Share

4. Pertemuan Canggung

"Maaf ya, saat Varen meninggal aku tidak bisa ikut ke pemakaman. Saat itu aku sedang sakit," tutur Shalimah.

Beruntung Mbak tidak ikut. Jika saja saat itu Mbak ikut, Mbak akan melihat betapa mertua Mbak sangat tidak pantas disebut sebagai mertua. "Tidak apa-apa, Mbak. Aku mengerti, kok." Disti tersenyum gugup.

Shalimah meraih tangan Disti, lalu menariknya pelan. "Kita ngobrol di ruanganku saja, yuk."

Disti mengikuti langkah Shalimah ke ruangannya. Di dalam ruangan berpintu kaca, Disti dipersilakan duduk di sofa khusus untuk tamu. Belum habis kekaguman Disti akan indahnya penataan ruang kerja Shalimah yang sangat rapi dan bersih, Disti kembali dikejutkan oleh keakraban yang diciptakan Shalimah.

"Kamu mau minum apa? Jus, kopi atau yang lainnya?"

"Apa saja, Mbak."

"Oke, deh. Sebentar, ya." Shalimah berjalan ke arah meja kerjanya. Ia mengangkat gagang telepon dan menghubungi bagian pantry butik besar dan megah tersebut. "Bu Nah, tolong buatkan dua jus jeruk dan bawa ke ruangan saya, ya."

Disti mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan. Ruangan yang memiliki desain interior ala timur tengah itu akan membuat betah siapa saja yang menempatinya. Jendela besar yang dihiasi gorden sutra berwarna emas dan lampu gantung kristal membuat siapa saja yang berada di dalamnya merasa seperti sedang berada di kerajaan Timur Tengah.

"Mas Yas, semalam cerita sama aku bahwa dia bertemu kamu di karaoke. Kamu sudah lama kerja di sana?" pertanyaan Shalimah membuyarkan lamunan Disti.

"Baru tiga bulan, Mbak," jawab Disti malu-malu. Baginya pekerjaannya di tempat karaoke itu bukanlah sebuah pekerjaan yang membanggakan, mengingat pandangan negatif yang melekat pada tempat tersebut.

Shalimah berjalan ke sofa yang berada di seberang Disti, lalu duduk di sana. "Sebelumnya kamu kerja di mana?"

"Di pabrik garmen, Mbak. Aku di bagian produksi. Menjahit."

Mata Shalimah berbinar mendengar penjelasan Disti. "Kebetulan aku sedang mencari penjahit."

"Tapi aku hanya bisa menjahit biasa saja, Mbak. Ya, menjahit pakaian-pakaian biasa dan bukan untuk kebaya-kebaya pengantin mewah seperti yang ada di sini."

"Kamu bisa belajar, Disti. Tidak ada pekerjaan mudah di dunia ini. Semuanya berproses. Kamu mau kan memperdalam keahlianmu menjahit? Syukur-syukur bisa belajar merancang pakaian juga."

"Tentu, Mbak. Aku mau. Untuk itulah aku datang ke sini. Bahkan jika Mbak tidak sedang membutuhkan penjahit dan hanya membutuhkan tukang bersih-bersih, aku juga bersedia melakukannya."

Shalimah tersenyum. "Masa, sih, aku akan memberimu pekerjaan bersih-bersih kalau kamu punya keahlian."

Suara ketukan pintu menginterupsi obrolan Disti dan Shalimah. Seorang wanita berusia empat puluhan dengan baki berisi dua gelas jus jeruk mendorong pintu lalu masuk. wanita itu melayangkan senyuman pada Shalimah dan Disti.

"Terima kasih, Bu Nah," ucap Shalimah setelah wanita itu meletakkan kedua gelas berisi jus di atas meja.

"Sama-sama, Bu." wanita itu lalu meninggalkan ruangan.

"Diminum dulu jusnya." Shalimah mempersilakan Disti untuk minum.

Disti menyesap jusnya pelan dan hati-hati. Ia mencoba untuk tidak terlihat sangat kehausan dengan menghabiskan kurang dari sepertiga isi gelas untuk membasahi tenggorokkannya.

"Sebentar lagi Mas Yas akan datang. Kita makan siang bareng, ya," tutur Shalimah.

Ajakan Shalimah menyentak ketenangan Disti. Ia tidak ingin bertemu Yasa dalam waktu dekat. Ya, setidaknya sampai besok hari. Bertemu dan berbincang dengan pria itu selama beberapa puluh menit saja sudah membuatnya kelimpungan, apalagi sambil makan siang. Ia belum siap dipermalukan di depan Shalimah oleh Yasa, pikirnya.

"Tidak usah, Mbak. Aku tidak mau merepotkan. Aku akan makan di warteg depan saja," tolak Disti yang kemudian ia sesali beberapa detik kemudian. Menolak tawaran makan siang bareng, sama artinya menolak rezeki.

"Jangan sungkan. Mas Yas sebenarnya baik, kelihatannya saja serem." Shalimah tertawa kecil. "Oh, iya. Aku baru ingat sama anak kamu. Siapa namanya?"

"Arjuna, Mbak."

"Besok kamu bisa mulai kerja. Nanti ada staf yang bakal ngajarin kamu. Tenang saja. Jangan lupa, besok Arjuna dibawa ke sini, ya."

Disti membulatkan mata cokelatnya, mencoba mencerna ucapan Shalimah dan meyakinkan diri bahwa telinganya masih bisa mendengar dengan normal. "Tapi, besok kan saya mulai kerja. Bagaimana dengan Arjuna?"

"Nanti Arjuna aku yang temenin. Kamu santai aja."

"Tapi, Mbak—"

"Itu Mas Yas datang." Shalimah memotong ucapan Disti sambil menoleh ke arah pintu.

Waswas dan gelisah bergelimang di benak Disti. Denyut jantungnya yang tenang kini semakin kencang. Ia mengumpulkan semua keberanian sebagai amunisi untuk berhadapan dengan Yasa. Tidak ada yang perlu ditakuti dari pria itu, hanya saja Disti mempersiapkan diri untuk tidak terlalu sakit hati jika ada ucapan menyayat hati yang akan terlontar dari mulutnya.

"Assalamualaikum." Yasa mengucapkan salam saat memasuki ruangan dan melirik Disti, kemudian mengarah pandangannya pada Shalimah.

"Waalaikumsalam." Shalimah menyambut kedatangan Yasa. Ia meraih tangan Yasa lalu mencium punggung tangan Yasa dengan lembut.

Pemandangan romantis itu membuat Disti takjub. Sungguh, Mas Yasa dan Mbak Shalimah adalah pasangan yang sangat serasi.

Sekilas ingatan tentang Varen kembali menggugah kesadaran Disti. Betapa ia sangat menikmati masa-masa di mana ia menyambut kedatangan Varen saat suaminya itu pulang bekerja. Kenangan manis itu berputar-putar di kepalanya dan membuat mata Disti berkaca-kaca. Sadar ia akan meneteskan air mata, Disti segera mengusap ujung matanya.

"Disti setuju bekerja di sini, Mas," ucap Shalimah.

"Bagus kalau begitu." Yasa berjalan ke arah meja kerja istrinya tanpa memedulikan kehadiran Disti.

Pria itu melepas jas hitam yang membalut tubuh atletisnya dan menyisakan jas putih. Yasa menyampirkan jas itu ke sandaran kursi Shalimah, lalu duduk di sana. Berdiri di samping meja, Shalimah mengangkat gagang telepon untuk menghubungi bagian pantry  dan meminta secangkir kopi untuk Yasa.

"Mas, nanti kita makan siang bareng Disti, ya." Ucapan Shalimah membuat Yasa menautkan kedua alis tebalnya sambil sedikit menyipitkan mata. Reaksi pria itu tampak tidak senang. Baik Shalimah maupun Disti bisa melihatnya dengan jelas

"Kita kan keluarga. Apa salahnya kita makan bersama?" saran Shalimah lagi.

Yasa mengangguk terpaksa. Ia tidak pernah bisa menolak keinginan istrinya. "Oke. Baiklah."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status