, Dok," jawabku, kembali mengangguk. Aku memperhatikan setiap kata dokter, berusaha mengingat semua petunjuknya.

Dokter itu lantas pamit pergi, membiarkanku berdua dengan Qiara.

Aku mendekat, hatiku berdebar-debar. Aku mencium lembut keningnya yang terasa hangat dan halus. Aroma bayi yang lembut masih tercium samar dari rambutnya yang halus dan lembut. Aku mengelus puncak rambutnya dengan lembut, merasakan setiap helainya.

Rasanya rindu sekali aku padanya, padahal hanya semalam kami tak bertemu. Namun, semalam terasa seperti berabad-abad lamanya.

"Terima kasih, Sayang, kamu sudah kuat melewati proses operasi," bisikku lirih, air mata kembali mengalir. "Tapi Bunda minta maaf, karena telah membiayai operasimu dengan uang haram."

Tangis sesenggukan pecah, air mata membanjiri pipiku. Rasa sesal dan penyesalan begitu menyesakkan dada kala mengingat bahwa apa yang kulakukan semalam adalah perbuatan dosa besar.

Aku merasa begitu hina dan tidak layak menjadi seorang ibu. Aku telah melanggar prinsipku sendiri, melakukan hal yang bertentangan dengan keyakinan agamaku. Tapi, aku bisa apa sekarang?

Allah mungkin sudah membenciku, bahkan mengutukku. Tapi tidak apa, asal jangan benci dan mengutuk Qiara, karena aku akan merasa hancur.

Setelah Mas Agus berkhianat, dan meninggalkan aku dan Qiara tanpa biaya hidup, aku merasa di dunia ini yang kumiliki hanya Qiara seorang. Dia adalah satu-satunya alasan aku bertahan hidup. Aku akan melakukan apapun untuknya, meskipun itu berarti harus melanggar keyakinanku.

*

*

Perutku keroncongan, lapar sekali. Rasa lapar menusuk-nusuk, seakan ada yang menggerogoti dari dalam.

Beberapa hari ini, sejak Qiara kritis, aku sampai lupa makan. Tubuhku lemas, kepala terasa pusing. Meskipun biasanya aku hanya makan sekali sehari, tapi kalau sehari saja tak makan nasi, aku merasa tak bertenaga. Aku butuh energi untuk merawat Qiara.

"Bunda pergi sebentar, ya, Nak. Mau beli makan." Aku berbisik, pamit kepada Qiara meskipun dia masih terpejam. Aku mencium lembut keningnya, merasakan hangatnya kulitnya yang halus. Aku berbisik lagi, "Bunda sayang kamu, Nak. Nggak akan lama kok, hanya sepuluh menit." Aku berharap dia bisa merasakan cintaku.

Setelah membeli sebungkus nasi hangat di warung sederhana depan rumah sakit, aku kembali.

Namun, langkahku terhenti. Tepat di depan meja resepsionis, aku melihat Mama Kokom, ibu dari Mas Agus, berdiri dengan wajah memerah menahan amarah.

Tatapannya tajam, seperti elang yang mengintai mangsanya. Tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya, tubuhnya menegang. Aura negatif begitu kuat terpancar darinya.

"Akhirnya ketemu juga kamu, menantu sialan! Ke mana saja kau selama ini, hah?!" Bentakannya menggema, menusuk telingaku seperti ribuan jarum. Kata-katanya kasar, penuh kebencian.

Aku terkesiap. Aneh, dia bertanya aku ke mana, sementara dia sendiri melihatku berada di rumah sakit ini. Dan "sialan"? Seolah-olah akulah penyebab semua masalah. Padahal, anaknya lah yang pergi tanpa kabar dan tahu-tahu berselingkuh.

Aku terdiam sejenak, mencoba menenangkan diri. Aku tak ingin menanggapi bentakannya yang tak berdasar. Aku ingin segera kembali ke sisi Qiara.

Namun, saat aku hendak berlalu, Mama Kokom mencekal lenganku dengan kuat. Cengkeramannya seperti besi, kuku-kukunya yang panjang dan tajam menancap di kulit lenganku.

"Mau ke mana lagi, kau? Aku sudah jauh-jauh datang, tapi kau ingin pergi begitu saja?"

"Mama ini apa-apaan sih?" Suaraku bergetar, menahan amarah yang mulai membuncah. Segera kulepas tangannya dengan kasar. "Aku tidak pergi ke mana-mana! Aku berada di rumah sakit karena mengobati Qiara!" Aku menekankan kata "Qiara," berharap dia sedikit tersentuh.

Namun, tak ada belas kasihan di wajahnya. Dengan kasar, tangannya menarik lenganku, menyeretku keluar dari rumah sakit.

"Sudah aku katakan berulang kali, buang anakmu yang penyakitan itu ke panti asuhan! Mengobatinya pun percuma. Dia akan terus sakit-sakitan dan hanya akan menyusahkan kita!" Kata-katanya seperti sebilah pisau yang menancap di jantungku.

"Kita?? Apakah aku tidak salah dengar? Aku sama sekali tak menanggap Qiara menyusahkan. Dia anakku, Ma. Anugerah Allah yang diberikan padaku!" Aku menepuk dada dengan kasar. Rasanya sesak sekali. Sakit hati aku mendengar dia menyakiti anakku.

Bagaimana mungkin dia tega mengatakan hal seperti itu tentang cucunya sendiri? Air mata menggenang di pelupuk mataku, mengancam untuk tumpah.

"Qiara adalah cucu Mama satu-satunya!" Aku berteriak, suaraku bergetar karena emosi yang meluap. "Bagaimana Mama bisa tega mengatakan hal seperti itu?"

Ibu sama anak, memang sama-sama berhati iblis. Suatu hari nanti, kalian akan mendapatkan hukum karma karena terus menghina Qiara. Aku yakin itu.

"Aku tidak peduli. Qiara bukan cucu yang aku harapkan!" serunya acuh tak acuh.

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Jika terus ditanggapi, itu akan membuang-buang energi. Aku harus mengakhirinya sekarang.

"Sekarang, katakan apa tujuan Mama menemuiku?" Suaraku terdengar datar, berusaha terdengar tenang meskipun dadaku masih bergemuruh.

"Aku tadi pagi ketemu dengan Agus, dan Agus bilang ingin menceraikanmu." Mama Kokom berkata dengan nada puas.

Aku tersenyum kecut. "Terus?" tanyaku singkat, tak peduli.

Bagiku, perpisahan dengan Mas Agus adalah hal yang terbaik. Dia memang pria yang tak berguna, pelit, tukang selingkuh, dan kasar. Tak ada yang perlu kupertahankan.

Aneh, kenapa juga dulu aku sampai tergila-gila padanya. Padahal tampangnya pas-pasan, sangat jauh berbeda dengan Pak Dylan yang nyaris sempurna.

Ah, kenapa juga aku membandingkannya? Jelas mereka tak sama.

"Agus meminta kamu menyerahkan sertifikat rumahnya. Dan segera berkemas, tinggalkan rumah anakku!!" Permintaannya terdengar seperti perintah, penuh arogansi.

"Oohh ... jadi sekarang Mas Agus berniat untuk mengusirku dari rumah? Tapi kenapa nggak Mas Agusnya saja yang ngomong langsung, kenapa harus melalui Mama?"

"Kan kamu tau sendiri, Agus orang sibuk."

"Sibuk berselingkuh, ya, Ma?" Aku melontarkan pertanyaan itu dengan nada penuh sindiran.

"Tidak perlu mengatainya begitu. Harusnya kamu introspeksi diri!" Mama balik menyalahkanku. Aku menahan diri untuk tidak membentaknya. "Kenapa suamimu bisa berselingkuh, ya karena—"

"Suaminya tidak pandai bersyukur," kataku, dengan nada penuh kebencian.

"Enak saja! Kau berani menghina anakku? Jelas kamulah yang menjadi istri tidak pandai merias diri, itulah sebabnya Agus berselingkuh."

Seperti biasa, mau seburuk apapun Mas Agus, tetap saja Mama Kokom akan membelanya. Karena dia merupakan anak semata wayang yang dia sayangi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terpaksa Jual Diri   70. END

    (POV Author) "Alhamdulillah... akhirnya kamu sudah bebas, Mel." Pak Wisnu memeluk erat putrinya, air mata bahagia bercampur haru membasahi pipinya. Senyumnya merekah, mencerminkan kelegaan yang begitu mendalam setelah hampir enam bulan menjalani hari-hari cemas menunggu pembebasan Melisa. Sebenarnya, hukuman yang harus didapatkan Melisa adalah 10 tahun. Namun, di negeri ini hukuman bisa dibeli, jadi Pak Wisnu menggunakan kekayaannya untuk mengubah putusan pengadilan. Melisa membalas pelukan Papinya, menghirup aroma familiar kemeja Pak Wisnu yang selama ini hanya terbayang dalam mimpinya. Napas lega dihela panjang, mencoba melepaskan beban berat yang selama ini menimpanya. "Iya, Pi," bisiknya, suaranya sedikit serak. "Tapi aku benar-benar tersiksa selama di penjara." Melisa masih terbayang pada tembok-tembok dingin, makanan yang hambar, dan suara jeruji besi. Dia menggigit bibirnya, menahan isakan yang hampir pecah. "Nggak bisa makan enak, belanja, jalan-jalan, dan ke salon. Liha

  • Terpaksa Jual Diri   69. Aku kangen

    "Ya sudah kalau memang itu keinginan Mommy." Aku menghela napas panjang.Meskipun kekhawatiran masih ada, tapi aku berusaha untuk percaya. Lagipula Mommy sudah berpengalaman mengurus anak, buktinya aku sendiri bisa tumbuh sebesar ini tanpa bantuan baby sitter."Sekarang pergilah ke kamar, istirahat. Eh tapi... Laura sudah di KB, kan? Mommy khawatir dia hamil lagi. Ya Mommy sih nggak keberatan nambah cucu, malah seneng. Tapi masalahnya... Laura baru melahirkan, kasihan kalau langsung hamil lagi. Nggak baik juga untuk kesehatannya." Wajah Mommy berubah serius, kekhawatirannya terlihat jelas.Aku mengelus pundak Mommy dengan lembut, sentuhan yang penuh kasih sayang dan rasa hormat. "Mommy tenang saja." Ucapku, mencoba menenangkannya. "Laura memang belum KB, tapi aku sudah mempersiapkan untuk memakai kon *dom yang super kuat dan tahan gesekan. Semuanya aman.""Kamu yakin?" Mommy menatapku tak percaya, keraguan terlihat jelas di matanya. "Bukannya dulu kamu dan Laura berhubungan

  • Terpaksa Jual Diri   68. Rencana bulan madu

    "Saya terima nikah dan kawinnya Laura Almira binti almarhum Suswanto dengan mas kawin satu set perhiasan tiga puluh gram dibayar tunai!!" Hari ini, bukan hanya hari bahagia biasa, melainkan puncak dari penantian panjang, buah manis dari sebuah kisah cinta yang terjalin penuh liku. Resepsi pernikahan kami berlangsung megah, sebuah perayaan besar yang menghapus bayang-bayang pernikahan siri kami yang disembunyikan dulu. Suasana penuh haru dan sukacita memenuhi ruangan, dipadati oleh keluarga dan sahabat yang turut larut dalam kebahagiaan kami. Ijab kabul kedua ini terasa begitu khidmat, menguatkan ikatan suci kami di hadapan semua orang yang hadir. Dua kali mengucapkan janji suci? Tak masalah. Yang terpenting, semuanya sah dan terasa lengkap, memberikan rasa damai dan tentram di hati. Kebahagiaan terpancar jelas dari wajah Mommy, meski tangannya masih sibuk mengurus Lion. Senyumnya yang tulus, walaupun samar di balik kesibukannya, mencerminkan kebahagiaan yang begitu dalam dan

  • Terpaksa Jual Diri   67. Selalu cantik

    "Hutang itu bukan hutang baru, Mas. Tapi hutang lama, pas dulu Qiara sakit." Suaranya bergetar, mengisyaratkan sebuah cerita yang berat dan menyedihkan. "Memangnya belum lunas?" Aku mengerutkan dahi. Kupikir hutang Laura hanya pada Kimmy dan pihak bank saja. Dan waktu itu aku sendiri yang melunasi hutang ke Kimmy, dengan cara memberikan nominal yang lebih besar saat membeli Laura. Aku tak menyangka masih ada hutang lain yang belum terselesaikan. "Kalau hutang sama Kimmy sudah lunas, sama pihak bank juga sedikit lagi. Tapi karena aku harus bayar hutang yang lain ... jadi aku lupa bayar sisanya di bank, dan alhasil hutang itu jadi berbunga." Laura menjelaskan, suaranya masih bergetar. "Kan bisa pakai uangku yang di rekening, kenapa kamu nggak pakai itu?" Aku bertanya, kebingungan dengan alasannya. "Aku nggak enak, Mas." Laura menggeleng, matanya berkaca-kaca. "Aku sudah pakai uang itu untuk kebutuhanku sehari-hari dengan Qiara, masa aku pakai lagi untuk kebutuhan hutangku." Penjelasa

  • Terpaksa Jual Diri   66. Dept colector

    "Lho... kok aku?"Keheranan dan sedikit kekesalan masih terasa dalam suaraku. Pekerjaan kantorku sudah menumpuk, mengingat aku banyak ambil libur untuk menemani Laura dari mulai hamil sampai melahirkan. Karena aku sendiri ingin menjadi suami suami.Sekarang, belum lagi persiapan pernikahan kami yang menuntut waktu dan tenaga ekstra. Aku tak mungkin mampu mengurusi pekerjaan Mommy juga. Usulannya benar-benar di luar dugaanku, sebuah beban tambahan yang tak terbayangkan."Karyawan kamu 'kan banyak yang sudah berpengalaman. Mommy minta satulah, Lan, buat dijadikan asisten pribadi Mommy. Jadi dia yang akan handle pekerjaan Mommy." Suara Mommy terdengar lebih ringan, sebuah penjelasan yang meredakan kekhawatiranku. Sebuah solusi yang tak pernah terpikirkan sebelumnya."Oohhh ...." Rasa lega membanjiri dadaku. Aku menghela napas panjang. Kupikir Mommy memintaku sendiri yang harus turun tangan, mengambil alih sebagian pekerjaannya di tengah kesibukan yang sudah menggunung."Kamu ng

  • Terpaksa Jual Diri   65. Lion jauh lebih penting

    "Nggak perlu pikirkan masalah tes DNA, Ra. Tante sudah percaya kalau Lion itu benar-benar anaknya Dylan.""E-eh... serius, Tante?" Laura terperanjat, begitu juga aku. Seulas senyum lega langsung merekah di wajahnya. Syukurlah, lega rasanya mendengar keputusan Mommy."Serius, Ra," ujar Mommy, senyumnya hangat. "Sekarang nggak perlu pikirkan itu. Fokus saja pada kesehatanmu.""Iya, Tante." Laura mengangguk, matanya berkaca-kaca, haru terpancar jelas. "Terima kasih.""Harusnya Tante yang berterima kasih padamu." Mommy mendekat, duduk di ranjang, menggenggam tangan Laura erat. "Terima kasih telah melahirkan cucu pertama Tante, terima kasih juga telah menerima Dylan. Dia banyak kekurangannya." Pandangannya kemudian tertuju padaku, penuh makna."Aku juga banyak kekurangan kok, Tante." jawabku, suara sedikit bergetar karena terharu.***"Ayah! Ayah! Lihat ini!!"Seruan Qiara menggembirakan suasana kamar rawat

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status