Share

2. Pura-pura Tidur

Penulis: Tetiimulyati
last update Terakhir Diperbarui: 2023-07-10 13:38:11

Tapi memasuki tahun kedua, Rey mulai berubah tak sesering dulu menghubungiku dengan alasan sibuk bekerja. Aku maklum.

Empat bulan sebelum genap dua tahun, Rey benar-benar menghilang. Nomor telepon dan semua akun media sosialnya tidak aktif.

Dan ini sudah satu tahun dari waktu yang Rey janjikan, aku masih menunggunya. Hingga Bang Fyan datang dan semua orang terdekatku meminta aku untuk mengakhiri penantian pada Rey.

"Ini sudah setahun dari waktu yang Rey janjikan. Dia memintamu menunggunya selama dua tahun, kamu bahkan telah menunggunya tiga tahun tanpa kabar darinya. Sudahlah, Ra. Mama mohon terima saja Fyan! Mama yakin dia bisa menjaga dan membahagiakanmu," kata Mama ketika malam itu tanpa diduga Bang Fyan beserta Ayah dan Bunda datang melamarku.

"Umur kamu sudah cukup untuk berumah tangga, Ra. Jangan buang waktu menunggu yang tidak pasti. Papa yakin Fyan tidak akan mengecewakanmu," tambah Papa

"Kalau aku sudah dari dulu aku berhenti menunggu Rey. Dia sudah nggak layak ditunggu, Ra," omel Maya ketika aku bercerita perihal lamaran Bang Fyan.

Keputusan memang berada di tanganku dan aku berhak bahagia. Bahkan aku masih beranggapan bahwa bahagiaku bersama Rey, tapi mungkin itu salah.

"Abang tahu aku masih menunggu Rey?" tanyaku pada Bang Fyan ketika beberapa hari yang lalu dia mengajakku makan siang.

"Iya, sangat tahu," jawabnya mantap.

"Kalau begitu, kenapa Abang bersikeras ingin menikahi Ara?" tanyaku sedikit ketus. Kulirik Bang Fyan tersenyum dan menatapku lekat.

"Karena Abang sayang sama Ara," jawabnya.

Aku membuang pandangan, bisa-bisanya Bang Fyan berkata seperti itu.

"Berarti Abang pagar makan tanaman dong karena merebut pacar sahabat sendiri?"

"Apakah Rey masih layak disebut pacar? Setelah dua tahun tanpa kabar tanpa komunikasi."

Kalimat Bang Fyan benar-benar kena di hatiku. Dua tahun kami tanpa komunikasi dan aku masih setia menunggunya.

"Abang jangan sok tahu! Bukankah selama ini kita juga nggak ada komunikasi?"

"Meski tak ada komunikasi diantara kita, tapi Abang tahu semuanya. Kemarin, Abang hanya tidak ingin mengganggu kalian. Itu saja."

"Kalau Ara ternyata masih berharap pada Rey dan tetap menanti kedatangannya. Apakah Abang akan tetap menikahi Ara?"

Bang Fyan nampak berpikir sejenak, dia menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan.

"Suatu saat jika Rey datang, Ara boleh menentukan pilihan. Abang akan terima apapun keputusan Ara. Yang penting saat ini Ara bersedia menikah dengan Abang."

"Kalau begitu Abang mempermainkan pernikahan dong?"

"Tidak ada maksud seperti itu. Abang hanya ingin Ara bahagia dan tidak terus larut dalam penantian yang sia-sia. Jika suatu saat takdir berkata lain, in sha Allah Abang siap."

Aku akan pegang kata-kata Bang Fyan jika suatu saat Rey datang. Aku menghela nafas berat, saat ini aku telah resmi menjadi istri Bang Fyan. Dan aku harus siap dengan segala konsekwensinya.

Berarti malam ini harus berbagi tempat tidur dengannya. Ya, Tuhan! Bagaimana kalau Bang Fyan meminta haknya malam ini? Aku benar-benar belum siap. Alasan apa yang harus aku berikan.

Apa aku pura-pura tidur saja, ya?

Teringat aku belum menunaikan kewajiban shalat Isya. Bergegas aku mengambil wudhu, dan segera menghadap Rabbku.

Mondar mandir aku gelisah sendiri. Duduk di tepi ranjang pengantin kami, yang seharusnya menjadi saksi penyatuan rasa diantara kami. Pelan ku usap sprei putih bertabur kelopak mawar.

Maafkan Ara, Bang Fyan!

Khawatir Bang Fyan segera datang, akhirnya aku mengambil tempat di sisi kanan ranjangku. Berbaring menghadap pinggiran ranjang. Ku taruh guling di belakangku, sebagai pembatas kalau nanti Bang Fyan tidur di sisi kiriku.

Lebih baik aku pura-pura tidur saja. Meskipun kantuk entah kemana perginya. Kucoba memejamkan mata dan memasang telinga. Memastikan pintu kamarku belum terbuka.

Cukup lama aku di posisi begini. Tapi sepertinya belum ada yang masuk ke kamarku. Kugerakkan tubuhku pada posisi terlentang. Tapi tiba-tiba seperti ada yang memutar handle pintu.

Segera aku kembali ke posisi semula. Mudah-mudahan Bang Fyan tidak melihat gerakanku.

Astaga!

Sebisa mungkin kuatur nafasku agar terlihat normal. Terdengar langkah kaki mendekati ranjang. Beberapa detik kemudian ranjang di sebelahku terasa bergerak.

Bang Fyan mungkin sudah berada di belakangku kini.

Bagaimana ini?

Jantungku rasanya seperti hendak meloncat. Terdengar jelas detaknya di telingaku.

"Ra, Abang tahu kamu belum tidur."

Deg!

Bang Fyan kok tahu ya, aku belum tidur. Apa tadi dia melihat pergerakanku? Atau nafasku yang tak beraturan terlihat oleh dia?

"Ara." Aku masih diam tak bergerak.

"Nggak usah pura-pura tidur, Mutiara!" Aduh. Bang Fyan kalau sudah memanggil namaku secara lengkap, biasanya dia sudah sampai pada tahap kesal.

Terdengar Bang Fyan berdecak. Sedetik kemudian aku merasakan tangannya menyentuh bahuku. Mau apa dia? Saking kagetnya aku terlonjak bangun menatap ke arahnya.

"Abang! Apa-apaan sih?" Jujur aku sangat kaget dan menatapnya kesal.

Segera ku tepis tangannya.

Bang Fyan beringsut mundur. Dia memiringkan kepalanya sambil mengerutkan dahi.

"Justru kamu yang kenapa, Ra? Dipanggil nggak jawab."

"Ara .... " Aku tak berani melanjutkan kalimat.

"Kamu udah shalat Isya?" tanyanya melembut.

"U-udah." Aku masih gugup.

"Kok ngga nunggu Abang? Kita kan bisa shalat berjamaah."

"Keburu ngantuk kalau nunggu Abang," gerutuku.

"Ngantuk tapi ngga tidur?"

Aku mendelik. Sebal.

"Abang mau shalat Isya. Tunggu, jangan tidur dulu!" Dia bergegas ke kamar mandi. Tak lama keluar dan segera mengambil sajadah dan sarung, kemudian menunaikan shalat Isya.

Aku melongo, tadi dia menyuruhku menuggu. Untuk apa? Jangan-jangan dia mau meminta haknya malam ini. Aku harus bagaimana?

Diam-diam kuperhatikan dia yang sedang khusuk menghadap Rabbnya. Bang Fyan memang ta'at beribadah, sejak dulu. Dia yang selalu mencerewetiku terutama perihal shalat.

Dia juga yang menceramahiku tentang hijab. Aku yang awalnya nyaman dengan jeans dan kaos oblong, perlahan mulai tertarik menggunakan rok dan gamis.

Bang Fyan melipat peralatan sholat, lalu duduk di pinggiran ranjang. Melirik ke arahku dan menepuk kasur di sebelahnya.

Aku mematung sesaat, dia mengulanginya lagi sambil mengangguk perlahan.

Aku beringsut turun dan berjalan memutar. Dengan ragu duduk di sebelahnya. Berada sedekat ini dengan dia, jangan tanya kondisi jantungku. Meskipun dia halal untukku, tapi sungguh ini belum terbiasa bagiku.

Dulu saat kami selalu bersama pun, tak pernah sedekat ini. Dia selalu menjaga jarak.

"Bang!" Aku memberanikan diri menatapnya.

Dia tak menjawab, seakan menunggu kalimatku selanjutnya.

"Ara ...." Tenggorokanku rasanya tercekat.

"Ya, kenapa? Ngomong aja!" Dia mentapku lekat.

"Ara belum siap jadi istri Abang yang seutuhnya. Perasaan Ara masih seperti dulu terhadap Abang. Tak lebih dari seorang adik pada kakaknya. Maaf." Aku memberanikan diri berbicara. Meliriknya malu-malu.

Senyumnya tertahan, sedetik kemudian terdengar dia terkekeh.

Aku mengerutkan kening. Apa ada yang lucu?

"Abang ngerti, Ra. Abang juga nggak akan maksa,kok. Ini tidak akan mudah, dan Abang akan bersabar sampai Ara siap. Kita pacaran dulu aja, ya. Anggap saja sekarang kita baru jadian." Senyumnya mengembang sambil mengerlingkan sebelah matanya. Genit.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nur Janah
sabar dan baik ya abangnya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Terpaksa Kuterima Lamaran Sahabatmu Ā Ā Ā 92. Restu Orang Tua

    "Ha--hallo ... assalamualaikum .... " Ara tidak bisa membunyikan kegugupannya. Suaranya terdengar bergetar begitu mengucap salam. "Waalaikumsalam, Ra. Abang kira Ara tidak mau menerima telepon dari Abang. Barusan Mama menyampaikan kabar bahagia itu. Makasih, ya." Suara renyah Fyan terdengar sangat familiar di telinga Ara. Seharusnya gadis itu rindu, tetapi entah kenapa saat ini Ara malah terkesan tidak suka. Bukan tidak suka orangnya, namun status mereka yang akan berubah. Itu yang membuat Ara gelisah. "Iya, Bang, tetapi ada syaratnya." "Katakan saja, apa yang harus Abang lakukan. Oh ya, apa kabar kamu, Ra?" Seperti biasa, Fyan selalu mengalah dan berusaha menurut apa yang Ara mau. "Ara baik, Bang. Eum .... ada baiknya kita ketemu, Bang. Kayaknya hal ini nggak bisa dibicarakan lewat telepon." Suara Ara tetap datar. "Eh, iya. Tentu saja kita harus ketemu, besok Abang jemput Ara di toko, ya." "Memangnya Abang tahu di mana toko Ara?" Gadis itu memicing. "Tahu, dong. Aban

  • Terpaksa Kuterima Lamaran Sahabatmu Ā Ā Ā 91. Pilihan Terbaik

    Fyan sudah bisa menduga kalau tidak semudah itu Ara menerima perjodohan ini. Bahkan sebenarnya Fyan juga sudah siap jika gadis itu menolak. Meski demikian, kabar dari Mama cukup membuat Fyan mematung beberapa saat.Kecewa. Tentu saja.Hal inilah yang ia takutkan sejak dulu. Empat tahun yang lalu, saat ia merasa ada perasaan lain pada gadis itu. Perasaan lebih dari sekedar sahabat dan seorang kakak. Yang pada akhirnya Fyan harus kehilangan Ara saat gadis itu jatuh ke tangan Rey. "Kamu Jangan berkecil hati, Nak. Mama dan Papa akan terus meyakinkan Ara.""Jangan dipaksakan, Ma. Sesuatu yang terpaksa itu tidak akan baik nantinya. Fyan ingin Ara menerima ini dengan kesadaran penuh dan tanpa paksaan.""Tenang saja, ya. Mama dan Papa tahu kok, harus bagaimana.""Terima kasih, Ma. Kalau begitu izinkan Fyan bertemu dengan Ara, biar Fyan yang menjelaskan padanya.""Sabar dulu, ya, Nak. Tidak secepat itu, nanti setelah Ara bisa ditemui malah akan kabarin, kok."Panggilan terakhir, Fyan meletakk

  • Terpaksa Kuterima Lamaran Sahabatmu Ā Ā Ā 90. Menolak

    Pulang dari bertemu dengan mama dan papanya Ara, Fyan merasa lega mendengar kabar gadis itu masih sendiri. Berarti ia mempunyai kesempatan untuk mewujudkan harapannya. Senyum tak lepas dari bibirnya, sepanjang perjalanan Fyan bersenandung kecil. Dunia yang sempat terasa sempit kini kembali melebar. Fyan berharap, semoga saja Ara menyetujui rencana mama dan papanya. Gadis itu pasti kecewa kepada Rey. Semoga kehadiran Fyan kembali akan membuka hatinya dan menjadi pelipur dukanya. Hari itu Fyan tidak kembali ke kantor. Ia mengirim pesan pada sekretarisnya untuk menghandle beberapa pekerjaan. Pemuda itu langsung pulang ke rumah lantaran ingin segera berbaring dan merayakan kebahagiaannya sendiri.Hal yang pertama Fyan lakukan setelah sampai di rumah adalah mencari media sosial Rey. Ia ingin bertanya pada sahabatnya itu kenapa sampai hati melakukan ini pada Ara.Terakhir kali Fyan berkomunikasi dengan Rey entah berapa tahun yang lalu. Kalau tidak salah tak lama setelah dia berada di Sura

  • Terpaksa Kuterima Lamaran Sahabatmu Ā Ā Ā 89. Besar Harapan

    Sudah hampir dua bulan Fyan tinggal di kota Bandung. Hari demi hari ia lalui sangat membosankan. Kegiatannya hanya ke kantor dan di rumah. Fyan termasuk orang yang tidak suka keluyuran atau nongkrong tidak jelas. Sesekali menginap di rumah Shafia jika Fyan sedang ingin makan makanan rumahan. Setiap hari makan di restoran memang tidak enak. Mau masak di rumah rasanya tidak seru kalau dimakan sendirian.Shafia pernah menyarankan supaya Fyan mencari seorang ART, tetapi sang adik tidak mau. Untuk bersih-bersih rumah, Fyan bisa mengerjakannya sendiri. Bukankah sekarang sudah banyak alat yang membantu. Pakaian dicuci di laundry. Selain rumah Shafia, hari minggu biasanya Fyan berkunjung rumah yang baru saja ia beli untuk melihat pembangunan yang sudah hampir selesai. Membayangkan suatu saat ia tinggal di sini bersama keluarga kecilnya. Bahagia dengan seorang istri dan mereka saling menyayangi. Lagi-lagi wajah Ara yang muncul ketika Fyan membayangkan masa depan.Selam dua bulan tinggal di B

  • Terpaksa Kuterima Lamaran Sahabatmu Ā Ā Ā 88. Apakah Jodoh?

    Satu bulan setelah pernikahan Ajeng dan Pras dilaksanakan. Tepatnya satu bulan setengah setelah Ayah meminta Fyan pindah ke Bandung. Namun belum ada tanda-tanda pemuda itu bersiap-siap untuk pergi ke kota tersebut. Ayah dan Bunda pun belum membahasnya lagi sejak pembicaraan saat itu. Fyan sendiri bukan lupa kalau saat itu dirinya mengiyakan permintaan Ayah. Namun dirinya masih menimbang dan ragu untuk kembali ke kota itu. Meski jujur saja, dalam hatinya penasaran dengan kabar Ara, namun dia masih tetap tidak punya keberanian untuk mencari tahu tentang gadis itu. Malam ini, Ayah dan Bunda kembali membahas hal itu selepas mereka makan malam. "Sudah hampir dua bulan lho, Nak? Jadi mau kapan?" Bunda membuka pembicaraan dengan sebuah pertanyaan."Sebentar lagi, Bun. Ada pembangunan yang belum selesai di panti asuhan. Lagi pula Ajeng dan Pras masih pengantin baru.""Sudah satu bulan menikah, harusnya Ajeng dan Pras sudah kembali aktif. Bulan madu kan bisa kapan-kapan. Kakakmu kemarin sud

  • Terpaksa Kuterima Lamaran Sahabatmu Ā Ā Ā 87. sepakat

    "Bagaimana kabar tokonya Ara?" tanya bunda setelah beberapa menit berbasa-basi sekedar bertanya kabar. Pertanyaan itu pun masih bagian dari basa-basi. Terakhir Bunda mendengar kabar kalau Ara membuka usaha toko di ruko yang tidak jauh dari taman flamboyan."Alhamdulillah, Jeng. Karena ditekuni, usahanya semakin lancar bahkan sekarang menerima pesanan lewat online. Ara juga kelihatannya semakin dewasa tidak manja lagi seperti dulu." Terdengar tawa kecil dari seberang telepon. Bunda membayangkan gadis kecil itu sekarang sudah berubah menjadi wanita dewasa. Gadis kecil yang dulu selalu tampil dengan rambut dikuncir satu di belakang yang kerap merengek manja memintanya membuatkan sesuatu tatkala dirinya sedang di dapur."Saya sebenarnya sangat kangen sama Ara. Tapi, kok, nomornya tidak aktif, ya." "Sepertinya Ara ganti nomor, Jeng. Kalau begitu, nanti saya kirim nomor baru Ara.""Ndak usah, Jeng. Ara sekarang sibuk di tokonya, takut mengganggu waktunya. Mendengar dia sehat dan baik-baik

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status