Sebagai orangtua tunggal dari seorang anak laki-laki berusia empat tahun, Disti ditantang untuk melawan kerasnya kehidupan. Namun, ketidakberuntungan memaksa Disti untuk menyerah. Disti pun terpaksa menikah dengan kakak mendiang suaminya, Yasa, yang telah beristri untuk menutupi aib! Lantas, sanggupkah Disti bertahan kala kehidupan pernikahan poligami yang tidak direncanakan akhirnya mengombang-ambingkan perasaan ketiganya? Bagaimana juga perasaan istri Yasa?
Lihat lebih banyakBeberapa bulan yang lalu
"Bunda!"
Senyuman manis seketika menghias wajah lelah Disti saat suara bening itu memanggilnya. Disti segera turun dari sepeda motor, lalu membuka helm dan meletakkannya di atas jok. Secepatnya, Disti berjalan ke arah Arjuna, putra semata wayangnya, yang tengah menanti di teras. Wanita yang masih mengenakan seragam kerja itu kemudian merengkuh Arjuna ke dalam pelukan dan mengecup pipinya dengan lembut.
"Bunda kok tumben pulangnya malam banget?" tanya anak laki-laki berusia empat tahun itu.
"Bunda kan lembur, Juna." Disti kembali memeluk erat Arjuna selama beberapa saat. "Juna kangen sama Bunda, ya?"
"Iya. Juna kangen sama Bunda," ucap Arjuna manja.
Disti membelai lembut punggung Arjuna. Pancaran matanya meredup dan perasaan sedih mulai menyelimuti. Malam ini Disti harus membohongi Arjuna. Kenyataannya, Disti tidak lembur. Ia hanya sedang memperjuangkan haknya sebagai buruh pabrik karena pemecatan sepihak oleh pihak pabrik. Dua tahun bekerja sebagai penjahit di sebuah pabrik garmen, tak membuat keahlian Disti dipertahankan oleh pihak pabrik. Kesulitan keuangan yang melanda pabrik tempat Disti bekerja membuat Disti menjadi salah satu buruh yang terkena PHK.
"Ti, belum mandi kok sudah peluk-peluk Juna? Mandi dulu sana!" Seorang perempuan berusia lima puluhan berdiri di ambang pintu memberi peringatan.
Disti mengurai pelukannya dari Arjuna dan membiarkan anak itu mengikuti langkahnya masuk ke rumah. "Iya, Bu."
Di kamar rumah kontrakannya yang berukuran tiga kali tiga meter, Disti duduk di tepi kasur tanpa ranjang yang terhampar di atas karpet plastik bercorak catur. Ia ragu untuk membuka seragam kerjanya. Bayangan Varen, almarhum suaminya, berkelebat di pelupuk mata yang berkabut. Menjadi orang tua tunggal di usianya yang baru menginjak 24 tahun bukanlah keinginan Disti. Lima tahun lalu, setelah ia menyelesaikan SMA-nya, ia memutuskan untuk menikah dengan Varen. Meski tanpa persetujuan orang tua Varen dan Varen harus terusir dari keluarganya, pernikahan mereka tetap berlangsung. Namun, kecelakaan itu telah merenggut nyawa suaminya. Varen meninggal tepat saat Arjuna berulang tahun yang ke-2 tahun.
Disti kemudian berandai-andai sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Seandainya Varen masih berada di sampingnya, Disti pasti bisa menghadapi hidup yang begitu keras dan merawat Arjuna lebih baik tanpa harus meninggalkan anak itu bersama neneknya selama ia bekerja. Dua tahun wanita itu kehilangan masa tumbuh kembang Arjuna lantaran setiap harinya ia harus bergelut dengan kain, jarum, dan benang di pabrik garmen.
"Ti, kok kamu melamun? Mandi dulu sana, salat isya, terus makan. Istirahat. Kamu pasti capek. Besok kan kamu harus bangun pagi dan kerja lagi." Suara Sari, ibu Disti, membuyarkan lamunannya.
