"Aku dengar Damien bilang kau mulai lebih cepat menghindar saat diserang," ucapnya tanpa menatap.
"Yah, aku tak ingin mati dengan mudah."
Dia menoleh. Untuk sesaat, wajahnya melunak.
“Kau tidak boleh mati, Eleanor.”
Aku menahan napas. Kalimat itu begitu sederhana. Tapi saat keluar dari mulut Grayson… kalimat itu menggetarkan.
“Karena aku penting untuk strategimu?” tanyaku tajam.
Dia diam. Lalu berdiri perlahan, mendekatiku.
“Karena... jika sesuatu terjadi padamu, aku akan kehilangan kendali yang tersisa.”
Napas kami hanya dipisahkan beberapa sentimeter.
Aku tidak tahu apakah kata-kata itu adalah bentuk cinta, atau hanya pengakuan ego. Tapi untuk pertama kalinya, dia tak menyembunyikan emosinya.
Setelah dia pergi, aku kembali ke kamar dan duduk lama di kursi dekat jendela. Hatiku berkecamuk.
Aku benci kebingungan ini.
Aku benci bagaimana satu kalimat darinya
Pagi itu aku berdiri di halaman belakang vila, menatap langit yang mendung. Aku tidak tahu berapa lama lagi waktu tenang seperti ini akan bertahan. Tapi untuk saat ini, aku merasa cukup. Cukup untuk melanjutkan. Cukup untuk menghadapi apa pun yang datang.“Pagi yang tenang,” ucap Damien dari belakangku. Ia menyodorkan secangkir kopi.Aku menerimanya. “Tenang yang mencurigakan.”Ia tersenyum tipis. “Kau mulai berpikir seperti kami.”“Aku memang sedang bertransformasi.”Ia menatapku lama. “Dan bagaimana rasanya?”Aku mengangkat bahu. “Sakit. Tapi... benar.”Damien mendekat. “Kau tidak harus mengubah dirimu, Eleanor.”Aku menatapnya. “Tapi jika aku tidak berubah, aku tidak akan bertahan di dunia ini. Dan aku tidak akan bisa berdiri sejajar dengan Grayson.”Ia menghela napas. “Kau tidak harus berdiri sejajar dengan siapa pun
Pukul tujuh pagi, aku sudah berdiri di depan ruang latihan. Kaos hitam ketat dan celana panjang fleksibel menempel di tubuhku. Rambutku kuikat setengah ke atas, dan eyeliner tipis masih membingkai mata—bukan karena ingin tampil, tapi karena itu bagian dari caraku menjaga kendali atas diriku sendiri.Pintu terbuka. Grayson sudah di dalam.Ia berdiri di tengah ruangan dengan tangan di saku celana, mengenakan baju hitam yang sama gelapnya dengan matanya. Tak ada kata sapaan. Hanya tatapan pendek, lalu kepalanya mengangguk.“Aku tidak memanggil Damien pagi ini,” katanya pelan.Aku mengerutkan alis. “Kenapa?”“Karena ini bukan sesi latihan.”Ia berjalan ke arah dinding dan menekan satu panel tersembunyi. Pintu samping terbuka perlahan, menyingkap ruangan kecil yang dipenuhi layar, laci besi, dan sebuah proyektor tua.Aku mengikutinya.Grayson duduk di kursi kayu. Aku berdiri, menunggu instruksi.“Duduklah.”Aku menuruti.Ia membuka laci dan mengeluarkan satu benda yang membuat napasku terc
Setelah semua yang terjadi—setelah aku hampir kehilangan nyawa, setelah Melissa membocorkan informasi dan pengkhianatan terus datang dari orang-orang terdekat—aku tahu satu hal: tidak ada lagi waktu untuk diam dan menunggu. Jika aku ingin bertahan, aku harus tahu semuanya.Termasuk masa lalu Grayson yang selalu disembunyikan rapat.Siang itu, aku berjalan ke lorong sayap selatan vila yang jarang sekali dilewati. Damien sedang melatih tim pengawal baru di luar, dan penjagaan di dalam lebih longgar.Aku menyelinap masuk ke sebuah ruangan yang terkunci dengan sistem retina. Tapi aku punya akses—aku mencuri salah satu kunci akses Grayson saat ia tertidur beberapa malam lalu.Pintu terbuka dengan suara denting halus.Udara di dalam dingin. Bau kayu tua dan debu bercampur dengan aroma parfum maskulin yang khas. Ruangan itu luas, dipenuhi rak berkas, monitor mati, dan satu meja besar berlapis kaca.Ruang kerja rahasia Grayson.Aku mengitari meja dan melihat laci bagian bawah terkunci. Tapi d
Kalimat itu membungkam segalanya.Tak ada hal lain yang lebih kutunggu dari pengakuan itu.Dan saat aku berdiri di sampingnya, menatap layar yang sama… aku tahu.Jika ini adalah perang besar, maka aku takkan bersembunyi di belakang siapa pun.Aku akan berada di garis depan—di samping pria yang mungkin tak pernah bisa benar-benar kucintai dengan aman, tapi yang kupercaya… akan berjuang bersamaku sampai titik darah penghabisan.**Pagi itu, aku duduk di depan jendela kamarku, memandangi hujan yang mengguyur taman belakang vila. Biasanya, aku membenci pagi yang sunyi seperti ini. Tapi hari ini berbeda. Hari ini aku merasa… tenang. Atau mungkin aku hanya mati rasa.Tubuhku masih terasa lelah, tapi pikiranku bekerja tanpa henti. Bayangan Dion Castel dan Melissa terus menghantuiku. Mereka bukan hanya ancaman dari luar. Mereka adalah cermin dari luka lama yang tak pernah sembuh. Dan aku adalah titik lemah yang teru
Pagi itu aku bangun dengan firasat buruk. Tidak ada angin. Tidak ada cahaya yang masuk dari celah jendela. Langit seperti menahan napas.Dan begitu aku membuka pintu kamarku, aku tahu kenapa.Melissa duduk santai di ruang makan dengan mengenakan gaun hitam ketat dan bibir merah menyala. Di sebelahnya, sebuah tas tangan mewah terbuka sedikit, cukup untuk memperlihatkan pistol kecil berlapis perak terselip di dalam.“Pagi,” sapanya sambil menyeruput kopi seolah kami tidak dalam perang dingin.Aku berjalan melewatinya tanpa bicara.Tapi dia tidak berhenti.“Grayson tadi keluar lebih pagi. Katanya, ada transaksi pribadi di pelabuhan timur. Kau tidak ikut?”Aku menoleh pelan. “Transaksi pribadi?”Melissa mengangguk. “Dia tidak bilang padamu, ya?”Ada jeda di antara detak jantungku yang mengguncang.“Jangan terlalu percaya pada pria, El,” katanya sambil berdiri
Aku menatap kartu itu lama. Dunia rasanya berhenti sejenak. Karena jika Antonio sudah mulai mengirim peringatan langsung padaku, itu artinya semua permainan halus sudah selesai.Ini bukan lagi soal pengkhianatan dalam bayangan.Ini adalah pengumuman perang.Aku kembali duduk di ranjang dengan napas berat. Di luar, malam semakin larut. Tapi di dalam dadaku, alarm bahaya sudah berbunyi nyaring.Aku membuka pesan Damien sekali lagi."Jangan tidur terlalu nyenyak malam ini. Segalanya baru saja dimulai."Dan aku membalas:"Aku tak pernah tidur nyenyak sejak hari pertama aku menjadi istri Grayson Blake."**Pagi itu, udara terasa lebih berat dari biasanya. Langit vila kelabu, seolah tahu bahwa sesuatu sedang mengendap di balik dinding-dinding megah ini. Aku menatap kartu logam yang semalam kuterima, masih kusimpan di saku mantelku. Satu kalimat dari Antonio Moretti cukup untuk membuat dadaku sesak semalaman."Perhit