Siapa bilang cinta datang hanya dari mata turun ke hati? Bagaimana kalau lewat ASI, meresap ke hati, dan tak mau pergi? Nayla nekat ke Jakarta untuk melupakan luka setelah bayinya meninggal. Tak disangka, ia justru menjadi ibu susu bagi bayi seorang duda kaya, Leo Prakasa Utama, yang baru saja kehilangan istrinya saat persalinan. Masalah muncul ketika keluarga Leo menolak cucunya disusui oleh wanita asing. Solusinya? Nayla harus menjadi istri sah Leo. Maukah Nayla menerima pernikahan kontrak dengan Leo hanya sampai bayinya lepas ASI? atau justru hatinya malah terjebak pada pria itu? "Bayi saja tahu susu saya enak!" – Nayla
View MoreHujan belum turun, tapi gemuruh langit telah mengancam Desa Dukuh sejak senja. Awan menggulung pekat di atas kepala, menudungi puluhan penduduk desa yang memadati pelataran balai desa malam itu.
"Wanita pembawa sial! Anak haram pasti melahirkan anak haram!"
"Bikin malu saja! Usir dia dari desa ini!"
"Enak-enakan tinggal di vila warisan orangtua, tahu-tahu hamil!"
"Maluin Mbah Putri yang sudah mati-matian ngebesarin kamu!"
Nayla tak bisa berdiri. Lututnya gemetar, tubuhnya basah dan kotor. Daster lusuh yang menjadi busana sehari-harinya sudah tak karuan. Wanita berkulit pucat itu pun duduk di lantai tanah, kedua tangannya gemetar memeluk perutnya yang kosong. Karena bayi mungil yang ia pertahankan selama sembilan bulan telah pergi, hanya berselang beberapa jam setelah dilahirkan.
Siang tadi, Nayla diseret paksa dari vila yang selama ini menjadi tempat tinggalnya. Rambutnya ditarik, tubuhnya disiram air comberan, dan mulut-mulut menyumpahinya dengan segala macam kalimat sakti kebun binatang.
Namun, yang paling menyayat hati, adalah saat seseorang berkata dengan penuh kebencian, bahwa, "Bayi itu mati karena dosa ibunya.”
Nayla menunduk menatap tanah. Air matanya sudah habis, kering tak bersisa. Namun, di tengah keroyokan caci maki itu, tiba-tiba terdengar teriakan lain. Suara lantang seorang wanita muda yang bergetar penuh emosi.
"Cukup! Udah! Hentikan! Semua, hentikan!"
Surti menerobos kerumunan. Tubuh gemuknya basah oleh keringat, wajahnya merah padam dan napasnya terengah. Teman kecil Nayla itu baru saja tiba di desa—langsung berlutut di samping Nayla, memeluk tubuh sahabatnya yang sudah lemas.
"Ya Tuhan, Nanay... Nanay ..."
Surti menatap Nayla dengan mata berkaca-kaca, hatinya ikut tersayat.
Nayla menggenggam ujung lengan baju Surti. "Bawa aku keluar dari sini, Ti…" bisiknya lirih, nyaris tak terdengar. "Aku takut… aku nggak sanggup lagi…"
Surti menahan napasnya. Ia balas menggenggam tangan Nayla erat. "Ke mana, Nay? Aku cuma jadi ART di kota, tidur aja di rumah majikan."
"Ke mana saja!" Nayla memotong. Napasnya berat. "Asal bukan di sini, Ti. Aku nggak sanggup lagi tinggal di desa ini… Mereka semua benci sama aku … aku..."
Isak keringnya pecah. Tubuhnya ambruk ke pelukan Surti, dan sahabatnya itu langsung merangkulnya erat.
"Iya ... kita pergi, Nay. Kita pergi dari sini..."
Malam itu juga, dua wanita muda itu menumpang bus ekonomi menuju Jakarta. Kursi mereka sempit, dan tangan Surti tak lepas menggenggam jemari Nayla yang sedingin es. Sementara itu, Nayla duduk kaku menatap jendela, matanya kosong, wajahnya pucat.
"Nay, ini terakhir kali aku tanya," kata Surti menoleh Nayla yang sedang mengusap wajahnya. "Kamu yakin mau kerja di Jakarta? Jadi ART, bersih-bersih rumah?"
Nayla mengangguk pelan. "Mau, Ti. Kerja apa aja aku mau. Aku udah biasa bersihin vila sendirian."
Surti menghela napas panjang. Matanya nanar memandang sahabatnya itu. "Duh, Nay… kalau hidup ini kayak lagu Zamrud, harusnya aku—Surti—yang ketemu Tejo, terus pam pam cuap di pematang sawah. Lah ini... malah kamu yang apes ketemu Buto Ijo, terus ditinggal pas lagi hamil-hamilnya. Nanay... Nanay..."
Jakarta menyambut mereka dengan panas menyengat dan suara kendaraan yang bersahutan. Surti menggandeng tangan Nayla erat saat mereka turun dari angkutan umum terakhir menuju perumahan mewah di selatan kota.
"Kita ke rumah Bu Zoya yang lagi nyari ART, Nay. Rumahnya gede banget. Aku udah pernah ke sana sekali. Orangnya baik, cantik banget—kayak boneka barbie,” jelas Surti, menenteng tas lusuh berisi pakaian secukupnya.
Namun langkah mereka terhenti seketika.
Di pagar besi rumah mewah itu, puluhan karangan bunga duka cita berjajar rapi. Di salah satu papan bunga yang paling dekat gerbang, tertulis dengan huruf mencolok:
“Turut Berduka Cita atas meninggalnya Ibu Zoya Arindi Haryanto.”
Surti melongo, wajahnya kehilangan warna. "Nay… Ibu Zoya... Ibu Zoya yang nyari ART ... meninggal ..."
Nayla berdiri mematung. Pandangannya tak lepas dari rumah yang kini berselimut kabut duka. Hatinya bergemuruh. Bukankah, ia datang ke kota untuk memulai lembaran baru, tetapi kenapa baru selangkah tiba di depan gerbang ... sudah berselimut duka lagi.
"Hei, kalian cari siapa?" terdengar suara berat dari arah pos satpam.
Surti melangkah lebih dulu, mendekati pria berseragam keamanan yang berdiri tegak dengan wajah kaku. "Maaf, saya Surti, Pak. Saya udah pernah ke sini bareng Bu Lilis dari penyalur ART. Ibu Zoya ... katanya lagi nyari ART ..."
"Oh, temen Si Lilis ..." sahut satpam mengangguk. "Mohon maaf sekali nih ... tapi, Ibu Zoya ... pagi ini baru saja dimakamkan ..."
"Lho? Kok ... bisa sih?" Dahi Surti mengernyit. "Ini ... ini temen saya jauh-jauh dari kampung mau jadi ART Ibu Zoya ..." ujar Surti panik, tak tega dengan Nayla yang masih terbengong di depan karangan bunga.
"Ya, itulah yang namanya takdir ..." sahut satpam lagi.
"Bu ... Bu Zoya meninggal kenapa, Pak? Sakit? Kecelakaan? Atau—" Surti tak sanggup meneruskan kata-katanya.
"Beliau meninggal setelah melahirkan bayinya semalam. Pas banget ujan lagi gede-gedenya ..." jawab satpam setengah berbisik.
Surti menutup mulut dengan tangannya. "Ya Tuhan, kasian ... terus, temen saya gimana, ya? Dia juga kasian ..."
Satpam menoleh ke arah Nayla yang berdiri diam di bawah bayangan karangan bunga. Wajahnya pucat, dan entah kenapa ada sesuatu dari sorot mata Nayla yang membuat hati satpam itu tak tega.
"Ya sudah, kalian tunggu saja di halaman belakang," ujar satpam menunjuk pintu kecil di sisi rumah. "Nanti pasti butuh orang buat bersih-bersih rumah kalau tamu sudah bubar. Tunggu di situ ... jangan keluyuran."
"Baik, Pak. Terima kasih…" Surti menunduk sopan, dan segera menggandeng lengan Nayla. "Ayo, Nay. Kita tunggu aja ..."
Dengan langkah hati-hati, mereka berjalan menyusuri deretan mobil yang terparkir. Ketika melewati pintu utama yang terbuka lebar, aroma sedap malam tercium begitu kuat, menyergap penciuman mereka. Nayla refleks menoleh ke dalam ruang tamu.
Suasana mendung menggantung di udara. Di tengah ruangan, berdiri seorang pria jangkung dengan jas hitam rapi. Wajahnya tertunduk, kedua tangan terkepal di sisi tubuh, dan matanya sembab. Setiap orang yang melintas menepuk bahunya, memeluknya, atau membisikkan kata-kata penghiburan yang tak mampu menghentikan duka di matanya.
Nayla tak bisa berpaling. Sorot mata pria itu kosong, dan sekilas Nayla merasa seperti sedang menatap bayangan dirinya sendiri.
"Nay…" Surti menarik lengan Nayla. "Jangan diliatin gitu. Nggak sopan."
Nayla mengangguk pelan dan menunduk. Tetapi sebelum memutuskan tatapan itu, pria yang ia lihat membalas tatapannya dingin.
Kemeja slim fit navy blue sudah terpasang rapi di tubuh, dasi terikat sempurna, dan aroma parfum woody menguar samar setiap kali Leo bergerak. Sepatu kulitnya mengilap. Ia berdiri sejenak di depan pintu kamar, menatap pemandangan yang—mau tak mau—sudah mulai menjadi bagian dari rutinitas paginya, Lampu kamar menyala terang. Nayla duduk bersandar di sandaran tempat tidur, rambutnya jatuh sedikit berantakan di bahu. Matteo tertidur pulas di lengannya, masih tekun menyusu di dadanya. Tangan bayi itu usil menarik-narik rambut Nayla hingga wanita itu tertawa-tawa kecil. Masih bayi saja sudah pintar cari perhatian. Leo menelan ludah. Astaga! Sepertinya dia juga sudah harus mulai terbiasa melihat pemandangan itu. Dan, kalau yang duduk di sana itu Zoya... ia mungkin sudah mendekat, memeluk dari belakang, lalu mengecup bahu terbuka yang menggoda itu. Tapi... ini Nayla. Dan, sialnya, mereka terlanjur mencatatkan banyak perjanjian di depan notaris yang tak boleh dilanggar. Leo menghela napas
Kasihan juga, pikir Nayla, memindai baby sitter yang nyaris diusir Leo. Mata wanita itu merah, dan jari-jarinya sibuk mengusap sudut matanya berkali-kali. Nayla bisa merasakan getir itu—perasaan ditolak, perasaan tak diinginkan, diusir dengan penghinaan. Ia tahu persis, bahkan luka itu masih mengusik mimpinya.Makan, begitu Leo sudah mulai melangkah lagi mendorong stroller, Nayla buru-buru menoleh. Dengan nada sehalus mungkin, ia berkata, “Pak Leo… kayaknya setiap pagi saya bakal sibuk ganti popok dan menyusui Matteo deh. Saya nggak yakin bisa sempat masak buat sarapan. Mungkin… mungkin Bude bisa bantu buatkan sarapan?”Leo menghentikan langkahnya, menoleh setengah, ekspresinya tetap datar. “Saya jarang sarapan. Minum teh saja cukup, dan saya bisa bikin sendiri.”Nayla tidak langsung menyerah. Ia berdiri menjajari Leo. "Tapi kan saya butuh sarapan, Pak. Supaya kuat jaga Matteo seharian," ujarnya.Leo memutar tubuh, berhadapan dengan Nayla, dan menghela napas. "Kamu bisa pesan Fudgo at
Kemeja slim fit navy blue sudah terpasang rapi di tubuh, dasi terikat sempurna, dan aroma parfum woody menguar samar setiap kali Leo bergerak. Sepatu kulitnya mengilap. Ia berdiri sejenak di depan pintu kamar, menatap pemandangan yang—mau tak mau—sudah mulai menjadi bagian dari rutinitas paginya,Lampu kamar menyala terang. Nayla duduk bersandar di sandaran tempat tidur, rambutnya jatuh sedikit berantakan di bahu. Matteo tertidur pulas di lengannya, masih tekun menyusu di dadanya. Tangan bayi itu usil menarik-narik rambut Nayla hingga wanita itu tertawa-tawa kecil.Masih bayi saja sudah pintar cari perhatian. Leo menelan ludah. Astaga! Sepertinya dia juga sudah harus mulai terbiasa melihat pemandangan itu.Dan, kalau yang duduk di sana itu Zoya... ia mungkin sudah mendekat, memeluk dari belakang, lalu mengecup bahu terbuka yang menggoda itu. Tapi... ini Nayla. Dan, sialnya, mereka terlanjur mencatatkan banyak perjanjian di depan notaris yang tak boleh dilanggar. Leo menghela napas pan
