Mendengar berita Fyan membawa delapan orang anak jalanan beserta Bagas dan Atmo ke panti asuhan, Ajeng hampir tidak percaya. Kalau saja ia tidak melihat anak-anak itu berada di Panti Asuhan. Begitupun dengan Pras, kekasih Ajeng itu menggeleng beberapa kali karena merasa tidak percaya akhirnya Atmo, orang yang diduga keras kepala itu akhirnya melemah.Meski demikian, Fyan dan teman-temannya tetap waspada. Jangan sampai Atmo membohongi mereka, siapa tahu itu akal-akalan dia saja.Seminggu tinggal di Panti Asuhan, anak-anak sudah mulai sekolah. Badan Mereka pun sudah bersih, pakaian rapi meskipun terlihat sederhana.Sementara Atmo menolak untuk sekolah, alasannya dia memang sudah besar dan sudah tidak seharusnya sekolah di pendidikan dasar. Tetapi ia berjanji akan belajar di lingkungan panti asuhan. Hal itu dibuktikan dengan rajin mengikuti kelas Diniyah di sore hari. Ajeng dibantu oleh dua orang temannya mengajar mereka membaca Alquran, doa-doa pendek, surat-surat pendek juga sedikit il
"Ara mana, Ma?" tanya Papa Baskoro suatu malam, ketika beliau tidak melihat Ara bergabung makan malam seperti biasa."Sejak pulang dari toko, Ara mengurung diri di kamar. Katanya kecapean," jawab Mama sambil membereskan piring yang ada di hadapan Papa."Lama-lama Papa khawatir sama anak itu." Papa bangkit lalu menggeser kursi dan berjalan menuju ruang keluarga."Coba Mama tanya, bagaimana kejelasannya pria yang Ara tunggu itu?!" Mengetahui istrinya berjalan di belakang, Papa melanjutkan ucapannya dengan memberikan sebuah pertanyaan. "Setahu Mama, sudah beberapa bulan ini Rey tidak ada kabar. Katanya nomor ponselnya juga tidak bisa dihubungi.""Berarti benar firasat Papa, Rey itu laki-laki nggak bener. Dia hanya akan mempermainkan putri kita. Mana ada pergi ke luar pulau tidak pulang selama dua tahun," lanjut Papa sambil menghempaskan tubuhnya yang tinggi besar di atas sofa di ruang keluarga."Mama juga sudah bilang berkali-kali, tapi Ara tetap pada pendiriannya. Dan ini sudah waktun
"Sah!" ucap para saksi serempak. Suaranya menggema di ruang tengah rumah ini. Terdengar jelas hingga ke kamarku yang berada di lantai dua.Aku menarik nafas dalam-dalam lalu memejamkan mata. Tak lama kembali kubuka mataku ketika kurasa sentuhan lembut pada tanganku."Selamat ya, Ra! Sekarang sudah sah jadi Nyonya Sofyan Daud," ucap Maya sahabatku seraya tersenyum."Makasih May, do'akan aku bisa jalani semua ini," jawabku dengan tersenyum getir sambil menggenggam tangan Maya."Kamu pasti bisa Ra, jangan kecewakan Mama sama Papa! Kita semua tahu Bang Fyan orang baik, dia pasti akan jadi imam yang baik buat kamu," balasnya lagi."Aku tahu, May. Tapi hatiku belum siap. Aku ... masih .... " ucapku ragu."Rey? Lupakan dia, Ra! Dia sudah ingkar, kamu jangan terus membuang waktu untuk menunggunya! Ingat, sekarang sudah ada Bang Fyan yang halal kamu cintai!"Aku tetap menyungging senyum miris, mengingat pernikahan ini bukan pernikahan yang kuinginkan. Bang Fyan, yang baru saja menghalalkanku a
Tapi memasuki tahun kedua, Rey mulai berubah tak sesering dulu menghubungiku dengan alasan sibuk bekerja. Aku maklum. Empat bulan sebelum genap dua tahun, Rey benar-benar menghilang. Nomor telepon dan semua akun media sosialnya tidak aktif.Dan ini sudah satu tahun dari waktu yang Rey janjikan, aku masih menunggunya. Hingga Bang Fyan datang dan semua orang terdekatku meminta aku untuk mengakhiri penantian pada Rey."Ini sudah setahun dari waktu yang Rey janjikan. Dia memintamu menunggunya selama dua tahun, kamu bahkan telah menunggunya tiga tahun tanpa kabar darinya. Sudahlah, Ra. Mama mohon terima saja Fyan! Mama yakin dia bisa menjaga dan membahagiakanmu," kata Mama ketika malam itu tanpa diduga Bang Fyan beserta Ayah dan Bunda datang melamarku."Umur kamu sudah cukup untuk berumah tangga, Ra. Jangan buang waktu menunggu yang tidak pasti. Papa yakin Fyan tidak akan mengecewakanmu," tambah Papa "Kalau aku sudah dari dulu aku berhenti menunggu Rey. Dia sudah nggak layak ditunggu, Ra
Ada perasaan sedikit lega mendengar penuturannya. Tapi aku harus tetap waspada, laki-laki kan mana tahan. Astaghfirullah. Kok aku jadi suudzon, ya."Abang cuma ingin mengucapkan terima kasih, Ara sudah mau menjadi istri Abang. Abang janji akan selalu berusaha memberikan yang terbaik buat Ara supaya Ara selalu bahagia. Dan Abang juga minta sama Ara untuk belajar menerima Abang sebagai suami Ara."Aku mengangguk, pelan. Lidahku kaku meski hanya mengucap kata iya. Tangannya kanannya terulur lalu meraih jemariku dan tanpa ada jeda dia membawanya. Detik berikutnya aku merasakan bibirnya menempel pada jemariku dan sontak membuat kedua mataku membulat.Belum lagi reda gemuruh di dadaku, ketika kurasakan sesuatu menempel di keningku. Bang Fyan mengecup keningku? Astaga, irama jantungku kian tak beraturan. Apa dia akan meminta lebih malam ini?Segera ku tarik diriku agak ke belakang. Pipiku terasa memanas. Entah seperti apa rupanya kini.Bang Fyan berdehem sambil memalingkan wajahnya. "Istira
"Kita mau kemana, Bang?" tanyaku ketika kami sudah duduk di dalam mobil. Hari pertama setelah pernikahan kami Bang Fyan mengajakku ke luar."Pacaran." jawabnya santai.Aku hanya mencebik mendengarnya."Mumpung Abang masih cuti, apa salahnya kita menghabiskan waktu bersama," lanjutnya.Memilih tak bersuara lagi, dan mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Sejak pagi tadi pagi benda ini tidak kusentuh. Ada beberapa pesan dari Maya juga teman-temanku semasa kuliah dan SMA. Isinya sebagian mengucapkan selamat dan selebihnya meledekku. Resiko pengantin baru, jadi bahan guyonan teman-teman.Asyik membalas chat mereka, aku lupa kalau di sebelahku ada seseorang yang sepertinya merasa diabaikan.Beberapa kali dia berdehem. Aku hanya meliriknya sekilas. Lalu kembali fokus ke layar ponsel.Cekiiiittt!!!Mobil tiba-tiba direm mendadak. Sontak aku menjerit kaget. "Kenapa sih, Bang Fyan?" Aku bertanya dengan nada agak tinggi."Ada kucing tiba-tiba menyebrang," jawabnya dengan tetap fokus ke depan ta
"Ini kamar tidur kita. Suka?" Aku mengangguk."Pagi hari kita bisa menikmati sunrise melalui jendela besar ini, '' jelasnya seraya menunjuk jendela kaca besar di sebelah kiri kamar. "Dan sorenya, kita bisa menikmati sunset di balkon," lanjutnya menunjuk ke arah balkon."Dan di sana, ada dua kamar tidur lagi. Untuk anak-anak kita nanti." Dia menunjuk ke arah luar kamar sambil tersenyum.Aku tersenyum tipis dan melihatnya sekilas. Bang Fyan sudah mempersiapkan ini untukku? Pelan ku langkahkan kaki mendekatinya yang kini tengah berdiri berdiri di dekat jendela besar di bagian samping kamar. Cahaya matahari siang ini hanya tinggal sedikit masuk membentuk garis miring, menerpa wajahnya yang bersih. Matanya bulatnya menatap lurus ke luar jendela. Dengan kedua tangan berada di saku celana abu-abu yang dia kenakan. Gagah."Kemarin, Abang bilang tinggal sekitar 30 menit perjalanan dari restoran yang tempo hari kita ketemu. Deket toko Ara. Tapi dari sini kan jarak cuma 15 menit, Bang."Aku b
Teringat beberapa hari yang lalu ketika Bang Fyan memberikan benda persegi tipis itu padaku."Ini. Peganglah! Untuk keperluan rumah selama satu bulan. Untuk keperluan pribadi Ara, Abang sudah transfer ke nomor rekening Ara."Bang Fyan terlalu baik untukku. Aku tak bisa menerima semua kebaikannya, mengingat sikapku sejauh ini belum bisa menjadi seperti layaknya seorang istri.Ini memang menjadi dilema panjang dalam hidupku kini. Aku bukannya tak mau menjadi istri yang baik buat Bang Fyan. Bukan juga tak tahu tentang hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Ini tentang rasa dan perasaan. Bagiku, segala sesuatunya memang harus dibarengi dengan perasaan. Aku paling tidak bisa mengabaikan perasaan. Dan perasaanku masih sepenuhnya milik dia yang tak kunjung kembali.***Ini malam pertama kami tidur di rumah sendiri. Sejak tiba di rumah beberapa menit yang lalu dan setelah menyimpan belanjaan dan berganti pakaian, aku duduk bermalas-malasan di ruang tengah. Bingung juga mau ngapain. Sebenarn