"Besok Disti nggak kerja, Bu," ucap Disti pelan.
"Libur?"
"Ada pengurangan karyawan di pabrik, Bu. Disti termasuk salah satunya."
Sari mengembus napas. Ia melangkah mendekati Disti dan meletakkan tangannya di pundak anak perempuannya itu. Ada kekecewaan tersirat di matanya, tetapi ia berusaha menghibur Disti dengan kalimat menyejukan. "Kamu masih muda dan punya pengalaman. Tidak semua orang bisa menjahit loh, Ti. Mungkin rezeki kamu harus kamu cari di tempat lain lagi. Jangan berkecil hati. Ayo, mandi sana dan jangan lupa salat isya!"
"Iya, Bu." Ucapan Sari memberi sedikit kekuatan pada Disti untuk tetap bersemangat. Dalam setiap kesusahan Disti, dukungan sang ibu selalu menyertainya. Disti sangat bersyukur.
Disti berjalan ke kamar mandi. Ia pikir ia tidak boleh terpuruk hanya karena pabrik tempatnya bekerja mem-PHK-nya. Masih ada ibunya dan Arjuna yang membutuhkannya. Hidup terus dan harus berjalan meski ia sudah tak berstatus sebagai karyawan pabrik garmen lagi.
***
Kini, Disti duduk di sebuah ruangan luas bercahaya redup. Ruangan yang dilengkapi sofa sudut putih super empuk dan layar LED yang lebarnya sepertiga lebar layar bioskop. Ruangan berjenis presidential suite yang biasa diperuntukan untuk para pejabat dan kalangan berkantong tebal. Sesekali Disti menghela napas panjang dan mengeluarkan perlahan-lahan untuk menenangkan diri. Pada akhirnya Disti harus terjebak di tempat yang bertentangan dengan hati nuraninya. Tempat yang membuat Disti dihargai dengan harga fantastis setiap kali ia duduk menemani dan melayani tamu yang ingin bersenang-senang dengan bernyanyi atau sekadar bersantai untuk melepas penat. Tidak pernah sedikit pun terbersit dalam benaknya untuk menjadi pemandu lagu di sebuah tempat karaoke dan pub ternama.
Disti memindai arloji di tangan kirinya. Ia menunggu dengan gelisah kehadiran para eksekutif muda yang sudah mem-booking ruangan sekaligus pemandu lagu. Sebagian dirinya berharap para eksekutif muda itu membatalkan pesanannya. Tidak jarang dari mereka yang selain ingin bersenang-senang dengan bernyanyi, beberapa di antaranya menginginkan penuntasan hasrat bawah pusar juga. Sebagian dari mereka yang berpikiran mesum menjadikan tempat karaoke sebagai ajang seleksi pemandu lagu yang bisa diajak ke atas ranjang.
"Kamu tegang amat, sih, Ti. Tidak seperti biasanya," tutur Rini, sesama pemandu lagu yang sekaligus menjadi tetangga kontrakannya.
"Nggak tahu nih, Rin. Mungkin karena aku semalam kurang tidur kali, ya?" kilah Disti.
"Semoga aja mereka cakep-cakep, ya. Aku bosan melayani bandot-bandot tua yang bisanya nyuruh aku nyanyi terus, tapi irit tip."
Disti tertawa mendengar celotehan Rini. Sejawatnya itu kadang suka asal bicara. Namun, tawanya terhenti saat pintu ruangan mulai terbuka. Ia dan Rini otomatis berdiri, lalu merapikan rok yang membungkus setengah paha dan kaus biru ketatnya. Senyum merekah menyambut kedatangan para eksekutif itu.
"Selamat datang," sambut Disti pada pria pertama yang mengenakan kaus putih, lalu mempersilakannya duduk.
"Selamat datang." Kali ini Rini yang menyambut pria kedua yang mengenakan blazer abu-abu.
"Selamat da ...." Sambutan Disti menghilang di ujung saat tatapannya bertemu dengan tatapan pria yang terakhir masuk.
Disti tersentak. Tatapan pria itu seakan menamparnya. Ketegangan di perutnya meningkat saat sorot mata pria yang mengenakan kemeja flanel—bermotif plaid hitam-merah—menyapu seluruh tubuhnya dan berakhir dengan lirikan yang menyayat. Sialnya, Disti justru membiarkan netranya tak berpaling dari pria itu. Bukan karena tubuh tinggi atletis dan wajahnya yang memukau, Disti hanya teringat bagaimana pria itu pernah menunjukkan sikap yang sama, dulu.
Mas Yasa tidak berubah, batinnya.
Plaaak! Tamparan Disti mendarat di pipi Yasa. Wanita itu tidak menduga Yasa akan berkata yang menyakitkan hatinya seperti tadi. Apa yang bisa Disti lakukan jika Yasa benar-benar membawa masalah hak asuh Kieran ke ranah hukum? Yasa punya segalanya. Jelas ia akan memenangkan hak asuh itu, meskipun anak di bawah umur seharusnya dibesarkan oleh ibunya. Yasa bisa melakukan apa saja untuk merebut hak asuh Kieran.Disti terdiam. Semua kata tertahan di tenggorokannya. Hanya air mata yang membasahi pipi yang mewakili kehancuran hati dan harapannya. Begitupun, dengan Yasa. Pria itu tertegun merenungi bagaimana ia dengan bodohnya melayangkan kalimat intimidasi pada Disti. Wanita yang pernah mengisi hati dan telah memberinya seorang putri. Dorongan yang tak terbendung memberikan kekuatan pada Yasa. Mengabaikan semua permasalahan yang ada, Yasa merengkuh Disti ke dalam pelukannya.
Wanita berkulit putih yang mengenakan gaun merah selutut itu tersenyum. Mata sebiru lautannya berbinar terang seolah tidak ada beban sedikit pun di pundaknya ketika ia harus berhadapan dengan mantan istri Yasa."Halo, aku Azra. Yasa pasti sudah memberitahukanmu bahwa aku yang akan menjemput anak-anak." Azra mengulurkan tangannya.Tidak mau terlihat gugup Disti menjabat tangan Azra. Entah Azra bisa merasakan kegugupannya atau tidak, Disti hanya ingin terlihat kalau ia tidak gentar dengan penampilan sempurna wanita itu."Halo, aku Disti. Iya, Mas Yasa sudah memberitahuku."Pertemuan sekaligus perkenalan canggung itu berlangsung singkat. Sebelum Azra membawa kedua anaknya, ia meminta perempuan cantik itu untuk menyampaikan pesannya pada Yasa agar ia tidak lupa untuk mengant
Mata Disti mulai berkaca-kaca. Dahulu, ia sempat mengira David hanya pria egois yang ingin memanfaatkannya. Namun, seiring waktu, ia melihat sisi lain dari David—pria yang ternyata bijaksana dan tulus. Ia mulai sadar, bahwa di balik sikapnya yang flamboyan, David adalah seseorang yang memahami dirinya lebih dari yang ia duga.David mengulurkan tangan dan menyentuh bahu Disti dengan lembut. "Aku akan tetap di sini, menemanimu. Tapi, kamu perlu berdamai dengan hatimu dulu, Dis. Cari tahu apa yang benar-benar kamu inginkan. Aku nggak akan memaksamu untuk memilihku atau siapa pun. Kamu yang berhak menentukan jalanmu sendiri."Disti mengangguk, mencoba menahan air mata yang hampir jatuh. Kata-kata David menyentuh bagian terdalam hatinya, membuatnya merasa tenang, tapi juga tergugah untuk mencari kejelasan dalam perasaannya.David tersenyum hangat, lalu berkata, "Sekarang makan, ya. Nggak usah banyak pikir dulu. Biar hatimu nggak lelah sendiri."Disti tersenyum kecil. Untuk pertama kalinya
Yasa kembali menghela napas, pandangannya kosong. "Aku bingung, Dis. Saat itu, Shalimah ... kondisinya memburuk. Aku tahu aku yang salah karena membiarkannya merasa tersisihkan, karena aku terus memikirkanmu. Aku sudah jadi pria yang kejam, lebih mementingkan perempuan lain daripada istri yang selalu setia di sampingku. Aku larut dalam penyesalanku. Sampai tiba waktunya aku ingin menemui kalian, David sudah benar-benar menggantikan posisiku." Yasa tersenyum masam, “Aku pengecut, ya?”Disti hanya bisa memandang Yasa tanpa kata-kata. Semua kata-kata yang keluar dari mulut pria itu menusuk hatinya, menciptakan rasa bersalah yang kian menumpuk."Apa yang terjadi pada Mbak Shalimah, Mas?" tanyanya akhirnya, meskipun ia sudah tahu jawabannya. Pertanyaan itu mengandung harapan bahwa jawabannya mungkin berbeda dari apa yang ia duga.Yasa menunduk, suaranya terdengar serak. "Shalimah meninggal dunia beberapa hari setelah melahirkan Gyan, putra kami.""Innalillahi wa inna ilaihi ra'jiun," gumam
Disti menahan napas, kemudian membelai lembut tangan Kieran. "Sayang, Om ini papa kandung Kieran. Jadi, mulai sekarang, Kieran bisa panggil Om ini ‘Papa Yasa’, ya?"Mata Kieran membulat, lalu tersenyum cerah. "Jadi Kieran punya dua papa, ya, Bunda?"Disti mengangguk, berusaha menyembunyikan kegugupannya. "Iya, Sayang. Satu Papa David, satu lagi Papa Yasa."Yasa mencoba tersenyum, meskipun ada kegetiran yang tak bisa sepenuhnya ia sembunyikan. "Iya, Kieran. Kamu bisa panggil Om, ‘Papa Yasa’."Kieran tampak berpikir sejenak, lalu menatap Disti dengan wajah bingung. "Om ini temannya Bunda ya, Bunda?"Pertanyaan itu membuat Yasa spontan menatap Disti, pandangan mereka berserobok sejenak. Disti menelan ludah, lalu menjawab hati-hati, "Iya, Sayang. Papa Yasa ini teman Bunda."Yasa menunduk, menyembunyikan perasaan sakit yang bergemuruh di dadanya. Jawaban Disti mungkin untuk melindungi Kieran yang masih terlalu muda untuk memahami semua ini, tetapi tetap saja menyakitkan mendengarnya."Assa
Ketukan di pintu ruang kerjanya mengalihkan sejenak pikiran Disti yang tengah kalut, memaksanya kembali pada realitas di senja yang pekat."Assalamualaikum. Maaf, aku datang tanpa kabar," ucap David sambil mendorong pintu terbuka. Senyuman yang biasa menghiasi wajah orientalnya segera memudar ketika ia melihat Disti duduk tersedu-sedu. Tanpa berpikir panjang, David mendekati Disti, menaruh tangannya di pundak Disti untuk menenangkan. "Dis, ada apa? Kenapa kamu menangis?"Disti menunduk. Suaranya terdengar bergetar saat akhirnya ia bicara, tapi bukan menjawab pertanyaan David. "Maafkan aku, Mbak. Maafkan aku. Aku yang salah. Aku yang menjadi duri dalam kehidupan kalian."David terdiam sejenak mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Pandangannya menyapu ruang kerja Disti dan berhenti pada layar laptopnya yang masih menyala, menunjukkan sebuah file bernama ‘Shalimah’. Hatinya mencelos dan ia tak butuh melihat lebih jauh untuk menyimpulkan bahwa video itu adalah penyebab tangis Disti.“
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen