Hari pertama kerja Han Ji An di Cheonghwa Group seharusnya menjadi awal baru. Tapi siapa sangka, CEO baru yang diperkenalkan di hadapannya adalah rival masa kuliahnya yang paling menyebalkan—Park Seon Woo. Namun, pertemuan tak terduga itu hanyalah permukaan dari badai besar yang menunggu. Ji An, tanpa sadar, masuk ke dalam permainan berbahaya yang melibatkan korupsi tingkat tinggi, pengkhianatan keluarga, dan pengawasan diam-diam oleh orang yang berpura-pura peduli. Saat satu per satu orang terdekatnya menunjukkan wajah asli, dan rahasia masa lalu terkuak, Ji An dihadapkan pada pilihan: mempercayai musuh lamanya atau kehilangan segalanya. Di dunia kantor yang penuh ambisi, siapa teman, siapa musuh, dan siapa yang benar-benar ingin melindunginya?
Lihat lebih banyakJam dinding berdetak lambat. Di luar, suara mobil yang melintas di jalan utama terdengar sayup melewati jendela kecil kamar Ji An. Di dalam ruangan sempit berukuran tak lebih dari dua belas meter persegi itu, seorang perempuan duduk bersandar di kursi rotan yang mulai reot. Pakaian rumahnya lusuh, rambutnya dicepol asal, dan wajahnya tampak lelah. Namun, matanya penuh tekad saat menatap layar laptop yang mulai memanas di pangkuannya.
Nama lengkapnya, Han Ji An! Tertulis rapi di sudut kiri atas dokumen yang sedang ia susun. Lamaran kerja. Tangannya berhenti sejenak di atas keyboard. Ia menarik napas panjang, lalu melirik ke arah kalender tempel di dinding. Tanggal 27. Sudah hampir sebulan sejak dia keluar dari tempat kerja sebelumnya, dan tiga minggu sejak ia memutuskan untuk berhenti menggantungkan harapan pada siapa pun, termasuk orang tuanya. Notifikasi dari ponsel mengalihkan pikirannya. Pesan dari Min Ji. ‘Kau lihat pengumuman lowongan di Cheonghwa Group? Divisi keuangan akhirnya buka rekrutmen. Aku bisa dorong namamu kalau kau mau.’ Cheonghwa Group? Ji An terdiam sejenak. Perusahaan besar itu sebelumnya terkenal tertutup dalam urusan rekrutmen, terutama untuk divisi keuangan yang belakangan dirumorkan mengalami kekacauan. Ia tahu kabar itu dari forum-forum anonym, gosip tentang kerugian besar, sistem yang tidak tertata, dan audit internal yang gagal menyelesaikan permasalahan. ‘Kau yakin ini nggak mencurigakan? Kenapa tiba-tiba buka rekrutmen setelah sekian lama?’ balas Ji An. ‘Justru karena itu. Mereka butuh wajah baru. Orang-orang lama terlalu banyak tahu dan mungkin terlibat. Ini kesempatan bagus.’ Ji An kembali menatap laptopnya. Sebuah nama besar di resume bisa membuka banyak pintu. Dan ia tak punya waktu untuk ragu. --- Sementara itu, di kantor pusat Cheonghwa Group – Ruang Rapat 18A, Seoul Salah satu direktur keuangan melemparkan berkas daftar pelamar ke meja. "Aku tanya sekali lagi. Siapa yang mendorong pembukaan rekrutmen ini tanpa pembahasan lengkap dalam rapat internal?" Beberapa orang saling pandang. Ruangan hening, hanya terdengar suara kipas pendingin yang mendengung halus. "Aku hanya menjalankan perintah langsung dari level atas," ucap Kepala HRD, pelan. "Ada tekanan untuk segera bergerak sebelum situasi memburuk. Audit kemarin menunjukkan penyimpangan besar. Kita butuh orang baru yang bersih." "Atas nama siapa? Kau tahu divisi ini belum pulih sejak sistem terakhir dibobol. Membuka pintu untuk orang luar tanpa filter ketat bisa jadi bumerang." "Kalau terus menunda, justru kita tak akan pernah bisa keluar dari lingkaran lama," balas HRD. "Lihat daftar ini, ada beberapa nama yang menjanjikan." Direktur muda yang tadi bicara mengambil lembar pertama. Matanya menyipit saat membaca satu nama: Han Ji An. "Siapa yang menyisipkan nama ini?" gumamnya. --- Di kamar sempitnya, Ji An menuliskan kalimat terakhir dalam surat lamarannya: ‘Saya bukan yang paling sempurna, tapi saya selalu menyelesaikan apa yang saya mulai. Saya tidak pandai menjilat, tapi saya tahu cara bekerja. Saya tidak bisa dibuat-buat, tapi saya bisa diandalkan.’ Ia menatap layar dengan puas. Surat itu bukan sekadar formalitas. Itu potongan hidupnya. Sebuah pernyataan bahwa ia tidak butuh bantuan siapa pun untuk layak diperhitungkan. Setelah menekan tombol 'Kirim', ia meraih cangkir kopinya dan menatap ke luar jendela. Malam Seoul menyapa dengan lampu-lampu jalanan dan udara dingin yang perlahan meresap masuk lewat sela jendela tua. Hari itu terasa berat, tapi Ji An tahu, dia baru saja mengambil langkah yang akan mengubah hidupnya. --- Dua hari setelah ia mengirimkan surat lamarannya, ia mendapatkan email undangan wawancara. Dan disinilah gadis itu sekarang berdiri. Gedung Cheonghwa Group menjulang di depan matanya seperti istana kaca yang terlalu angkuh untuk disentuh. Dinding kacanya memantulkan langit Seoul yang mendung, seolah memberi peringatan bahwa hari ini tak akan mudah. Ji An berdiri sejenak di depan lobi, mengenakan blazer lama yang sempat ia setrika semalam dengan harapan lipatan bahunya bisa tampak sedikit profesional. Sepatu hitamnya mengilat, meski sudah empat tahun usianya. Ia menatap pantulan dirinya di pintu otomatis yang mengilat, rambut di kuncir rapi, wajah tanpa riasan mencolok, dan ekspresi penuh tekad. Hari ini hari penting. Bukan hanya soal pekerjaan. Tapi soal membuktikan bahwa ia bukan perempuan yang mudah diabaikan. Saat ia masuk ke dalam, aroma parfum mahal dan lantai marmer menyambutnya. Ia sempat mencatat detail kecil, resepsionis yang senyum seperlunya, suara mesin printer dari ruang sebelah, dan orang-orang berdasi yang berjalan cepat sambil bicara di telepon. “Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?” resepsionis menyapanya. “Han Ji An. Saya dapat jadwal wawancara pukul sepuluh untuk posisi di divisi keuangan.” Gadis resepsionis mengangguk dan memberinya visitor pass. “Silakan naik ke lantai 17. Ruang 1703.” Ji An mengangguk. Jantungnya berdegup lebih cepat saat kakinya menjejak lift. Selama perjalanan ke atas, ia menarik napas dalam-dalam, menenangkan dirinya. Ia pernah melalui banyak hal, rapat proyek dengan tenggat mustahil, rekan kerja toxic, bahkan bos yang gemar mengambil pujian atas kerja timnya. Tapi tetap saja, ruangan wawancara selalu berhasil membuat perutnya mual. --- Ruang 1703 ternyata tidak seseram bayangannya. Panel kayu hangat, kursi abu-abu empuk, dan dinding kaca dengan tirai separuh tertutup. Di seberang meja duduk tiga orang: dua laki-laki dan satu perempuan. Salah satunya adalah kepala HRD yang Ji An kenali dari foto profil web resmi semalam. Yang lain… tak dikenalnya. “Silakan duduk, Han Ji An-ssi,” ucap perempuan itu ramah. Ji An mengangguk, duduk tegak. Pandangannya tidak gemetar. “Terima kasih sudah datang. Kami sudah membaca CV Anda. Bisa ceritakan alasan Anda melamar ke Cheonghwa Group?” Pertanyaan standar. Namun Ji An bukan kandidat biasa. “Saya ingin tempat yang tidak hanya besar dari luar, tapi juga berani berubah dari dalam. Cheonghwa sedang membangun divisi baru. Itu berarti ada ruang kosong untuk integritas dan sistem yang jujur.” Para pewawancara saling pandang cepat. Ji An tahu ia menyinggung sesuatu yang sensitif. Tapi ia memang datang bukan untuk berbasa-basi. “Kami juga lihat Anda keluar dari tempat kerja sebelumnya tanpa surat rekomendasi.” “Ya,” jawab Ji An pelan, “karena saya menolak memanipulasi laporan akhir tahun seperti yang diminta atasan saya. Saya bukan orang yang tepat untuk tempat yang ingin semuanya terlihat sempurna padahal busuk di dalam.” Salah satu pewawancara, pria berjas abu tua terbatuk pelan. Mungkin karena terkejut. Atau mungkin karena kagum. Ji An tidak peduli. Ia hanya mengatakan kebenaran. “Lalu, apa kekurangan Anda?” “Ada banyak. Saya mudah curiga kalau orang terlalu manis. Saya bukan tipe yang cocok dengan politik kantor. Tapi saya tahu cara bekerja, dan saya tahu bagaimana menyelamatkan sistem keuangan yang rusak.” Sepi. Ruangan mendadak hening. Ji An tidak mundur. Ia menatap lurus, tetap tenang. --- Beberapa menit kemudian, wawancara selesai. Ia keluar ruangan dengan kepala tegak. Saat menekan tombol lift, ponselnya bergetar. ‘Kau sudah wawancara?’ ‘Sudah. Entah diterima atau tidak, aku tidak menyesali jawabanku.’ Min Ji membalas cepat. ‘Kudengar yang mengawasi proses rekrutmen ini langsung dari level atas. Katanya ada direksi yang ikut duduk diam di wawancara tadi.’ Ji An mengernyit. Ia langsung teringat pria paruh baya berkacamata yang duduk paling kiri. Dari tadi tidak bicara sepatah kata pun, tapi gerak matanya tajam dan penuh kalkulasi. Saat Ji An berbicara, pria itu mencatat sesuatu di buku kulit hitam kecil. Jelas bukan staf biasa. Tapi juga bukan wajah yang ia kenali dari daftar direksi yang sempat ia pelajari semalam. Ia menatap pintu ruang 1703 untuk beberapa detik. “Aku memang tidak pintar main strategi,” gumamnya pelan, “tapi aku tahu saat seseorang sedang mengincar sesuatu.” Ia menarik napas, lalu melangkah masuk ke dalam lift. Satu hal yang belum ia tahu adalah pengamatan hari ini bukan keputusan spontan. Dan namanya telah masuk dalam radar orang-orang penting di Cheonghwa Group. ---[Ruang Rapat CEO]Langit gelap menekan jendela kaca kantor saat suara ketukan pelan terdengar di pintu ruangannya.Seon Woo menoleh dari layar laptopnya, ekspresinya datar seperti biasa. “Masuk.”Pintu terbuka. Sekretarisnya masuk lebih dulu, lalu diikuti empat orang penting dari struktur perusahaan: Kepala Divisi Legal, HR, Operasional, dan Audit.Tanpa banyak basa-basi, mereka langsung menempati kursi masing-masing di meja rapat kaca panjang. Wajah-wajah mereka tegang, tanpa senyum basa-basi yang biasanya menyertai pertemuan formal.Seon Woo duduk tenang di ujung meja, tangan kanan melipat di depan dada, mata mengamati satu per satu. “Kelihatan seperti kalian menemukan mayat di laci akuntan,” gumamnya ringan, tapi dengan nada tajam.Kepala Audit, Pak Jang, membuka rapat lebih dulu. Suaranya kaku.“Kami menemukan indikasi penyisipan transaksi fiktif selama dua bulan terakhir. Jumlahnya tidak kecil, dan dilakukan lewat vendor yang tidak terdaftar secara resmi di sistem.”“Nama vendor?
Ji An keluar dari ruang CEO dengan langkah cepat dan kepala tertunduk. Wajahnya menegang, rahangnya terkunci, dan napasnya sedikit tersengal—bukan karena lelah, tapi karena emosi yang membuncah tanpa jalan keluar.Kesal. Malu. Dan bodoh.Itu tiga kata yang paling tepat untuk menggambarkan dirinya saat ini.Ia tidak tahu apa yang lebih menyakitkan—sikap Seon Woo yang dingin seolah tidak pernah terjadi apa-apa, atau kenyataan bahwa ia masih berharap pria itu akan menunjukkan sedikit saja kepedulian. Sedikit saja.Ia membanting tubuhnya ke kursi, membiarkan punggungnya menyentuh sandaran dan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Beberapa rekan kerja di seberangnya sempat melirik, tapi tak ada yang berani menyapa. Aura Ji An terlalu panas pagi ini.Belum lima detik ia mencoba menenangkan diri, suara hak sepatu yang familiar terdengar mendekat.“Ji An-ah.”Ia mendongak cepat dan mendapati Min Ji berdiri di sisi mejanya, membawa map biru dan ekspresi lelah akibat lembur semalam.“Ada dokume
Pagi itu, Ji An datang dengan kepala penuh amarah yang dibungkus rapi dalam senyum tipis dan ketukan ringan di pintu. Satu malam penuh ia berperang dengan pikirannya sendiri, mengulang setiap detik kebersamaannya dengan Seon Woo—mulai dari sundulan isengnya di rak es krim, kalimat ambigu sebelum tertidur, sampai... napas mereka yang terlalu dekat di ruang tamu.Ia sudah mempersiapkan beberapa kalimat pembuka: mungkin sedikit sarkasme, mungkin pertanyaan frontal, atau setidaknya satu tuntutan maaf.Tapi begitu pintu terbuka, semua yang ia siapkan langsung hancur.Seon Woo berdiri di depan mejanya sambil memeriksa dokumen, lengkap dengan ekspresi datarnya yang biasa. Seolah-olah malam kemarin tidak pernah ada.“Oh, Han Ji An-ssi,” ucapnya ringan. “Kamu datang tepat waktu. Aku mau bahas laporan transaksi bulan lalu. Duduklah.”Ji An mematung sejenak.Ia menatap Seon Woo dalam diam, menunggu kode—sekecil apa pun—bahwa pria itu akan menyebutkan sesuatu. Bahkan satu kalimat basa-basi pun ta
Begitu suara pintu tertutup rapat, Seon Woo membuka sebelah matanya perlahan. Sunyi. Ia mengintip ke arah pintu, memastikan Ji An benar-benar pergi. Setelah yakin tidak ada suara langkah kaki atau napas penuh kekesalan dari arah dapur, ia menghela napas lega dan… duduk tegak. Tidak, ia tidak mabuk. Seon Woo menyandarkan punggungnya ke sofa, lalu memutar lehernya pelan. “Toleransi alkoholku masih oke, ternyata,” gumamnya lirih sambil memijat perutnya yang sedikit nyeri. “Tapi tendangannya juga masih tetap berbahaya. Apa dia latihan MMA sekarang?” Ia memicingkan mata ke arah gelas yang masih berisi setengah di meja. Sebenarnya, satu-satunya alasan ia bersikap seperti itu adalah karena… ia tidak sengaja mendengar Ji An dan Seo Jun merencanakan sesuatu di restoran. Pergi ke tempat baru, katanya. Naik mobil yang sama, katanya. Dan entah kenapa, Seon Woo merasa... tidak suka. Hanya sedikit. Sedikit banget. Bukan karena cemburu, tentu saja. Bukan karena takut kehilangan. Hanya
Ruang makan mulai lengang. Gelas-gelas kosong tertinggal di meja, beberapa kursi sudah kosong, dan sisa suara tawa terdengar samar di antara dengkuran pelan. Pesta itu perlahan mereda, menyisakan jejak hangat dan sedikit kelelahan. Min Seok tertidur setengah duduk di sofa, wajahnya merah, mulutnya masih menyunggingkan senyum entah karena mimpi atau alkohol. Seon Woo masih di kursinya, kepala tertunduk, kedua tangan terkulai di paha. Ia tak sepenuhnya sadar, tapi cukup tenang untuk tak membuat keributan. Yuri berjongkok di samping Min Seok, menepuk pipinya pelan. “Min Seok-aa, bangun. Ayo pulang,” katanya sambil menghela napas. Hyun Woo membantu menopang tubuh Min Seok, nyaris tak bisa menyembunyikan rasa lelahnya. “Dia udah nggak bisa dibangunin,” gumam Hyun Woo. Yuri melirik ke arah Seon Woo. “Kayaknya Seon Woo juga. Dari tadi diem aja.” Seo Ri berdiri ragu dari kursinya. “Kalau begitu… biar aku saja yang antar dia pulang.” Ucapan itu membuat Ji An—yang masih duduk di kurs
Ji An keluar dari kamar mandi sambil merapikan pakaiannya yang sedikit kusut. Ia menghela napas kecil, berusaha menenangkan diri sebelum kembali ke meja. Namun, baru beberapa langkah keluar, ia mendapati Seon Woo sudah berdiri bersandar di dinding tak jauh dari pintu, kedua tangan disilangkan di dada.Ji An hanya meliriknya sinis dan melangkah melewatinya tanpa berkata sepatah kata pun.Namun tangan Seon Woo cepat meraih lengannya. "Tunggu.""Lepaskan." Suara Ji An terdengar tajam. Ia menoleh, menatap pria itu dengan tatapan penuh ketidaksenangan."Kita perlu bicara," ucap Seon Woo, tetap tenang tapi terlihat mendesak."Nggak ada yang perlu dibicarakan," balas Ji An."Ada," jawab Seon Woo singkat."Berarti itu masalah kamu. Sekarang lepasin tangan aku," timpal Ji An tajam. Ia mencoba menarik tangannya kembali, tapi tidak bisa lepas dari lelaki itu.Seon Woo mendekat selangkah. Cukup membuat gadis itu menahan napasnya sejenak.Tatapan Seon Woo menusuk. "Kamu keras kepala, Ji An. Mau sa
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen