Share

Terpaksa Kuterima Lamaran Sahabatmu
Terpaksa Kuterima Lamaran Sahabatmu
Penulis: Tetiimulyati

1. Sah

"Sah!" ucap para saksi serempak. Suaranya menggema di ruang tengah rumah ini. Terdengar jelas hingga ke kamarku yang berada di lantai dua.

Aku menarik nafas dalam-dalam lalu memejamkan mata. Tak lama kembali kubuka mataku ketika kurasa sentuhan lembut pada tanganku.

"Selamat ya, Ra! Sekarang sudah sah jadi Nyonya Sofyan Daud," ucap Maya sahabatku seraya tersenyum.

"Makasih May, do'akan aku bisa jalani semua ini," jawabku dengan tersenyum getir sambil menggenggam tangan Maya.

"Kamu pasti bisa Ra, jangan kecewakan Mama sama Papa! Kita semua tahu Bang Fyan orang baik, dia pasti akan jadi imam yang baik buat kamu," balasnya lagi.

"Aku tahu, May. Tapi hatiku belum siap. Aku ... masih .... " ucapku ragu.

"Rey? Lupakan dia, Ra! Dia sudah ingkar, kamu jangan terus membuang waktu untuk menunggunya! Ingat, sekarang sudah ada Bang Fyan yang halal kamu cintai!"

Aku tetap menyungging senyum miris, mengingat pernikahan ini bukan pernikahan yang kuinginkan. Bang Fyan, yang baru saja menghalalkanku adalah lelaki yang selama ini aku anggap sebagai kakakku sendiri. Lalu setelah hampir empat tahun menghilang tiba-tiba dia datang melamarku. Lamaran yang sesungguhnya ingin aku tolak karena aku tak yakin bisa menerima dia sebagai suamiku. Selain itu, aku masih menunggu seseorang yang telah berjanji akan kembali untuk menikahiku.

Namun dengan sangat terpaksa aku menerima Bang Fyan, sebab kalau tidak, Papa akan menerima lamaran rekan bisnisnya. Tuan Markus telah meminta aku pada Papa untuk dijodohkan dengan anaknya, Willy. Sedangkan aku tahu bagaimana perilaku Willy yang suka gonta-ganti pacar dan hobby clubing.

Tiba-tiba pintu kamar terbuka dan Mama muncul di sana, bersama kak Rani kakakku.

"Alhamdulillah, ijab qobulnya sudah dilaksanakan. Selamat ya, Sayang." Mama memelukku bergantian dengan Kak Rani.

"Terima kasih, Ma, Kak!"

"Ayo! Suamimu sudah menunggu di bawah." Mama meraih tanganku.

Aku berjalan didampingi Mama dan kak Rani. Sementara Maya berjalan di belakang kami.

Perlahan aku menuruni anak tangga satu persatu. Rasanya seperti mimpi. Hari ini, aku, Mutiara Putri Baskara resmi menjadi istri seorang Sofyan Daud. Sah menurut agama dan negara. Pupus sudah harapanku untuk menjadi nyonya Reynan Aries Handoyo. Maafkan aku Rey, aku ingkar untuk menunggumu.

Tiba di ruang tempat ijab qobul, aku merasa semua mata tertuju kepadaku. Tak terkecuali pria berpeci hitam yang baru saja menghalalkanku itu juga sedang menatapku inten. Wajahnya berseri, matanya berbinar tatkala beradu dengan tatapanku. Segera kutundukkan wajah. Gugup.

Mama membantuku duduk disamping kekasih halalku. Bang Fyan masih menatapku dengan senyuman yang belum sirna dari bibirnya. Segera ku raih tangannya dan menciumnya. Tiba-tiba aku rasakan Bang Fyan mendekatkan wajahnya ke arahku.

Nafasnya terasa hangat menyapu wajahku. Dia mengecup keningku, perlahan. Aku merasa wajahku menghangat. Seumur hidupku, selain Papa, baru kali ini ada laki-laki yang mengecup keningku. Dan dia telah halal melakukannya.

Acara dilanjutkan dengan resepsi kecil-kecilan. Ada beberapa teman dekat juga relasi bisnis Papa dan Bang Fyan yang datang mengucapkan selamat.

Sebelumnya Papa bermaksud mengadakan acara ini di sebuah hotel berbintang di kota ini. Bagaimana pun Papa punya banyak kenalan dan rekan bisnis yang akan diundang. Tapi aku menolaknya, karena ini pernikahan tanpa perencanaan dan terkesan dadakan. Selain itu aku belum siap mempublikasikan hubungan ini. Beruntung Papa mau mengerti karena bagaimanapun aku memang belum siap dengan statusku sebagai seorang istri.

***

Seharian berdiri, menyambut para tamu yang memberikan do'a dan ucapan selamat membuat kakiku terasa pegal. 

Selepas Maghrib kami bisa istirahat karena acara sudah bubar. Selesai mandi dan melaksanakan shalat Maghrib berjamaah di kamar, aku dan Bang Fyan turun untuk makan malam.

"Ciee, yang udah halal. Pegangan terus nggak mau lepas. Ingat Bang! Disini ada jiwa jomblo yang meronta-ronta," ucapan Endra adik bungsuku sontak membuatku melepaskan tanganku dari genggaman tangan Bang Fyan.

Dari sejak keluar kamar Bang Fyan memang meraih tanganku dan menggenggamnya, aku tak bisa menolak karena tak ingin mengecewakan Mama dan Papa. Mereka pasti senang melihat aku dan Bang Fyan akur.

"Mahendra! Kamu ini. Nggak apa-apa, mereka kan udah halal." Mama mencubit tangan bungsunya.

"Endra kan, jadi iri. Jadi pengen nikah juga, " seru Endra cengengesan.

"Hust! Sekolah dulu yang bener! Kerja dan baru boleh nikah," timpal Papa.

"Jangan takut kehabisan cewek, Ndra. Jodoh kamu itu sudah dipersiapkan oleh Allah. Nih, buktinya. Kakakmu ini udah Abang tinggalin bertahun-tahun, kalau jodoh mah takkan kemana." Bang Fyan melirikku.

"Bener banget,tuh." Akhirnya mas Tio, suami kak Rani bersuara juga.

Kami menikmati makan malam dengan canda tawa. Karena ini momen langka. Selain hari raya, kami sangat jarang berkumpul seperti ini.

Kak Rani yang menetap di ibu kota sangat jarang pulang karena pekerjaan mas Tio yang super sibuk.

Endra juga jarang pulang. Karena selain kuliah, dia juga ada kegiatan kemanusiaan bersama teman-teman kampusnya.

Selesai makan, para lelaki berkumpul di ruang keluarga bersama Papa. Entah apa yang menjadi topik pembicaraan. Yang jelas sesekali terdengar gelak tawa mereka memenuhi ruangan.

Aku memilih naik ke kamarku. Tubuhku benar-benar lelah. Apalagi otakku. Aku masih belum bisa sepenuhnya menerima kalau statusku sudah berubah.

Ditambah lagi yang menjadi suamiku adalah Bang Fyan, yang samasekali tidak ada dalam pikiranku harus menikah dengannya.

Bang Fyan memang bukan orang asing di kehidupanku. Dia adalah lelaki pertama yang dekat denganku selain Papa, meski hanya sebatas sahabat dan kuanggap kakakku sendiri. Tapi hubungan kami berubah total hari ini. Setidaknya aku harus lebih bisa menghargai dan menjaga perasaannya. Meski belum bisa mencintainya.

Dulu kami bertetangga. Rumahnya berada di sebelah kanan rumah kami. Ayah Daud adalah temen sekantor Papa, sewaktu mereka masih sama-sama bekerja sebagai karyawan. Kini Papa maupun Ayah Daud sudah memiliki usaha sendiri.

Hubungan kami sudah seperti saudara. Aku mengganggap ayah Daud dan Bunda Fatimah seperti orang tuaku sendiri. Bahkan anak-anak mereka juga memanggil orang tuaku dengan sebutan Mama Papa sama sepertiku.

Bang Fyan sudah kuanggap sebagai kakakku, semenjak kecil kami selalu melakukan apapun bersama. Belajar, bermain sepeda, pergi ke toko buku lalu membacanya bersama-sama karena Bang Fyan sangat suka membaca dan aku tertular. Dia menjaga dan menyayangiku layaknya seorang kakak.

Bang Fyan adalah sahabat dekatnya Rey, orang yang sangat aku cintai dan kutunggu kedatangannya. Aku mengenal Rey juga ketika dia berkunjung ke rumah Bang Fyan empat tahun yang lalu. Bang Fyan memperkenalkanku pada Rey sebagai adiknya.

Satu tahun aku menjalin hubungan dengan Rey dan pada tahun kedua Rey pamit ke luar kota. Katanya dia diminta Papanya untuk mengurus anak perusahaannya di sana. Tanpa Rey sebutkan ke kota mana dia akan pergi, aku tak banyak bertanya tentang itu karena saat itu Rey begitu sering menghubungiku. Dia memintaku untuk menunggu.

"Hanya dua tahun, Ra! Setelah itu aku akan kembali ke sini dan langsung melamarmu. Kita menikah dan akan hidup bersama." Itu janji Rey sebelum berangkat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status