Dijual kepada pria paling berbahaya di kota demi melunasi utang sang ayah tiri, Eleanor Juliet Hayes tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah menjadi mimpi buruk tanpa akhir. Grayson Oliver Blake, mafia kejam dan tak tersentuh. Menerimanya bukan karena cinta, tetapi karena sebuah alasan yang lebih kelam. Tanpa kelembutan. Tanpa kasih sayang. Hanya kontrak dingin dan tatapan tajam yang menusuk jantung. Namun, di balik semua itu, ada rahasia yang disembunyikan. Ada masa lalu yang gelap, dendam yang belum selesai, dan bahaya yang mengintai dalam diam. Bisakah Eleanor bertahan di dunia Grayson yang penuh darah dan kekuasaan? Atau justru ia akan menjadi titik lemah dari pria yang tak pernah punya hati?
View MoreAku masih mengenakan seragam kerja ketika suara itu terdengar dari ruang tengah.
“Besok pagi dia harus sudah pergi. Mobil akan menjemput pukul tujuh.”
Langkahku terhenti di tangga. Aku mengenali suara itu—David, ayah tiriku. Suara berat dan dingin yang selalu membuatku ingin menghilang.
“Aku sudah bicara dengan orangnya. Uang lunas, dan kita bebas.”
Hatiku mencelos. Siapa yang mereka bicarakan?
Aku melangkah pelan ke ambang pintu. Dan saat itu juga, dunia berhenti berputar.
“Eleanor,” suara David menyapaku. Datar. Seperti biasa.
Melissa duduk santai di sofa, kaki disilangkan, senyum puas di wajahnya. Kakak tiriku yang manja, penuh iri, dan selalu merasa hidup ini miliknya.
“Apa maksudmu ‘bebas’? Siapa yang pergi besok?” tanyaku, perlahan masuk ke ruang tamu.
David berdiri, menyilangkan tangan di dada. “Kau.”
Aku menahan napas. “Aku?”
“Mulai besok kau tak tinggal di sini lagi. Kau akan... menikah.”
Langit runtuh, Eleanor begitu syok.
Melissa terkekeh. “Selamat, adikku. Ternyata kau berguna juga. Hahaha”
“Apa?!” Aku melangkah maju. “Menikah? Dengan siapa? Kenapa?”
“Karena ayah punya hutang. Tiga juta dolar, dan harus segera dilunasi” ucap David ringan, seperti membicarakan menu makan siang. “Dan kau... adalah bayaran yang mereka mau.”
Tubuhku gemetar. “Kau menjualku? Seperti barang?!”
David mendekat. “Jangan drama, Eleanor. Ini semua demi menyelamatkan keluarga kita. Kau harus berkorban.”
Melissa tertawa nyaring. “Korban? Sudah dari dulu dia penghalang hidupku. Sekarang akhirnya dia dapat panggung juga.”
Aku ingin menampar wajahnya, tapi air mata lebih dulu mengalir di pipiku. Aku merasa seperti boneka usang yang dilempar ke kobaran api.
“Siapa pria itu?” tanyaku nyaris berbisik.
David menatapku lurus. “Grayson Oliver Blake.”
Satu nama. Satu kalimat. Satu malapetaka.
Aku mundur selangkah. “Tidak mungkin… aku tidak mau ! dia bagai seorang iblis” mata berkaca-kaca, menahan gejolak amarah yang amat besar.
Pria itu dikenal di mana-mana. Mafia terkaya di kota. Tak ada yang berani menyebut namanya sembarangan. Dia legenda kelam. Kabarnya, siapa pun yang berurusan dengannya akan kehilangan lebih dari sekadar nyawa.
“Dia tak butuh istri sungguhan. Hanya formalitas. Kau akan menikah secara hukum, lalu tinggal di vila miliknya. Anggap saja... tinggal di surga mewah.” David tersenyum sinis.
“Aku tidak setuju !”
“Kau tidak punya pilihan, Eleanor. Jangan gegabah !”
Melissa berdiri dan berjalan pelan ke arahku. “Selamat datang di dunia nyata, sayang. Kau pikir cinta bisa menyelamatkanmu? Tidak ada cinta di sini. Hanya kekuasaan. Dan uang.”
“Baik, kalau itu yang kalian mau…”
Eleanor tidak mampu berkata-kata lagi, iya pun menyerah.
Malam itu aku berkemas dalam diam.
Tanganku gemetar saat melipat gaun ibuku yang terakhir aku simpan. Hanya itu yang tersisa dari masa kecilku. Selain foto kecil yang terselip di dalam buku harian.
Aku tak tidur. Duduk di ranjang semalaman, menatap langit-langit, menunggu pagi menjemput mimpi burukku.
Pukul tujuh pagi, suara klakson mobil mengiris keheningan.
Di teras, Melissa berdiri sambil menggigit apel. “Kalau nanti kau punya uang, jangan lupa kirim undangan ya. Aku mau lihat apa kau benar-benar cocok jadi istri mafia.”
Aku menghela napas, lalu naik ke mobil hitam pekat yang menungguku. Dua pria berbadan besar dengan pakaian serba hitam menyambutku tanpa sepatah kata pun.
Aku tak menoleh ke belakang. Aku tidak ingin melihat rumah itu lagi. Tempat yang tak pernah jadi rumah.
Perjalanan panjang membawa kami ke luar kota. Jalanan menanjak, melewati hutan pinus dan bukit sunyi. Aku tak tahu mau dibawa ke mana. Tak ada yang menjelaskan.
Akhirnya kami tiba di depan gerbang besi tinggi. Sebuah vila besar bergaya Eropa berdiri angkuh di baliknya. Halamannya luas, dipenuhi patung dan taman yang tak berjiwa.
Seseorang menungguku di teras. Seorang wanita berwajah masam dengan tatapan tajam dan pakaian formal.
“Selamat datang, Nona Hayes. Saya Melinda, tante Grayson Oliver Blake.”
“Baik Nyonya”
“Saya akan mengurus pernikahan ini secara cepat dan bersih. Grayson tidak punya waktu untuk... basa-basi.”
Aku menunduk. “Kami akan... menikah hari ini?”
Tante Blake mengangguk. “Kontrak pernikahan, lalu kau tinggal di vila ini. Grayson akan sibuk, jadi jangan harap kau akan sering melihatnya.”
Aku merasa perutku mual.
“Dan satu hal lagi.” Wanita itu menatapku tajam. “Jaga sikapmu. Keluarga kami punya nama besar. Jangan mempermalukan kami.”
Aku hanya bisa mengangguk. Apa lagi yang bisa kulakukan?
Beberapa jam kemudian, aku mengenakan dress satin abu-abu sederhana. Tidak ada bunga. Tidak ada tamu. Hanya kontrak dan tanda tangan. Bahkan Grayson sendiri tidak hadir.
“Dia sudah menyetujui semuanya. Ini hanya formalitas,” kata sang pengacara.
Begitu mudah. Seolah aku bukan manusia, melainkan kontrak bisnis.
Malam harinya, aku dipandu pelayan ke sebuah kamar besar di ujung lorong. Tempatku tinggal sekarang.
Sebelum tidur, aku berdiri di depan cermin.
Siapa gadis yang kulihat?
Bibir pucat. Mata sembab. Bahu yang gemetar.
Aku bukan Eleanor yang dulu.
Dan aku tahu, mulai hari ini… aku adalah milik pria yang belum pernah kulihat, tapi sudah cukup membuatku takut hanya dari namanya.
Grayson Oliver Blake.
Dan inilah awal neraka yang sesungguhnya.
Aku duduk di ranjang besar itu, menatap sekeliling kamar yang dingin dan terlalu sunyi. Tidak ada foto. Tidak ada buku. Tidak ada tanda kehidupan.
Ini seperti penjara berlapis emas.
Lampu gantung kristal menggantung indah di langit-langit tinggi, namun rasanya tidak memberi kehangatan. Justru menekanku dalam kesunyian yang menusuk tulang.
Aku berjalan ke jendela besar, membuka tirai tebalnya. Di luar, hanya ada hutan dan gerbang besi tinggi. Seolah dunia telah kutinggalkan, dan aku dibuang ke tempat asing tanpa arah kembali.
Hatiku mencubit. Bukan hanya karena ketakutan.
Tapi juga karena dikhianati oleh orang yang kupanggil ayah selama ini. Orang yang dulu kutolong saat terlilit hutang, saat ibuku meninggal, saat rumah nyaris disita. Semua bantuan itu tak ada artinya. Karena pada akhirnya, aku dijual. Seperti barang.
Tanganku mengepal di balik gaun putih yang masih kukenakan.
Aku tidak akan menangis lagi. Tidak di tempat ini.
Lalu pintu kamar diketuk. Seorang wanita pelayan masuk dengan sopan.
“Ini... pakaian tidur Anda, Nona,” katanya lirih sambil meletakkan sebuah pakaian malam berenda di atas ranjang. Lingeri hitam.
Aku menelan ludah. Bahkan aku belum melihat wajah pria itu, tapi dia sudah mengatur pakaian yang harus kupakai?
“Apakah... dia akan datang malam ini?” tanyaku hati-hati.
Pelayan itu menunduk. “Tuan Grayson menyampaikan jika, iya... tidak akan menemui istrinya di malam pertama. Dia... tidak tertarik pada hubungan personal.”
Aku mengangguk pelan. Ada rasa lega yang membingungkan, bercampur kecewa.
Aku menikah, tapi bahkan suamiku tidak ingin melihat wajahku.
Malam itu aku berbaring sambil menatap langit-langit gelap. Tubuhku ada di ranjang empuk, tapi jiwaku sedang mengembara di antara luka dan ketidakpastian.
Dan untuk pertama kalinya aku bertanya pada diriku sendiri—apa aku akan selamat di dunia Grayson Oliver Blake?
POV EleanorHari demi hari kami lewati dengan penuh bahagia. Dari sebuah pilihan kecil membuat hidup kami begitu harmonis hingga tak terasa kini telah menginjak satu bulan kami tinggal di New Zealand. Grayson bahkan sudah mulai lihai memasak. Dan aku begitu menikmati masakannya yang nyaris jauh lebih enak dariku.Sinar matahari musim semi menyusup melalui jendela kamar, menyentuh kulitku yang mulai pucat. Aku duduk di tepi ranjang, tanganku refleks mengusap perutku yang masih rata, meski aku tahu di dalam sana ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang kecil, rapuh, tapi menjadi alasan baruku untuk hidup.Aku menatap Grayson yang berdiri tak jauh, sibuk membuka tirai sambil menoleh ke arahku. Wajahnya tampak lebih tenang dibandingkan beberapa minggu lalu, tapi aku tahu di balik matanya selalu ada kegelisahan yang tak pernah sepenuhnya pergi.“Gray…” suaraku lirih.Ia segera menoleh, mendekat, lalu duduk di sampingku. &
POV EleanorSetelah menikah kemarin, Grayson tak memberi jedah untuk kami. Grayson mengatakan ingin memberikanku sebuah hadiah pernikahan yang tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Ia menutup mataku dan ia membawaku menaiki sebuah jet pribadi yang sudah siap di halaman meski aku bahkan belum mandi pagi itu.Dan saat kami tiba, Grayson membuka penutup mataku. Sontak aku sangat terkejut. Tempat yang terlalu indah, penuh ketenangan.Aku menutup mulut dengan kedua tanganku.“Selamat datang di New Zealand istriku…” ucap Grayson dengan senyum yang begitu mengembang.Air mataku tak bisa tertahan lagi. Haru dan bahagia semakin tak terbendung lagi.“Gray… ahh terima kasih hadiah pernikahannya…” Aku masih menatap keseluruh penjuru dengan perasaan takjub.“Apa kamu menyukai tempat ini?”“Yah! Tentu…” mataku masih berkaca-kaca“Kalau be
POV EleanorUdara sore di luar kapel kecil itu terasa tenang, seolah angin pun menahan napas menyaksikan momen yang akan datang. Kapel tua di atas bukit yang dibelakangnya ada pantai yang indah, jauh dari hiruk pikuk dunia mafia, berdiri sederhana namun anggun. Dinding batu putih yang sudah berlumut tetap berdiri kokoh, sementara cahaya matahari senja menembus kaca patri, memantulkan warna merah dan emas di dalam ruangan.Aku—Eleanor—berdiri di depan cermin tinggi dengan gaun putih cantik nan elegant. Tidak ada kemewahan berlebihan, hanya renda lembut yang membalut tubuhku. Tanganku bergetar saat menyentuh kaca, seolah aku belum percaya bahwa hari ini akhirnya tiba.Suara pelan terdengar di pintu. “Eleanor…” Itu suara Clara. Ia masuk perlahan, mengenakan gaun biru gelap yang anggun. Tatapannya melembut saat melihatku. “Kau terlihat… indah. Bahkan lebih indah daripada yang bisa kubayangkan.”
POV GraysonSetelah rapat dengan Vincent, Clara, dan Damien berakhir, aku duduk sendirian di ruang kerja. Lampu meja menyinari berkas-berkas yang berserakan, tapi pikiranku tak lagi berada pada dokumen atau strategi. Jemariku berhenti di atas layar ponsel. Nomor yang sudah lama tersimpan, tapi jarang sekali kugunakan.Nomor ibuku.Aku menarik napas panjang, menekan tombol panggil. Suara sambungan terdengar, dan detik-detik itu terasa seperti menunggu vonis.“Gray?” suara ibuku akhirnya terdengar, lembut, hangat, tapi juga penuh keheranan. “Hallo sayang... tumben kamu telfon ibu, ada apa sayang?”Aku menutup mata sejenak, mencoba menahan gejolak emosi. “Ibu… aku ingin kau datang besok.”“Besok?” suaranya terdengar bingung. “Untuk apa? Kau jarang mengundangku mendadak seperti ini.” Ada jeda singkat sebelum ia menambahkan dengan nada lebih curiga. “Apakah
POV GraysonRuang kerja di vila terasa lebih dingin dari biasanya. Hujan deras menghantam jendela, seakan ikut menekan suasana tegang yang menggantung di udara. Di hadapanku, Vincent, Clara, dan Damien duduk dengan wajah serius. Peta wilayah, laporan finansial, dan catatan aliansi mafia tersebar di atas meja besar dari kayu. Semua mata tertuju padaku, menunggu keputusan.Vincent yang pertama membuka suara, nadanya tenang tapi penuh desakan.“Gray, ini bukan sekadar tentang kita. Sisa loyalis Moretti dan Castel masih aktif. Mereka mulai bergerak di pelabuhan Marseille dan Nice. Kalau kita biarkan, mereka akan bangkit lagi. Kita butuh strategi untuk menekan mereka sekarang juga.”Clara menambahkan, nada dinginnya seperti pisau.“Kau sudah lihat sendiri, Verena jatuh bukan berarti ideologinya mati. Orang-orang itu masih mengibarkan nama Castel. Kalau kau mundur, mereka akan menafsirkan itu sebagai kelemahan. Dan kelemaha
POV EleanorGrayson duduk di sofa, wajahnya serius tapi tatapannya tak pernah lepas dariku. Di antara cahaya lampu yang redup, aku bisa melihat sisa-sisa luka di tangannya—goresan pedang, lebam, dan bekas darah yang belum sepenuhnya hilang meski sudah dibersihkan. Tangannya itu, yang pernah membuatku ketakutan, kini justru menjadi tempat di mana aku merasa paling aman.Aku menarik napas pelan, menahan perasaan campur aduk yang terus menggelayut.“Grayson… apa kau benar-benar yakin dengan semua ini?” suaraku bergetar. “Setelah semua yang terjadi… aku takut, kalau aku hanya akan menjadi bebanmu lagi.”Grayson tidak langsung menjawab. Ia hanya meraih tanganku, menatap setiap jemariku yang masih penuh bekas memar, lalu mengangkatnya ke bibirnya.“Eleanor, dengarkan aku,” katanya pelan, namun tegas. “Kau bukan beban. Kau adalah alasan kenapa aku mas
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments