Aku memutuskan berjalan kembali ke gang sempit di belakang pasar tua, tempat Ana pernah memberitahuku ada penginapan bayangan yang murah. Bukan hostel resmi, lebih seperti kamar yang disewakan diam-diam untuk mereka yang tak ingin dicari.
Aku menemukan rumahnya. Pintu tua dengan bel rusak dan lampu merah kusam di atasnya. Seorang wanita berambut kelabu membukakan pintu. Ia menatapku dari atas ke bawah, lalu berkata pelan, “Malam. Bayar tunai. Tidak ada nama. Tidak ada tanya-tanya.”
Aku mengangguk.
Kamar yang ia berikan hanya berisi ranjang sempit dan jendela kecil. Tapi aku bersyukur. Setidaknya, malam ini aku punya atap.
Aku rebahkan tubuhku perlahan, dan untuk pertama kalinya sejak meninggalkan vila… aku menangis. Tanpa suara. Tanpa alasan yang jelas. Mungkin karena lelah. Mungkin karena takut. Atau mungkin karena aku tak tahu siapa sebenarnya diriku sekarang.
Tapi satu hal yang pasti—aku tidak akan kembali.
Aku ak
Vincent mengangguk pelan.Clara berdiri. “Kalau begitu, kita buka koper itu.”Vincent mengeluarkan alat pembuka kunci kecil dari tas selempangnya. Setelah beberapa detik yang menegangkan, terdengar bunyi klik. Koper terbuka perlahan.Isinya tidak banyak.Beberapa dokumen berbahasa Spanyol dan Prancis, selembar foto tua dari pesta gelap bertahun-tahun lalu, dan sebuah amplop putih polos dengan satu nama di depannya:“Untuk Eleanor – Jika kau menemukan ini, maka segalanya sudah dimulai.”Tanganku gemetar saat meraih amplop itu.Tulisan tangan ibuku.Aku tahu pasti.Dan saat kukeluarkan isi suratnya, aku tahu—ini bukan akhir pelarianku.Ini adalah awal dari warisan yang selama ini dikubur dalam diam.Tanganku gemetar saat membuka amplop tua itu. Kertasnya sudah menguning di tepinya, tapi aku mengenali tulisan tangan itu seketika. Tulisan ibukuUntuk Elean
Kami meninggalkan markas pelatihan sebelum matahari terbit.Tak ada jejak. Tak ada kata perpisahan. Clara membakar semua catatan, Vincent menonaktifkan alat komunikasi, dan aku menyimpan senjata di balik jaket tebal yang ia berikan. Sekarang kami hanya membawa satu mobil dan satu tujuan—tempat perlindungan terakhir yang disebut Vincent sebagai “rumah warisan.”“Kita akan ke mana?” tanyaku di tengah perjalanan, menatap hutan pinus yang memudar di kaca jendela belakang.Vincent yang menyetir hanya menjawab, “Tempat yang bahkan Grayson tidak tahu keberadaannya. Tapi ayahnya tahu.”Aku menoleh cepat. “Ayah Grayson?”“Ya. Dulu tempat itu digunakan untuk menyimpan dokumen, senjata, dan hal-hal yang tak boleh diketahui siapa pun... bahkan oleh Blake muda sekalipun.”Aku terdiam. Tapi pikiranku bergejolak.Kenapa ayah Grayson menyembunyikan sesuatu dari anaknya sendiri?
Tiga hari sudah aku berada di tempat pelatihan rahasia ini.Tubuhku nyaris tak terasa lagi. Seluruh otot terasa seperti tertarik dan dipukul bersamaan. Tapi aku tidak mengeluh. Ini bukan pertama kalinya aku merasakan nyeri semacam ini. Aku pernah melewatinya—di vila, bersama Damien. Lelaki itu telah mengajariku cara bertahan, cara memukul, bahkan cara membidik dan menarik pelatuk tanpa ragu.Tapi sekarang, di tempat ini, latihannya berbeda.Damien melatihku dalam kerangka kedisiplinan militer.Clara melatihku seperti sedang membentuk pembunuh."Bangun." Suara Clara tajam membelah ruang latihan. “Kau pernah pegang pistol, ya?”Aku mengangguk, terengah. “Damien mengajarkan dasar-dasarnya. Menembak target. Mengatur napas. Menahan tekanan.”Clara mendekat. “Bagus. Maka kita akan langsung naik kelas. Kau tidak belajar untuk mengalahkan target diam. Kau akan hadapi musuh yang bergerak, dan ingin kau mati.
Perjalanan malam menuju tempat pelatihan seperti perjalanan menuju dunia lain. Kota pelabuhan tertinggal jauh di belakang, digantikan dengan hutan pinus yang membungkus jalanan sempit berliku. Tidak ada lampu jalan. Hanya sorot mobil Vincent yang menerobos gelap seperti peluru.Setelah satu jam, kami tiba di depan bangunan beton tersembunyi di balik ladang kosong. Sekilas terlihat seperti gudang tua. Tapi saat pintunya dibuka, semuanya berubah.Ruangan luas dengan dinding kedap suara. Lantai empuk. Cermin lebar di satu sisi. Rak senjata di sisi lain. Dan seorang wanita tinggi berambut pendek yang menunggu di tengah ruangan.“Ini dia?” tanya wanita itu pada Vincent.Vincent mengangguk. “Eleanor Hayes.”Wanita itu tersenyum tipis. “Kau terlihat lebih kurus dari yang kubayangkan.”Aku diam.“Namaku Clara. Pelatih tangan kosong. Mantan CIA. Aku tidak peduli siapa kau, siapa suamimu, atau berapa ba
Aku memutuskan berjalan kembali ke gang sempit di belakang pasar tua, tempat Ana pernah memberitahuku ada penginapan bayangan yang murah. Bukan hostel resmi, lebih seperti kamar yang disewakan diam-diam untuk mereka yang tak ingin dicari.Aku menemukan rumahnya. Pintu tua dengan bel rusak dan lampu merah kusam di atasnya. Seorang wanita berambut kelabu membukakan pintu. Ia menatapku dari atas ke bawah, lalu berkata pelan, “Malam. Bayar tunai. Tidak ada nama. Tidak ada tanya-tanya.”Aku mengangguk.Kamar yang ia berikan hanya berisi ranjang sempit dan jendela kecil. Tapi aku bersyukur. Setidaknya, malam ini aku punya atap.Aku rebahkan tubuhku perlahan, dan untuk pertama kalinya sejak meninggalkan vila… aku menangis. Tanpa suara. Tanpa alasan yang jelas. Mungkin karena lelah. Mungkin karena takut. Atau mungkin karena aku tak tahu siapa sebenarnya diriku sekarang.Tapi satu hal yang pasti—aku tidak akan kembali.Aku ak
Aku tak tahu berapa lama aku berjalan.Langit mulai memudar ke abu-abu saat fajar menjelang. Jalanan berbatu yang kulalui sepi, hanya sesekali terdengar suara burung hantu yang tersisa di antara pepohonan. Rambutku berantakan, ransel kecilku semakin berat di pundak, dan setiap langkah terasa seperti perjudian. Tapi setidaknya, aku masih hidup.Dan itu… lebih dari cukup untuk saat ini.Aku menyusuri jalan tanah hingga menemukan sebuah kota kecil yang tertidur. Tak banyak kendaraan lalu lalang, hanya toko roti dengan pintu setengah terbuka dan pom bensin tua dengan bangku berkarat. Aku menyembunyikan wajah di balik hoodie dan masuk ke kedai kopi yang baru buka.Barista tak banyak tanya. Hanya memberikan secangkir kopi hangat dan roti kering setelah aku menyodorkan uang tunai. Mungkin aku terlihat seperti mahasiswa kabur, atau turis tersesat. Apa pun itu, aku bersyukur.Setelah makan, aku membuka amplop dari Damien. Di dalamnya, selain uang, ad