Mag-log inSebagai orangtua tunggal dari seorang anak laki-laki berusia empat tahun, Disti ditantang untuk melawan kerasnya kehidupan. Namun, ketidakberuntungan memaksa Disti untuk menyerah. Disti pun terpaksa menikah dengan kakak mendiang suaminya, Yasa, yang telah beristri untuk menutupi aib! Lantas, sanggupkah Disti bertahan kala kehidupan pernikahan poligami yang tidak direncanakan akhirnya mengombang-ambingkan perasaan ketiganya? Bagaimana juga perasaan istri Yasa?
view more“Please don’t do this.” I begged over and over, but no one was listening. I thrashed against their hold, but nothing. “I am your luna.” I screamed at the top of my lungs, but then his laugh from the other room broke all the fight in me. “Luke please.” I begged once more time, my voice horse.
“Kill it once it’s done. Toss her out. She will have to survive on her own from here on out.”
He can’t mean that. This was our baby. “Our baby.”
“Is a mistake from the Moon Goddess. One I will rectify.” His voice called again from the other room. He wouldn’t even face me. “Now do it. That’s an order.”
“Yes, Alpha.”
It was a mistake to come here.
It was a mistake to give him everything.
“Oh, and doctor?” Her sweet voice called from the other room. My stepsister, Shannon. I gritted my teeth. “Don’t use any anesthetic. She should feel everything.”
“Yes, Luna.” The doctor turned back to me with sad eyes, but when he picked up the scalpel, I knew I was screwed.
I’m sorry, baby. Momma couldn’t save you. She wanted you so, so much. I tried to rub my stomach, but the nurses had strapped me down. When the doctor approached, I realized he was using a silver blade.
“Silver?” My whisper was almost silent, but he nodded. I knew then that Shannon didn’t want me to survive. She wanted my life so badly that she lied about me cheating on my mate, showing photos as proof. But I never touched another wolf, nor would I again, not after this betrayal.
Why, Moon Goddess, why would you give him to me just to take him away? My pup.
I cried silently as the doctor cut into my abdomen, and I felt my baby thrash inside. He knew it was too early to be born. This was a death sentence for both of us.
“Bring me the body of the pup.”
“Yes Alpha.” I felt every slice as he cut into me, and finally I could take it no longer. I started to scream, soon I felt the blood trickling down my side, every drip off of me hitting the floor. I thrashed against the restraints. But the silver had made me weak.
I’m sorry, baby.
They weren’t trying to keep me alive, which I expected, but I wished wasn’t true. I used to love my mate, but I felt the love die in me when I saw my pup being ripped from my belly.
“Please, let me hold him once.” I tried to move my arms to reach for him, but I was still tied down. The doctor, who was shedding tears, brought my pup and laid him on my chest.
He was perfect. I rubbed his scent on my face and mine on his. He would forever be a part of my soul.
My missing piece.
“Doctor, now.”
“Yes Alpha.” The doctor picked the baby up and rushed out, leaving me spread open to the elements.
I felt my life slipping away as the door opened and Shannon came in. Her smug smile was firmly in place.
“I told you I would take your life, Amy. I would have your mate. And I have, over and over, since he found out of your betrayal.” Shannon walked over and laid a kiss on my face as I snarled. “He is perfection. And don’t worry. I will give him another son.” She laid her hand on her stomach and I started to laugh. “What’s so funny?”
“I can smell the beta on you. That’s Derek's child, and it’s a girl. Nice try though.”
She snarled and raised her hand, growing her claws to deliver the final blow, but the door was ripped open and my mate, the man I now hated most in the world, stepped inside. His eyes were red, and I started to laugh again.
“You bitch!” He snarled and struck out, whipping Shannon to the other side of the room.
“Brandon!” Shannon shrieked as she hit the wall. “What’s wrong?” She staggered to her feet, but more blood dripped out of me and I closed my eyes.
“You lied!” He screamed, shaking the walls as his aura struck out, but I could barely feel it. I felt the silver travelling in my veins getting closer to my sluggish heart. “This was my pup. I can smell me on him. He was mine.” Brandon's eyes grew redder as the tears gathered. “You said she cheated on me and that it wasn’t my pup.”
“She did cheat on you. I guess I was wrong about the pup.”
“You said you smelt it.” From the sound of it, he lunged for her again, but him clutching our baby in his arm was the last thing I saw. And I wanted to never see it again. He did this to us. Not Shannon.
She played her part well, sure, but him not believing me, not waiting for a few more days to smell the pup, that was his fault. And all of our downfalls.
I prayed for the moon goddess to take me. I no longer wanted to be here. I wanted to be with my pup.
“Save her.”
“No!” Shannon screamed. “I am the Luna now, you marked me last night.” Ah, so that was the pain I felt last night. His betrayal had bile shoot into my mouth. “I am bearing your pup.”
I started to laugh again. I cracked my eyes to see my mate, Brandon, hovering next to me. “Stay with me Amy.”
“Beta’s baby. She is fucking…the beta.” I choked out the words and laughed as horror bloomed in his eyes. Blood flew from my mouth as I smiled again.
“Save her.”
“No!” I slammed out, putting all of my power in it. “Don’t move.” I used my Alpha strength to freeze everyone, including my mate.
“How?” Brandon looked down at me, pleading. “Let me save you.”
“I am descended from the Moon Goddess, and you don’t deserve to save me. You don’t deserve our pup. You were weak. And now you lost everything.” I smiled up at him as I felt my life from my body.
And then I was free.
Plaaak! Tamparan Disti mendarat di pipi Yasa. Wanita itu tidak menduga Yasa akan berkata yang menyakitkan hatinya seperti tadi. Apa yang bisa Disti lakukan jika Yasa benar-benar membawa masalah hak asuh Kieran ke ranah hukum? Yasa punya segalanya. Jelas ia akan memenangkan hak asuh itu, meskipun anak di bawah umur seharusnya dibesarkan oleh ibunya. Yasa bisa melakukan apa saja untuk merebut hak asuh Kieran.Disti terdiam. Semua kata tertahan di tenggorokannya. Hanya air mata yang membasahi pipi yang mewakili kehancuran hati dan harapannya. Begitupun, dengan Yasa. Pria itu tertegun merenungi bagaimana ia dengan bodohnya melayangkan kalimat intimidasi pada Disti. Wanita yang pernah mengisi hati dan telah memberinya seorang putri. Dorongan yang tak terbendung memberikan kekuatan pada Yasa. Mengabaikan semua permasalahan yang ada, Yasa merengkuh Disti ke dalam pelukannya.
Wanita berkulit putih yang mengenakan gaun merah selutut itu tersenyum. Mata sebiru lautannya berbinar terang seolah tidak ada beban sedikit pun di pundaknya ketika ia harus berhadapan dengan mantan istri Yasa."Halo, aku Azra. Yasa pasti sudah memberitahukanmu bahwa aku yang akan menjemput anak-anak." Azra mengulurkan tangannya.Tidak mau terlihat gugup Disti menjabat tangan Azra. Entah Azra bisa merasakan kegugupannya atau tidak, Disti hanya ingin terlihat kalau ia tidak gentar dengan penampilan sempurna wanita itu."Halo, aku Disti. Iya, Mas Yasa sudah memberitahuku."Pertemuan sekaligus perkenalan canggung itu berlangsung singkat. Sebelum Azra membawa kedua anaknya, ia meminta perempuan cantik itu untuk menyampaikan pesannya pada Yasa agar ia tidak lupa untuk mengant
Mata Disti mulai berkaca-kaca. Dahulu, ia sempat mengira David hanya pria egois yang ingin memanfaatkannya. Namun, seiring waktu, ia melihat sisi lain dari David—pria yang ternyata bijaksana dan tulus. Ia mulai sadar, bahwa di balik sikapnya yang flamboyan, David adalah seseorang yang memahami dirinya lebih dari yang ia duga.David mengulurkan tangan dan menyentuh bahu Disti dengan lembut. "Aku akan tetap di sini, menemanimu. Tapi, kamu perlu berdamai dengan hatimu dulu, Dis. Cari tahu apa yang benar-benar kamu inginkan. Aku nggak akan memaksamu untuk memilihku atau siapa pun. Kamu yang berhak menentukan jalanmu sendiri."Disti mengangguk, mencoba menahan air mata yang hampir jatuh. Kata-kata David menyentuh bagian terdalam hatinya, membuatnya merasa tenang, tapi juga tergugah untuk mencari kejelasan dalam perasaannya.David tersenyum hangat, lalu berkata, "Sekarang makan, ya. Nggak usah banyak pikir dulu. Biar hatimu nggak lelah sendiri."Disti tersenyum kecil. Untuk pertama kalinya
Yasa kembali menghela napas, pandangannya kosong. "Aku bingung, Dis. Saat itu, Shalimah ... kondisinya memburuk. Aku tahu aku yang salah karena membiarkannya merasa tersisihkan, karena aku terus memikirkanmu. Aku sudah jadi pria yang kejam, lebih mementingkan perempuan lain daripada istri yang selalu setia di sampingku. Aku larut dalam penyesalanku. Sampai tiba waktunya aku ingin menemui kalian, David sudah benar-benar menggantikan posisiku." Yasa tersenyum masam, “Aku pengecut, ya?”Disti hanya bisa memandang Yasa tanpa kata-kata. Semua kata-kata yang keluar dari mulut pria itu menusuk hatinya, menciptakan rasa bersalah yang kian menumpuk."Apa yang terjadi pada Mbak Shalimah, Mas?" tanyanya akhirnya, meskipun ia sudah tahu jawabannya. Pertanyaan itu mengandung harapan bahwa jawabannya mungkin berbeda dari apa yang ia duga.Yasa menunduk, suaranya terdengar serak. "Shalimah meninggal dunia beberapa hari setelah melahirkan Gyan, putra kami.""Innalillahi wa inna ilaihi ra'jiun," gumam
Disti menahan napas, kemudian membelai lembut tangan Kieran. "Sayang, Om ini papa kandung Kieran. Jadi, mulai sekarang, Kieran bisa panggil Om ini ‘Papa Yasa’, ya?"Mata Kieran membulat, lalu tersenyum cerah. "Jadi Kieran punya dua papa, ya, Bunda?"Disti mengangguk, berusaha menyembunyikan kegugupannya. "Iya, Sayang. Satu Papa David, satu lagi Papa Yasa."Yasa mencoba tersenyum, meskipun ada kegetiran yang tak bisa sepenuhnya ia sembunyikan. "Iya, Kieran. Kamu bisa panggil Om, ‘Papa Yasa’."Kieran tampak berpikir sejenak, lalu menatap Disti dengan wajah bingung. "Om ini temannya Bunda ya, Bunda?"Pertanyaan itu membuat Yasa spontan menatap Disti, pandangan mereka berserobok sejenak. Disti menelan ludah, lalu menjawab hati-hati, "Iya, Sayang. Papa Yasa ini teman Bunda."Yasa menunduk, menyembunyikan perasaan sakit yang bergemuruh di dadanya. Jawaban Disti mungkin untuk melindungi Kieran yang masih terlalu muda untuk memahami semua ini, tetapi tetap saja menyakitkan mendengarnya."Assa
Ketukan di pintu ruang kerjanya mengalihkan sejenak pikiran Disti yang tengah kalut, memaksanya kembali pada realitas di senja yang pekat."Assalamualaikum. Maaf, aku datang tanpa kabar," ucap David sambil mendorong pintu terbuka. Senyuman yang biasa menghiasi wajah orientalnya segera memudar ketika ia melihat Disti duduk tersedu-sedu. Tanpa berpikir panjang, David mendekati Disti, menaruh tangannya di pundak Disti untuk menenangkan. "Dis, ada apa? Kenapa kamu menangis?"Disti menunduk. Suaranya terdengar bergetar saat akhirnya ia bicara, tapi bukan menjawab pertanyaan David. "Maafkan aku, Mbak. Maafkan aku. Aku yang salah. Aku yang menjadi duri dalam kehidupan kalian."David terdiam sejenak mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Pandangannya menyapu ruang kerja Disti dan berhenti pada layar laptopnya yang masih menyala, menunjukkan sebuah file bernama ‘Shalimah’. Hatinya mencelos dan ia tak butuh melihat lebih jauh untuk menyimpulkan bahwa video itu adalah penyebab tangis Disti.“






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments