“Kamu kemana saja sayang? Aku telepon kamu dari tadi tidak kamu angkat-angkat? Aku khawatir sekali sama kamu" Suara laki-laki yang tidak asing di telinganya, Intan menunduk sembari meremas tas selempangnya sendiri. "Aku sedang sibuk!" seru Intan."Kenapa tidak kamu beritahu aku terlebih dahulu agar aku tidak mengkhawatirkan keadaan kamu sayang" ujar kekasih Intan yang bernama Regan."Aku lelah, tolong jangan halangi aku untuk masuk ke rumahku sendiri!" Intan mendorong tubuh kekasihnya ke samping agar tidak menghalangi jalannya. Regan berusaha meraih tangan Intan namun tak sempat karena sekarang Intan sudah masuk ke dalam rumah dengan mengunci pintu erat-erat.Regan bersedih merasa Intan telah berubah. Dengan rasa penuh kekecewaan Regan pun meninggalkan halaman rumah Intan. Merasa Regan telah pergi, Intan mencoba untuk mengintip melalui celah jendela. Air matanya mengalir begitu deras, rasa sesak semakin menyiksa batinnya saat ini."Hiks... Maafkan aku! Aku tidak bermaksud seperti ini
“Kasihan Intan, mengapa ada orang yang tega membuatnya seperti itu” Reina menghela nafas tak mampu membayangkan nasib mantan rekan kerjanya. Disaat yang lain telah meninggalkan pemakaman, hanya Reina dan Agustina yang masih berada di kuburan.“Katanya sebelum dibunuh terlebih dahulu dia dilecehkan. Ah... Benar-benar malang padahal masih muda dan masa depannya juga panjang” ujar Agustina.Tampak dari kejauhan terlihat seseorang laki-laki dengan berpakaian pasien tengah berjalan menuju ke arah pemakaman. Reina tidak sengaja melihatnya, “Siapa dia? Sepertinya wajahnya tidak asing” ujar Reina.“Dia itu Regan kekasih dari Intan” sahut Agustina.Regan berjalan menuju ke arah mereka. Wajahnya sembab seperti tak bergairah. Karena saat ini Reina begitu dekat dengannya, sebagai mantan rekan kerja, Reina mencoba menyapa Regan. Terlihat, Regan hanya membalas sapaannya dengan singkat dan Reina memakluminya.“Regan, kami berdua mau pulang duluan ya” ujar Agustina dan dibalas anggukan kepala dari Reg
Setelah sibuk mengemudi hingga berjam-jam lamanya akhirnya Reina sampai juga di tanah kelahirannya. Wajah cantik itu terpampang dengan sunggingan senyum yang manis, “Yes akhirnya sampai juga!”Reina turun dari mobil lalu berjalan ke arah bagasi. Satu persatu barang mulai ia turunkan dengan penuh semangat. Mendengar suara mobil, Ujang datang untuk melihat...“Reina?” Ujang menghampiri putri kesayangannya dengan refleks Reina meraih tangan Ujang lalu menciumnya dengan penuh bakti.“Aku ingin pulang kesini Pa” ujar Reina.Ujang menganggukkan kepalanya dan mencoba membantu putrinya untuk membawa semua barang-barang yang dibawa oleh Reina ke dalam rumahnya. Saat sudah berada didalam ruangan Reina memilih duduk di kursi yang terbuat dari kayu jati. Kursi yang sudah ada sebelum ia dilahirkan di dunia yang indah ini. Ujang membiarkan putri semata wayangnya itu beristirahat di ruang tamu sedangkan ia yang selesai menaruh barang, memilih masuk ke dapur.“Huamz. . Rasanya aku ingin tidur hari in
“Lain kali jangan seperti barusan lagi... Karena sekarang, Mama jadi tidak enak hati sama Mpok Juli–” Reina membalas perkataan mamanya hanya dengan senyuman manis. Baginya, senyuman adalah hal utama dalam merespon sesuatu. Berbeda pandangan, justru Ujang malah bangga dengan sikap tegas yang tunjukkan oleh Reina. Sebagai kepala keluarga, Ujang juga sakit hati bila melihat istrinya terus-menerus di olok-olok. Meskipun mereka miskin namun tak selayaknya diperlakukan sebelah mata. Ujang juga merasa selama ini dirinya bekerja dengan giat untuk bertanggungjawab dalam melunasi hutang dan tidak lepas dari tanggungjawab!!!“Papa lihat kamu yang sekarang sudah memiliki kemajuan. Ini juga berkat suami kamu yang merubah hidupmu menjadi bertakhta tinggi” celoteh Ujang penuh haru.“Benar sekali! Uang itu pasti pemberian dari Pak Angga? Seandainya saja Mama memiliki cucu betapa bahagianya Mama dan Papa. Ya, enggak Pah?” Anum melirik Ujang, meminta jawaban.“Iya Mah” sahut Ujang singkat.Mendadak Re
“Kok rasanya tanpa adanya Ibu Reina, rumah ini jadi sepi? Belum lagi Mama masih sakit...” lirih Pinky.Keadaan keduanya sama-sama kesepian tanpa kehadiran sosok “ibu” akan berbeda meskipun sudah ada papa disamping mereka. Anak cenderung lebih ingin berada di dekat ibu, karena ibu membawakan kenyamanan khusus bagi anak-anaknya. “Anak-anak ayo sarapan pagi!” teriak Surti, pembantu di rumah itu.Pinka mengajak Pinky agar turun dari atas kasur mereka. Dengan cemberut Pinky menggelengkan kepalanya, “Kamu saja yang makan!”“Tapi kan...”“Jangan paksa aku! Aku gak mau makan kalau gak ada Mama!!!” Pekik Pinky.Pinka mengangguk dan mulai turun dari atas kasur. Berjalan menjauhi kembarannya yang tetap bersikeras tak mau makan, “Kalau lapar jangan lupa makan ya” ujarnya sembari berlalu.Pinky mendengus kesal, air matanya mulai jatuh membasahi pipinya yang terlihat cuby. Pinky melirik ke arah meja kecil yang berada didekat disamping kanan tempat tidurnya. Terpampang jelas foto keluarga yang harm
“Ma, Pa... Reina pamit pulang dulu ya. Aku tidak bisa berlama-lama berada disini, karena ada suami dan anak-anak yang sedang menungguku di rumah–” kata Reina, meraih tangan kedua orang tuanya dan minumnya secara bergiliran.“Iya, Sayang... Mama dan Papa titip salam ya sama Pak Angga”“Dan... Tolong sampaikan pesan Mama kemarin Malam–” bisik Bu Anum didekat telinga Reina.Pak Ujang berusaha menebak-nebak tentang apa yang sedang dibicarakan oleh istrinya tersebut? Berusaha untuk menguping namun Bu Anum memarahinya dengan berceloteh, “Ah... Papa! Gak boleh menguping!!!””Ngomongin apa Ma? Pasti ngomongin Papa yang gantengnya mirip Pak Angga” celoteh Pak Ujang.“Iya mirip... Kalau dilihat dari sedotan” celetuk Bu Anum.Reina terkekeh menyaksikan kedua orang tuanya berantem namun terlihat lucu. Sampailah waktunya Reina untuk pergi. Ia masuk ke dalam mobil mewah milik suaminya. Setelah kepergian Reina, kedua orang tuanya mendadak diam. Wajahnya murung seakan telah terpisah jauh dari buah hat
Sesampainya di rumah suami, Reina disambut hangat oleh Bik Surti. “Bik, dimana anak-anak?” tanya Reina pada pembantu.“Anak-anak lagi didalam kamar sama Pak Angga, Buk” sahut Bik Surti.Reina masuk ke dalam ruangan menuju ke arah kamar tidur anak-anak. Kini tepat di depan pintu, Reina mengetuk pintu sebelum masuk ke dalam. Melihat semuanya ada didalam, Reina berusaha masuk dan menyapa. Raut wajah Pinky tampak tak senang melihat ibu sambungnya. ”Anak-anak, Ibu Reina bawain oleh-oleh buat kalian nih” ujar Reina, sembari menodongkan makanan Chiki.“Gak mau!” sahut Pinky.Reina bersabar dan pandangannya melirik Pinka yang juga diam saja. Berharap Pinka akan mau menerima bingkisan itu. Benar saja, Pinka hampir maju namun Pinky memanggilnya dan membuat hatinya Pinka menggelengkan kepalanya.“Kenapa? Apa Pinka tak suka?" tanya Reina penasaran.“Pinka mau kok tapi Pinka gak mau ambil hadiah dari Ibu Reina, kalau Pinky menolaknya” ujar Pinka.Angga beranjak dari tempat tidur dan meraih tangan
“Untuk malam ini, apa aku bisa tidur di kamar ini?” tanya Reina pada pembantunya. “Kenapa Bu Reina ingin tidur dikamar pembantu? Saya jadi tak enak hati Bu” ucap Bik Surti.Reina memutuskan untuk tidak lagi tidur di kamar suaminya. Mencoba untuk menjauh sesuai yang Angga ucapkan saat tadi siang. Dalam kondisi mata sembab, Reina memberanikan diri menghadap ke kamar tidur pembantunya. Tak peduli apakah suaminya akan memarahinya atau tidak, seenggaknya ia tak pulang ke rumah orang tuanya.“Aku ingin tidur di ruangan yang sederhana Bik. Aku tidak terbiasa tinggal di rumah semegah ini” ujar Reina.“Tapi Bu, apa tidak apa-apa? Maksud saya, disini berantakan Bu” sahut Bik Surti, merasa tidak percaya diri dihadapan Reina.“Yang penting nyaman Bik” sahut Reina.Malam ini pun Reina menginap di kamar tidur Bik Surti. Tampak dari keduanya mulai bisa terbuka satu sama lain. Bik Surti yang tak pernah menceritakan tentang keluarga kini dengan nyaman menceritakan keluarganya didepan Reina. Malam pun