Beberapa menit sebelum tanda tangan itu tercetak di atas kertas...Nayla berdiri gelisah di depan pintu masuk rumah. Di hadapannya, berdiri juga seorang pria berjas yang tadi merebut kunci rumah dari tangan Leo, senyum tipis terulas di bibir pria itu. matanya.Notaris, katanya. Utusan Matilda.Suasana terasa dingin, bukan karena yang berhembus, tapi karena tatapan pria itu yang seolah bisa menembus isi kepala Nayla.“Maaf, Pak…” Nayla memberanikan diri bersuara. “Kalau... kalau kami nggak mau tanda tangan nikah, apa yang akan terjadi?”Senyum pria itu langsung menghilang. Wajahnya mengeras, suaranya berubah tegas.“Keluarga Utama akan hancur!” ucapnya, menggelegar di telinga Nayla.“H-hah? Hancur?” Nayla terbelalak. “Tapi saya cuma pengasuh, Pak. Saya nggak bisa pegang senjata buat ngancurin keluarga...” Nayla bertambah gugup, langkahnya mundur setapak."Senjata anda tidak dipegang, tapi sedang anda digedong," ujar pria itu seraya menundukkan pandangan ke arah Matteo yang baru saja me
Telepon berakhir. Leo menurunkan ponsel perlahan, tapi pikirannya terus berputar. Ucapan Matilda barusan bikin kepalanya berdenyut lagi. Baru saja merasa lega atas kesembuhan Matteo, sudah datang tantangan baru lagi.Apa yang harus ia katakan kepada Nayla? Menyuruhnya menikah tiba-tiba begini jelas bisa menyinggung perasaanya. Dia pasti akan dianggap pria sok kaya, sok berkuasa, yang mudah saja membeli harga diri seorang wanita dan mengikatnya dalam pernikahan.Astaga! Leo meraup wajahnya, lalu berbalik.Dan melompat kaget.Entah sejak kapan, Nayla sudah berdiri di sana. Mungkin mendengar semua obrolannya dengan Matilda."Nayla, saya nggak tahu harus ngomong apa—""Saya mau nikah sama Bapak."Mereka berbicara bersamaan. Kemudian, terdiam bersamaan.Leo memicingkan mata, mencoba memastikan pendengarannya tak salah “Hah? Apa? Kamu bilang apa?”Nayla menatap lurus Leo. "Saya mau kok nikah sama Bapak. Nikah kontrak, kan? Seperti yang pernah bapak bilang, saya sementara jadi ibu susu Matte
Dalam perjalanan pulang dari rumah sakit, Nayla sempat duduk diam cukup lama sebelum akhirnya angkat bicara. Meluapkan rasa penasarannya atas kejutan yang katanya sudah disiapkan Matilda di rumah. Nayla merasa selama beberapa hari ini dia sudah banyak merepotkan wanita itu. Kiriman makanan lezat dan bergizi yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya dapat dia cicipi, tersedia setiap hari tanpa diminta. Pakaian baru kiriman Matilda pun terus bertambah, bahkan ukurannya tidak pernah meleset. “Pak Leo… maaf kalau boleh tanya, Ibu Matilda sudah menyiapkan kejutan apa, ya?” tanyanya, raut wajahnya terlihat cemas. “Saya nggak enak, sudah terlalu banyak ngerepotin Ibu. Dipercaya menjadi ibu susu Matteo saja, itu sudah kehormatan besar buat saya." Leo mengangkat bahu, matanya tetap fokus pada jalanan. “Saya juga nggak tahu, Nay. Mama itu... orangnya sulit ditebak. Kejutan cersinya bisa berarti banyak hal." "Tapi, bukannya Ibu lagi di luar negeri ya, Pak?” Nayla mendesak penasaran. "Ya, begi
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments