Sekali lagi hantaman yang diberikan Yasa hampir meruntuhkan sisi tegar Disti. Disti menunduk menahan sakit yang menyeruak dan bergejolak di hatinya. Apakah benar ia tidak becus merawat dan membesarkan Arjuna selama ini? pikirnya.
"Masih banyak tempat karaoke yang bersih dari praktik prostitusi. Seharusnya kamu bisa lebih bijak memilih pekerjaan," tandas Yasa.
Seandainya aku punya pilihan, Disti membatin.
Yasa mengangkat sisi kanan pinggulnya untuk menarik ke luar dompet kulit hitam yang terkubur di saku belakang celananya. Ia mengeluarkan sebuah kartu nama dari dalam sana lalu memberikannya pada Disti. "Kalau kamu masih mau bekerja di tempat yang lebih baik, datang saja ke alamat yang ada di kartu. Siapa tahu istriku masih membutuhkan karyawan untuk butiknya."
Disti memandangi kartu nama yang terbuat dari art carton dengan tulisan yang diukir oleh tinta emas yang berkilat. Ia tidak bisa membaca dengan jelas karena minimnya cahaya yang menyinari ruang di dalam mobil Yasa.
"Kamu pikirkan saja dulu. Selamat malam," tutur Yasa lagi, memberikan kode bahwa percakapan mereka sudah selesai.
Disti menangkap sinyal yang diberikan Yasa. Ia tahu memaknai ucapan selamat malam yang dilontarkan Yasa.
"Terima kasih, Mas. Aku akan pertimbangkan tawaran Mas ini. Aku pamit. Selamat malam. Salam untuk istri Mas." Disti melepas sabuk pengamannya. Beberapa saat ia menunggu reaksi Yasa, namun pria itu tetap menjaga pandangannya untuk tetap menatap jalanan dan tak mengucapkan sepatah kata pun.
Disti keluar dari mobil Yasa lalu berjalan menyusuri gang sempit menuju rumah kontrakannya dengan langkah gontai. Ucapan Yasa yang seolah menghakiminya tadi masih terngiang di telinga sampai Disti tiba di rumah. Disti memutar kunci cadangan yang selalu dibawanya pelan-pelan. wanita itu sedikit mengangkat gagang pintu agar daun pintu ikut terangkat dan tidak menimbulkan suara saat pintu dibuka lebih lebar. Ia menatap tubuh wanita tua yang tidur di atas kasur busa tak beranjang berukuran 200 x 90 sentimeter dan berselimut kain sarung di ruang tamu. Rumah kontrakan yang hanya memiliki empat ruangan termasuk dapur dan kamar mandi, tak memberinya pilihan untuk memberi ruangan lain yang lebih layak sebagai kamar untuk ibunya. Batinnya menjerit menyesali keterbatasannya untuk bisa membahagiakan wanita yang sudah banyak berkorban untuknya itu.
Dengan penyesalan yang masih menyelimuti hatinya, Disti kembali langkah ke satu-satunya ruangan yang disebut kamar di rumah itu. Ia melihat Arjuna tertidur pulas. Anak itu tidur berselimutkan selimut wol yang warnanya sudah memudar dengan jahitan yang sudah terlepas di sepanjang sisinya. Wajah tanpa dosa Arjuna meremas-remas hatinya. Sekelebat bayangan masa depan Arjuna mendadak menghantuinya. Ia tidak bisa membesarkan Arjuna dengan stigma dan stereotip negatif yang melekat padanya sebagai pemandu lagu di tempat karaoke plus-plus. Seharusnya Arjuna bisa mendapatkan yang lebih baik dari itu, pikirnya. Namun, kemampuannya untuk merawat dan membesarkan Arjuna hanya sebatas itu. Tak terasa air mata sudah membanjiri pipinya.
Tidak mau berlama-lama larut dalam kesedihan, Disti berganti pakaian lalu masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri dan mengambil air wudu untuk melaksanakan salat malam. Dengan kedua tangan terangkat di depan dada, ia berserah diri dan memohon petunjuk kepada Yang Maha Abadi.
Disti melipat mukena setelah ia puas mencurahkan semua isi hatinya pada Sang Pencipta. Matanya mulai terasa berat dan tubuh lelahnya menuntut untuk diistirahatkan, padahal beberapa puluh menit lagi adzan subuh akan segera berkumandang. Disti berbaring di samping Arjuna, tapi sebelum ia menutup mata ia teringat kartu nama yang diberikan Yasa tadi. Ia memikirkan matang-matang tawaran Yasa dan akhirnya tertidur setelah menjalankan ibadah salat subuh.
***
"Ibu sudah ada janji dengan Bu Shali?" tanya seorang wanita muda yang mengenakan kemeja hijau muda berlengan panjang dengan tulisan Riza Boutique di dada kiri kemejanya.
"Belum, Mbak, tapi Pak Yasa memberikan ini pada saya untuk menemui istrinya." Disti menunjukkan kartu nama yang diberikan Yasa semalam pada wanita itu.
wanita itu tersenyum ramah, lalu mengangguk-angguk. "Sebentar, saya beritahu Bu Shali dulu."
wanita itu meninggalkan mejanya dan Disti yang duduk di seberang meja. Disti diam meragu. Tatapannya beredar ke sekeliling butik yang memiliki desain interior berkonsep klasik ala timur tengah yang dipadukan dengan ornamen-ornamen khas beberapa suku di Indonesia. Tiang-tiang penyangga yang dipernis sempurna memancarkan kilat yang menakjubkan. Kebaya-kebaya pengantin yang dipajang di lemari display dan hanger kayu panjang membuat Disti berdecak kagum. Pakaian-pakaian ini pasti sangat mahal, pikirnya. Semuanya tampak mewah dan sempurna.
Apakah istri Mas Yasa yang belum pernah kutemui akan menerimaku sebagai karyawan di butik ini? tanya Disti dalam hati. Ah, setidaknya ia sudah mencoba untuk datang ke tempat ini. Jika istri Yasa tidak menerimanya di sini, toh ia masih bisa bekerja di karaoke, pikirnya kemudian.
"Disti." Suara lembut nan bening menyapa telinga Disti dan membuyarkan lamunannya.
Disti terkesiap. Ia segera berdiri dan merapikan kemeja putihnya yang sedikit kusut lantaran terlipat saat duduk tadi. Ia memandang seorang wanita berpenampilan anggun dengan hijab ungu dan gamis yang berwarna senada. wanita itu tersenyum kepadanya.
Masya Allah, cantik sekali istri Mas Yasa. Disti menatapnya takjub.
"Kamu Disti, 'kan?" Pemilik suara lembut itu kini melantunkan pertanyaan.
Disti masih menatap takjub wanita itu. Ia membuka mulutnya, tetapi semua kata yang hendak terucap tiba-tiba melebur oleh pesona anggun nan santun yang menutupi pandangannya. Bahkan ketika wanita itu berjalan mendekat, Disti tak kuasa untuk mengalihkan pandangan darinya.
"Kenalkan, aku Shalimah." Uluran tangan Shalimah membuyarkan keterkejutan Disti.
Disti menyambut uluran tangan Shalimah. Mereka berjabat tangan. "Aku Disti, Mbak."
Disti merasakan kulit Shalimah yang seputih pualam begitu lembut dan halus. Tiba-tiba saja Disti merasa ia begitu kecil di hadapan wanita itu. Sangat kecil. Wanita yang berdiri di hadapannya begitu memesona, terlihat cerdas dengan segala pencapaiannya yang terukur pandangan, dan sangat santun. Wangi manis dan menyegarkan menyapa cuping hidung Disti saat Shalimah tanpa canggung menempelkan pipinya ke pipi Disti. Ia memperlakukan Disti seperti saudara yang sesungguhnya, berbeda dengan orang tua Varen yang sangat memusuhi dan tidak ingin disentuhnya. Segala ketegangan yang dirasakan Disti sebelumnya menguap dengan sikap hangat yang ditunjukkan Shalimah.
Plaaak! Tamparan Disti mendarat di pipi Yasa. Wanita itu tidak menduga Yasa akan berkata yang menyakitkan hatinya seperti tadi. Apa yang bisa Disti lakukan jika Yasa benar-benar membawa masalah hak asuh Kieran ke ranah hukum? Yasa punya segalanya. Jelas ia akan memenangkan hak asuh itu, meskipun anak di bawah umur seharusnya dibesarkan oleh ibunya. Yasa bisa melakukan apa saja untuk merebut hak asuh Kieran.Disti terdiam. Semua kata tertahan di tenggorokannya. Hanya air mata yang membasahi pipi yang mewakili kehancuran hati dan harapannya. Begitupun, dengan Yasa. Pria itu tertegun merenungi bagaimana ia dengan bodohnya melayangkan kalimat intimidasi pada Disti. Wanita yang pernah mengisi hati dan telah memberinya seorang putri. Dorongan yang tak terbendung memberikan kekuatan pada Yasa. Mengabaikan semua permasalahan yang ada, Yasa merengkuh Disti ke dalam pelukannya.
Wanita berkulit putih yang mengenakan gaun merah selutut itu tersenyum. Mata sebiru lautannya berbinar terang seolah tidak ada beban sedikit pun di pundaknya ketika ia harus berhadapan dengan mantan istri Yasa."Halo, aku Azra. Yasa pasti sudah memberitahukanmu bahwa aku yang akan menjemput anak-anak." Azra mengulurkan tangannya.Tidak mau terlihat gugup Disti menjabat tangan Azra. Entah Azra bisa merasakan kegugupannya atau tidak, Disti hanya ingin terlihat kalau ia tidak gentar dengan penampilan sempurna wanita itu."Halo, aku Disti. Iya, Mas Yasa sudah memberitahuku."Pertemuan sekaligus perkenalan canggung itu berlangsung singkat. Sebelum Azra membawa kedua anaknya, ia meminta perempuan cantik itu untuk menyampaikan pesannya pada Yasa agar ia tidak lupa untuk mengant
Mata Disti mulai berkaca-kaca. Dahulu, ia sempat mengira David hanya pria egois yang ingin memanfaatkannya. Namun, seiring waktu, ia melihat sisi lain dari David—pria yang ternyata bijaksana dan tulus. Ia mulai sadar, bahwa di balik sikapnya yang flamboyan, David adalah seseorang yang memahami dirinya lebih dari yang ia duga.David mengulurkan tangan dan menyentuh bahu Disti dengan lembut. "Aku akan tetap di sini, menemanimu. Tapi, kamu perlu berdamai dengan hatimu dulu, Dis. Cari tahu apa yang benar-benar kamu inginkan. Aku nggak akan memaksamu untuk memilihku atau siapa pun. Kamu yang berhak menentukan jalanmu sendiri."Disti mengangguk, mencoba menahan air mata yang hampir jatuh. Kata-kata David menyentuh bagian terdalam hatinya, membuatnya merasa tenang, tapi juga tergugah untuk mencari kejelasan dalam perasaannya.David tersenyum hangat, lalu berkata, "Sekarang makan, ya. Nggak usah banyak pikir dulu. Biar hatimu nggak lelah sendiri."Disti tersenyum kecil. Untuk pertama kalinya
Yasa kembali menghela napas, pandangannya kosong. "Aku bingung, Dis. Saat itu, Shalimah ... kondisinya memburuk. Aku tahu aku yang salah karena membiarkannya merasa tersisihkan, karena aku terus memikirkanmu. Aku sudah jadi pria yang kejam, lebih mementingkan perempuan lain daripada istri yang selalu setia di sampingku. Aku larut dalam penyesalanku. Sampai tiba waktunya aku ingin menemui kalian, David sudah benar-benar menggantikan posisiku." Yasa tersenyum masam, “Aku pengecut, ya?”Disti hanya bisa memandang Yasa tanpa kata-kata. Semua kata-kata yang keluar dari mulut pria itu menusuk hatinya, menciptakan rasa bersalah yang kian menumpuk."Apa yang terjadi pada Mbak Shalimah, Mas?" tanyanya akhirnya, meskipun ia sudah tahu jawabannya. Pertanyaan itu mengandung harapan bahwa jawabannya mungkin berbeda dari apa yang ia duga.Yasa menunduk, suaranya terdengar serak. "Shalimah meninggal dunia beberapa hari setelah melahirkan Gyan, putra kami.""Innalillahi wa inna ilaihi ra'jiun," gumam
Disti menahan napas, kemudian membelai lembut tangan Kieran. "Sayang, Om ini papa kandung Kieran. Jadi, mulai sekarang, Kieran bisa panggil Om ini ‘Papa Yasa’, ya?"Mata Kieran membulat, lalu tersenyum cerah. "Jadi Kieran punya dua papa, ya, Bunda?"Disti mengangguk, berusaha menyembunyikan kegugupannya. "Iya, Sayang. Satu Papa David, satu lagi Papa Yasa."Yasa mencoba tersenyum, meskipun ada kegetiran yang tak bisa sepenuhnya ia sembunyikan. "Iya, Kieran. Kamu bisa panggil Om, ‘Papa Yasa’."Kieran tampak berpikir sejenak, lalu menatap Disti dengan wajah bingung. "Om ini temannya Bunda ya, Bunda?"Pertanyaan itu membuat Yasa spontan menatap Disti, pandangan mereka berserobok sejenak. Disti menelan ludah, lalu menjawab hati-hati, "Iya, Sayang. Papa Yasa ini teman Bunda."Yasa menunduk, menyembunyikan perasaan sakit yang bergemuruh di dadanya. Jawaban Disti mungkin untuk melindungi Kieran yang masih terlalu muda untuk memahami semua ini, tetapi tetap saja menyakitkan mendengarnya."Assa
Ketukan di pintu ruang kerjanya mengalihkan sejenak pikiran Disti yang tengah kalut, memaksanya kembali pada realitas di senja yang pekat."Assalamualaikum. Maaf, aku datang tanpa kabar," ucap David sambil mendorong pintu terbuka. Senyuman yang biasa menghiasi wajah orientalnya segera memudar ketika ia melihat Disti duduk tersedu-sedu. Tanpa berpikir panjang, David mendekati Disti, menaruh tangannya di pundak Disti untuk menenangkan. "Dis, ada apa? Kenapa kamu menangis?"Disti menunduk. Suaranya terdengar bergetar saat akhirnya ia bicara, tapi bukan menjawab pertanyaan David. "Maafkan aku, Mbak. Maafkan aku. Aku yang salah. Aku yang menjadi duri dalam kehidupan kalian."David terdiam sejenak mencoba memahami apa yang sedang terjadi. Pandangannya menyapu ruang kerja Disti dan berhenti pada layar laptopnya yang masih menyala, menunjukkan sebuah file bernama ‘Shalimah’. Hatinya mencelos dan ia tak butuh melihat lebih jauh untuk menyimpulkan bahwa video itu adalah penyebab tangis Disti.“